Benarkah Barat Penuh dengan Toleransi, Utamanya ke Islam?

Dunia Barat selama ini mengklaim paling toleran dan multikultural

google.com
Dunia Barat selama ini mengklaim paling toleran dan multikultural. Seorang warga Muslim berjalan melewati tulisan penghinaan rasial yang dilukis di dinding masjid di kota Saint-Étienne di Prancis tengah.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dunia Barat, apakah Eropa ataupun Amerika Utara dan Australia, adalah contoh paradoks multikulturalisme. Ide-ide tentang kebebasan, persamaan, dan hak asasi manusia tumbuh dan berkembang di sana. Bahkan, beberapa abad lamanya Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi rujukan utama untuk belajar kebebasan, persamaan, HAM, dan demokratisasi.

Baca Juga


Namun, di dunia Barat pula sikap-sikap intoleran terhadap kultur, ras, etnis, dan bangsa lain tetap tumbuh subur. Masih banyak penduduk Barat yang berkehendak negerinya cukup dihuni  satu etnis saja. Satu identitas kultur yang bersifat homogen. Bukan untuk pendatang berkulit berwarna, apalagi imigran Muslim. 

Pada tataran tertentu, sikap intoleran ini bisa berkembang menjadi rasisme dan xenofobia. Ketakutan berlebihan terhadap orang-orang asing atau yang dianggap berbeda dari mainstream. 

Geert Wilders, anggota parlemen Belanda yang membuat film Fitna pada 2008 yang sarat dengan kebencian terhadap Islam dan imigran Muslim adalah contoh ekstremnya. Geert menyamakan Alquran dengan Mein Kampf, ‘kitab suci’-nya Hitler. Ia menolak rencana pembangunan masjid-masjid baru di Belanda, aktif berkampanye menentang masuknya imigran Muslim ke Netherlands atas nama “Anti-Islamisasi Netherlands”.

Jangan lupakan juga kasus Marwa El Sherbini. Muslimah Mesir yang tinggal di Dresden, Jerman, ini dibunuh seorang xenofobis lain, Alex Wiens, warga negara Jerman keturunan Russia, persis di dalam ruang pengadilan Dresden pada 1 Juli 2009.

Ia ditikam 15 kali dan suaminya 16 kali. Marwa menjemput syahidnya dan suaminya koma selama dua hari, namun tetap hidup. Parahnya, pada saat kejadian Marwa tengah hamil tiga bulan dan penikaman dilakukan persis di depan anaknya yang berusia tiga tahun. Tak cukup itu, polisi Dresden kemudian justru menembak Suami Marwa, Okaz, yang melawan serangan Alex hingga ikut ditikam berkali-kali. Okaz dianggap pelaku oleh polisi dan ditembak kakinya.

Peristiwa ini memancing kemarahan besar dari kaum Muslim Eropa dan dunia. Marwa kemudian disebut sebagai martyr of hijab. Sebab, serangan Alex kepada Marwa bermula dari hinaan verbalnya kepada Marwa di suatu taman bermain anak di Dresden pada Agustus 2008.

Pertengkaran akibat berebut fasilitas bermain anak antara Alex dan Marwa berujung dengan hinaan Alex yang menyebut Marwa sebagai “Islamist”, “terroris”, dan “slut” (pelacur). Marwa melaporkan Alex kepada polisi hingga akhirnya ia disidangkan di pengadilan. Namun, pengadilan ternyata bukan tempat yang aman. Alex tetap bisa membawa pisau dan menikam Marwa dan suaminya di dalam pengadilan. 

 

Pada level komunal, gejala ketidaktoleranan terhadap kultur lain dapat dilihat di Belgia. Negeri kecil Belgia dengan luas wilayah tak lebih luas dari Jawa Barat sudah beberapa lama terbelah. Antara bagian utara yang berbahasa Belanda (Vlaamatau Flemish) dan bagian selatan yang ber bahasa Prancis (Wallonia). Antara 2010–2011, sekitar 541 hari Belgia tak memiliki pemerintahan. 

Karena, dua partai dengan suara terbanyak dari dua bagian negara yang berbeda selalu tak memiliki kesepakatan untuk membentuk pemerintahan. Kecurigaan dan prasangka antarpenduduk mau pun kelompok politik berbeda bahasa terus berkembang. Padahal, total penduduk Belgia hanya 11 juta jiwa. Negeri Spanyol setali tiga uang.

Negeri sepak bola tersohor sejagat ini tak sepenuhnya damai. Masih ada riak-riak ketidakpuasan terhadap Pemerintahan Madrid. Daerah Catalan di sisi Tenggara Spanyol dan Basque di Utara selalu menuntut otonomi hingga pemisahan diri dari pe merintah pusat di Madrid.

Tak hanya individu dan masyarakat umum, negara pun bisa mendukung sikap tidak toleran dan antimultikulturalisme. Masih ingat dalam benak kita betapa pemerintah dan parlemen Prancis meloloskan begitu saja undang-undang yang melarang penggunaan dan penampakan simbol-simbol agama, seperti jilbab bagi Muslimah, kippa bagi Yahudi, dan kalung salib bagi Kristiani di sekolah-sekolah publik pada Maret 2004.

Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi. - (Christophe Petit/EPA)

Kebijakan ini adalah atas nama melindungi sekularisme Prancis dan menjaga “netralitas” lembaga publik dari simbol-simbol agama. Itu berlaku buat para siswa, guru maupun, tenaga administrasi. Dan, bisa diduga, kor ban-korban pun bermunculan. Sejumlah siswi Muslimah jadi subjek diskriminasi di sekolah publik hanya karena memilih berhijab.

Tak cukup itu, apabila pelarangan hijab hanya berlaku di sekolah publik maka pada September 2010 parlemen Prancis mengesahkan UU yang melarang penggunaan burqa (cadar/ penutup wajah) di seantero Prancis. Pengambilan keputusan di parlemen sangat dramatis. Di mana hanya satu suara menolak, sementara 246 suara lainnya setuju pelarangan burqa. 

Kenyataan ini sangat ironis. Mengingat, di Prancis ada beberapa tempat yang legal sebagai nudist beach (pantai di mana orang bebas bertelanjang ria), sementara mereka yang berburqa malah dilarang dan yang berjilbab dibatasi. Jadi, benarkah dunia Barat penuh dengan toleransi dan penghargaan terhadap multikulturalisme?

*Naskah bagian dari artikel Heru Susetyo yang terbit di Harian Republika 2012 

 

 

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler