Golkar Pertanyakan Urgensi DPR Bahas RUU Ketahanan Keluarga
Golkar menilai masih banyak UU yang bisa mewakili RUU Ketahanan Keluarga.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR melanjutkan harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga, Senin (16/11). Fraksi Partai Golkar menilai RUU Ketahanan Keluarga saat ini belum terlalu urgen untuk dibahas.
"Kami mewakili teman-teman yang lain melihat bahwa urgensi dari RUU ini belum urgen, belum perlulah karena kita melihat banyak UU yang bisa mewakili UU Ketahanan Keluarga ini. Misalnya, salah satu contohnya adalah dalam UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera," kata Anggota Baleg DPR Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Nurul mencatat bahwa Undang-Undang tersebut dinilai tidak perlu karena sudah ada undang-undang eksisting yang mewakili subtansi yang ada di RUU Ketahanan Keluarga. Ia juga mencontohkan bagaimana peran keluarga juga sudah diatur dalam UU Perkawinan.
"Argumentasi saya adalah lebih baik menguatkan undang-undang, merevisi undang-undang perkawinan yang sudah ada misalnya yang sudah menjadi rencana dari dahulu sampai saat ini juga belum terealisasi, daripada membuat undang-undang baru yang kelihatannya subtansinya ini terlalu luas dan mengurusi segala macam hal," ujarnya.
Selain itu, dirinya menilai upaya memperkuat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan hal yang baik dilakukan. Namun menurutnya untuk ikut campur ke dalam ranah private menurutnya perlu dipikir ulang.
"Kita ini masyarakat heterogen ya yang tidak mungkin dapat diseragamkan, karena saya melihat RUU ini terlalu rigid dan banyak mengurus hal-hal yang tidak perlu diurus sedetail itu dan menyertakan masyarakat. Ini justru menjadikan masyarakat ini menjadi sumir ikut campur urusan orang lain dan sebagainya," ucapnya.
Dirinya juga mengkritisi terkait pembentukan rencana induk pembangunan ketahanan keluarga (RI-PKK). Menurutnya hal yang berkaitan anggaran dan struktur juga harus dipikirkan. Selain itu dirinya juga mempertanyakan adanya pembangunan sistem informasi.
"Pikiran saya RUU ini sangat tidak masuk akal," tuturnya.
Selain RUU Ketahanan Keluarga, Golkar juga mengkritisi urgensi RUU Minuman Beralkohol (Minol). Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Golkar Firman Subagyo memberikan sejumlah catatan terhadap sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang telah mencapai tahap harmonisasi ditindaklanjuti.
"Dari empat ada dua yang perlu tegaskan, RUU Ketahanan Keluarga dan Minuman Beralkohol apakah ini urgen juga dari pemerintah," ujarnya dalam Rapat Baleg, Kamis (12/11).
Firman mengingatkan, agar jangan sampai DPR RI menyetujui dan melakukan harmonisasi RUU, tapi kemudian di tingkat pimpinan tidak jalan, atau di pihak pemerintah juga tidak setuju. "Jangan sampai DPR dikesankan oleh publik dpr membahas uu ini asal asalkan saja yang tidak dibutuhkan oleh kepentingan negara," ujarnya.
RUU Ketahanan Keluarga sebenarnya sempat ditolak setelah sebelumnya menjadi bahan polemik di kalangan DPR. Ketua DPR RI Puan Maharani menilai, RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh sejumlah anggota DPR RI terlalu menyentuh ranah privat.
"Sepintas saya membaca drafnya itu, saya merasa bahwa ini ranah privat rumah tangga terlalu dimasuki, terlalu diintervensi," kata Puan di Jakarta Pusat, Rabu (19/2).
Salah satu pengusulnya, anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani menjelaskan alasan diusulkannya RUU Ketahanan Keluarga. Pertama, ia menyadari bahwa keluarga merupakan batu bara dalam gerbong peradaban Indonesia. Jadi ia ingin keluarga-keluarga di Indonesia masuk dalam kategori ideal.
"Maka negara harus memberikan akses agar keluarga-keluarga ini dalam berbagai stratanya, dalam berbagai matranya, bisa memiliki ketangguhan," ujar Netty di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2).
Alasan kedua yakni, agar keluarga Indonesia memiliki nilai-nilai kejujuran dan kemandirian. Dengan begitu, keluarga akan memiliki kesiapan dalam menjalani bahtera kehidupannya.
Diharapkannya, nanti negara melalui pemerintah mampu mendeteksi ada keluarga yang memang harus difasilitasi. Khususnya dalam pengamanan sosialnya.
"Kita ingin keluarga dalam situasi apapun mampu keluar dari krisis dan kemudian itu dilakukan," ujar Netty.