Senjata Baru China Melawan AS Bernama RCEP

RCEP akan membuat produk-produk China merajai pasar global.

AP Photo/Hau Dinh
Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc (kiri) dan Menteri Perdagangan Tran Tuan Anh bertepuk tangan usai melakukan penandatanganan pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Nidia Zuraya*

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 15 November 2020 menjadi tonggak sejarah baru Republik Rakyat China (RRC). Bersama dengan 10 negara anggota ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru, China bersepakat untuk mendirikan blok perdagangan terbesar di dunia, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
 
Selain 15 negara ini, semula India ingin ikut bergabung dalam RCEP. Namun dalam perjalanan proses negosiasi, negara dengan jumlah populasi terbanyak kedua di dunia ini menolak bergabung. India menolak keras mengekspos petani dan pabriknya ke lebih banyak persaingan asing.

Kekhawatiran lainnya, peternak sapi perah India akan bersaing dengan Selandia Baru dan produsen susu dan keju Australia. Sedangkan produsen mobil India takut akan impor dari seluruh kawasan. Namun, secara keseluruhan, ketakutan terbesar adalah membanjirnya barang-barang manufaktur dari China di negara itu.

Jepang akan mencoba menarik kembalinya India ke kesepakatan yang sudah digodok sejak sedekade lalu. Jepang juga berharap untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara lainnya.

RCEP justru disambut baik oleh Beijing. Perdana Menteri China, Li Keqiang, memuji perjanjian tersebut sebagai kemenangan melawan proteksionism. Saat ini diketahui China sedang berseteru dengan raksasa ekonomi dunia Amerika Serikat (AS) terkait proteksi perdagangan.

RCEP mencakup sekitar 30 persen ekonomi global dan juga 30 persen populasi dunia, serta bertujuan untuk menurunkan tarif secara progresif di wilayah Asia-Pasifik. Dengan pangsa pasar yang besar ini tak mengherankan jika China menyambut baik kehadiran RCEP. Terlebih lagi RCEP ini sejalan dengan proyek Belt and Road Initiative yang digagas China.
 
Bandingkan dengan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA) atau versi baru dari Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara mencakup aktivitas ekonomi yang lebih sedikit dengan kurang dari sepersepuluh populasi dunia. Uni Eropa dan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) juga lebih kecil.

RCEP sendiri mencakup enam dari 11 anggota CPTPP yang tersisa. Seperti keinginan Jepang, tidak menutup kemungkinan 5 negara anggota CPTPP yang tersisa juga akan bergabung ke blok perdagangan RCEP.
 
Bagaimana dengan AS? Musuh terbesar China dalam sektor perdagangan ini dinilai kalangan pengusaha di Negeri Paman Sam akan tertinggal jauh. Kamar Dagang AS menyebut ada banyak keuntungan liberalisasi perdagangan dari RCEP, dan menyebut bahwa eksportir AS, para pekerja, dan petani membutuhkan akses yang lebih luas ke pasar Asia.

Di era liberalisasi perdagangan, ke depannya akan sulit bagi AS untuk bisa melakukan penetrasi pasar global. Pasalnya, saat ini AS hanya terikat dengan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara yang mencakup AS, Meksiko dan Kanada.

Sebelumnya, negara itu telah hengkang dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang kini tengah dinegosiasikan dengan rumusan baru bernama Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). Setelah TPP ditandatangani pada 2016, pemerintahan baru AS di bawah Presiden Donald Trump pada awal 2017 menyatakan keluar dari TPP, padahal perjanjian itu dinegosiasikan oleh pendahulunya, Presiden Barack Obama, sebagai bagian dari jalan masuk AS ke Asia.

Menurut Kamar Dagang AS, ekspor AS ke pasar Asia-Pasifik mengalami peningkatan secara tetap dalam beberapa dekade terakhir, namun pangsa pasar perusahaan AS telah menurun. Bagi pengusaha AS, pasar Asia-Pasifik sangat penting. Terlebih lagi, pertumbuhan rata-rata di Asia-Pasifik diproyeksi bisa mencapai lebih dari lima persen pada 2021 serta perluasan kelas menengah yang terjadi secara cepat di kawasan itu.

Saat ini posisi tawar AS di kancah perdagangan global terbilang lemah.  Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintahan Presiden Donald Trump.

Baru-baru ini Uni Eropa (UE) mengenakan sanksi berupa tarif perdagangan terhadap barang dan jasa dari Amerika Serikat senilai 4 miliar dolar AS. Sanksi tarif perdagangan ini mulai diberlakukan UE pada 10 November 2020. Tapi, UE berharap, hubungan perdagangan dua pihak akan membaik setelah Presiden Donald Trump meninggalkan Gedung Putih.

Dalam sengketa dagang antara AS dan China, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam keputusan terbarunya menyebut AS telah melanggar peraturan perdagangan global dengan menerapkan tarif senilai miliaran dolar AS kepada China. Pemerintahan Trump mengenakan tarif perdagangan senilai lebih dari 200 miliar dolar AS yang diberlakukan dua tahun terakhir terhadap produk-produk China.

Selain Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, saat ini Amerika Serikat hanya bisa mengandalkan program fasilitas dagang Generalized System of Preferences (GSP) untuk memperkuat posisi tawarnya.

GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia, termasuk salah satu negara yang mendapatkan fasilitas GSP ini.

Bagi China, kedua senjata yang dimiliki AS ini tentunya tidak sebanding dengan dua senjata mereka yakni TPP dan RCEP. Cukup dengan dua senjata ini, produk-produk China bakal merajai pasar global.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler