Menilik Vaksin Pfizer, Moderna dan AstraZeneca

Keberhasilan uji klinis vaksin buat negara-negara dunia segera vaksinasi massal.

EPA-EFE/BIONTECH SE
Tampak ampul dengan BNT162b2, isi kandidat vaksin Covid-19 yang berbasis mRNA buatan perusahaan farmasi Jerman Biontech. Vaksin yang dibuat juga bersama dengan Pfizer ini disebut 90 persen efektif.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara

Jelang penghujung tahun, sejumlah negara sudah mengumumkan rencana untuk memvaksin massal warganya. Kabar baik dari sejumlah produsen vaksin Covid-19 membawa harapan baik bagi kehidupan di 2021.

Teknologi di balik beberapa kandidat vaksin Covid-19 tak kalah menarik untuk disimak. Ada tiga vaksin yang berada uji klinis fase tiga sebagai langkah terakhir sebelum persetujuan dari Food and Drug Administration AS dan regulator lain di seluruh dunia.

Dilansir dari CNN, Rabu (25/11), berikut ulasan singkat cara kerja tiga vaksin yang dianggap potensial. Ketiga vaksin ini mengklaim tingkat efektivitasnya melebihi 90 persen.

Pfizer dan BioNTech
Pfizer dan mitranya yang berbasis di Jerman, BioNTech menggunakan pendekatan baru untuk membuat vaksin yang menggunakan messenger RNA atau mRNA. Yang dibutuhkan hanyalah urutan genetik virus yang menyebabkan pandemi. Pembuat vaksin bahkan tidak membutuhkan virus itu sendiri.

Peneliti BioNTech menggunakan sepotong kecil materi genetik yang mengkode sepotong protein. Messenger RNA adalah untai tunggal kode genetik yang dapat "dibaca" dan digunakan sel untuk membuat protein.

Dalam kasus vaksin ini, mRNA memerintahkan sel-sel di dalam tubuh untuk membuat bagian tertentu dari protein lonjakan virus. Kemudian sistem kekebalan melihatnya, mengenalinya sebagai benda asing dan bersiap untuk menyerang ketika infeksi yang sebenarnya terjadi.

Sayangnya, MRNA sangat rapuh sehingga terbungkus dalam nanopartikel lipid atau lapisan zat mentega yang dapat meleleh pada suhu kamar. Itulah mengapa vaksin Pfizer harus disimpan pada suhu ultra dingin sekitar minus 100 derajat Fahrenheit atau minus 75 derajat Celcius.

Moderna
Vaksin virus corona Moderna diklaim 94,5 persen efektif menurut data perusahaan. Vaksin Moderna juga didasarkan pada mRNA yang dianggap seperti perangkat lunak untuk sel. Dan seperti vaksin Pfizer BioNTech, vaksin ini mengkodekan sel untuk membuat sepotong protein. Opsi itu adalah pilihan yang hati-hati, para ilmuwan harus memilih bagian dari virus yang mereka pikir tidak akan bermutasi, atau banyak berubah, seiring berjalannya waktu.

Virus menggunakan protein untuk menggenggam sel yang diserangnya dan strukturnya tampak tetap stabil selama beberapa generasi replikasi virus. Moderna telah menemukan formulasi berbeda untuk nanopartikel lipid untuk melindungi mRNA dalam vaksinnya.

Formulasi ini adalah rahasia perusahaan. Hasilnya membuat vaksin Moderna dapat dikirim pada suhu minus 20 derajat Celcius dan dapat disimpan stabil selama 30 hari pada 2 derajat hingga 8 derajat Celcius yang merupakan suhu kulkas standar.

AstraZeneca
Vaksin AstraZeneca dibuat tim di Universitas Oxford Inggris. Produk yang disebut vaksin vektor itu menggunakan virus flu biasa yang disebut adenovirus untuk membawa protein lonjakan dari virus corona ke dalam sel.

Hal ini juga bertujuan untuk membuat tubuh orang-orang pada dasarnya memproduksi vaksin mereka sendiri dengan mengeluarkan sedikit salinan protein lonjakan, tetapi metode pengirimannya berbeda. Adenovirus ini menginfeksi simpanse tetapi tidak membuat manusia sakit. Adenovirus dimodifikasi sehingga tidak mereplikasi dirinya sendiri, kemudian direkayasa secara genetik untuk menyuntikkan sel dengan pengkodean DNA.

AstraZeneca punya cara yang lebih murah untuk membuat vaksin, tetapi lebih lambat daripada menggunakan RNA. Perusahaan telah berjanji untuk membuat vaksinnya tersedia dengan harga murah ke negara-negara di seluruh dunia. Vaksin dapat disimpan stabil selama enam bulan pada suhu lemari es standar agar memudahkan pengiriman dan penyimpanan.

Baca Juga




Indonesia juga menjadi salah satu negara yang sedang memburu vaksin yang disebut akan segera mendapatkan persetujuan otoritas kesehatan. Namun, tidak semua vaksin bisa digunakan di Indonesia.

Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan alasan pemerintah Indonesia tidak akan membeli vaksin dari Pfizer atau Moderna. Yakni karena syarat penyimpanan dan distribusi dingin (cold chain) vaksin yang berbeda dengan produsen tersebut.

Erick yang juga Wakil Ketua IV dan Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menjelaskan penentuan merk atau jenis vaksin Covid-19 berada di tangan Kementerian Kesehatan. Pemilihan vaksin berdasarkan daftar yang ada di WHO dan telah melalui uji klinis 1 dan 2 yang datanya tersedia.

"Dan nanti ketika dipergunakan itu, BPOM yang keluarkan izin. Tentu sebagai catatan tambahan, vaksin yang akan dibeli pemerintah juga vaksin yang cold chain atau distribusinya friendly dengan distribusi kita, yaitu minus 2 sampai minus 8 derajat Celcius," katanya, Selasa (24/11).

Pengadaan vaksin baik dari Sinovac, Novavax, maupun AstraZeneca, disebutnya telah memenuhi persyaratan tersebut. Sementara itu, Erick menuturkan vaksin Pfizer membutuhkan suhu minus 75 derajat celcius, sementara vaksin Moderna membutuhkan suhu minus 20 derajat celcius dalam rantai distribusinya.

"Kalau kita harus membongkar sistem distribusi kita jadi minus 20 derajat, ini akan menghambat distribusi yang biasa kita lakukan. Kalau persiapan ini tiga tahun lagi, beda, tapi ini persiapan yang harus dilakukan dan sistem distribusi kita sudah berjalan baik selama ini dengan minus 2 sampai minus 8 derajat celcius," katanya.

Erick menegaskan, dengan alasan itulah pemerintah memilih produsen-produsen vaksin yang telah diputuskan dalam pengadaan untuk vaksinasi Covid-19. "Kenapa Pfizer dan Moderna belum bisa, karena cold chain-nya minus 75 dan minus 20 derajat celcius. Untuk negara seperti Amerika pun mereka akan ada transisi," imbuhnya.

Oleh karena itu, Erick meminta publik tidak menilai pemerintah membeli merk vaksin tertentu karena alasan bisnis semata. Ia menegaskan pemerintah memilih produsen vaksin sesuai dengan kriteria dan kuantitas yang diperlukan.

Ia juga mengatakan kebutuhan vaksin Covid-19 di seluruh dunia mencapai 16 miliar dosis. Namun hingga saat ini produksinya baru mencapai 4 miliar dosis.

"Karena itu kenapa pemerintah agresif sejak awal. Kita mau pastikan vaksin yang kita miliki dan vaksin merah putih disiapkan untuk jangka panjangnya tetapi juga yang sesuai dengan distribusi kita dan sesuai standar WHO yang sudah ada uji klinis 1-2 dan BPOM menerbitkan sesuai data-data yang ada," katanya.



Presiden Joko Widodo menargetkan vaksin bisa dimulai pada kelompok prioritas di Indonesia mulai akhir tahun ini atau Januari 2021. Harapan Presiden tersebut sejalan dengan banyak negara seperti Amerika, Jerman, dan Inggris yang disebut sudah mencanangkan vaksin massal di Desember 2020.

Satu lagi negara mengumumkan rencana vaksin secepatnya, yaitu Prancis. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan vaksin untuk mencegah Covid-19 dapat mulai diberikan segera setelah akhir tahun di Prancis jika disetujui oleh regulator.

"Kami akan mengorganisasi kampanye vaksinasi yang cepat dan besar-besaran," kata Macron dalam pidato yang disiarkan televisi yang merinci bagaimana negara itu akan mulai mengurangi penguncian akhir pekan ini. "Kami sangat mungkin, dan menunggu otorisasi dari otoritas kesehatan, mulai vaksinasi populasi yang paling rentan, oleh karena itu para lansia, paling cepat akhir Desember, awal Januari," katanya, menambahkan kelompok populasi lain akan ditawarkan vaksinasi secara berurutan.

Vaksinasi namun tidak wajib, kata Macron. Pemerintah di Eropa sedang bekerja untuk memetakan apa yang bisa menjadi skema vaksinasi terbesar dalam beberapa dekade.

Tugas tersebut tampak sangat menakutkan di Prancis, yang memiliki tingkat kepercayaan paling rendah di dunia terhadap vaksin. Menurut jajak pendapat Ipsos untuk Forum Ekonomi Dunia, hanya 59 persen responden Prancis yang mengatakan mereka akan mendapatkan vaksin Covid-19 jika tersedia, dibandingkan dengan 67 persen di Amerika Serikat dan 85 persen di Inggris.

Macron mengatakan komite ilmiah akan dibentuk untuk memantau vaksinasi dan sekelompok warga juga akan ambil bagian untuk memastikan transparansi. Pejabat di Kementerian Kesehatan mengatakan satuan tugas yang diawasi oleh kantor perdana menteri saat ini bertanggung jawab atas aspek logistik dan peralatan yang telah dibeli untuk menyimpan vaksin pada suhu yang sangat rendah.

Serangkaian badan publik lainnya juga akan menawarkan saran tentang bagaimana melakukan vaksinasi dalam beberapa bulan mendatang, kata mereka.

Pernyataan Macron menggemakan komentar dari Badan Obat Eropa (European Medicines Agency/EMA). Kepala Badan Obat Eropa pada Selasa mengatakan organisasi tersebut dapat menghasilkan opini ilmiah tentang vaksin Covid-19 untuk mencari persetujuan peraturan pada akhir tahun dalam skenario kasus terbaik. Namun belum jelas kapan tepatnya lembaga akan membuat keputusan akhir, meski mereka sedang mempertimbangkan data saat sudah tersedia.

Produsen obat Inggris AstraZeneca mengikuti perusahaan obat AS Pfizer Inc dan Moderna Inc pada hari Senin dalam menerbitkan data uji coba yang berhasil untuk vaksin Covid-19. Hasil uji coba tahap akhir sementara untuk vaksin Sputnik V Rusia yang diterbitkan pada 11 November menunjukkan suntikannya 92 persen efektif.

Tidak ada vaksin yang disetujui secara internasional untuk mencegah Covid-19, yang telah menewaskan lebih dari 1,4 juta orang dan mengganggu perekonomian dunia. Uni Eropa sejauh ini telah mengamankan kesepakatan dengan Sanofi dan GlaxoSmithKline, Johnson & Johnson, AstraZeneca, CureVac, Pfizer dan BioNTech serta Moderna. Dengan 1,9 miliar dosis diharapkan pada tahap ini untuk mencapai Uni Eropa, Prancis bertujuan untuk mengamankan sekitar 295 juta dosis, menurut sumber pemerintah, dilansir dari Reuters.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler