Tiga Hakim PN Tipikor Jakpus Dijebloskan ke Penjara, Diduga Terima Suap Kasus Ekspor CPO
Para tersangka dilakukan penahanan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung
A PHP Error was encountered
Severity: Notice
Message: Undefined variable: part
Filename: amp/berita_amp.php
Line Number: 67
A PHP Error was encountered
Severity: Notice
Message: Undefined variable: part
Filename: amp/berita_amp.php
Line Number: 71
A PHP Error was encountered
Severity: Notice
Message: Undefined variable: search
Filename: helpers/all_helper.php
Line Number: 2070
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus) terkait skandal penerimaan suap dan gratifikasi senilai total Rp 60 miliar untuk pengaturan vonis lepas terhadap para terdakwa korporasi kasus korupsi pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO).
Tiga hakim yang dijerat tersangka oleh tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) adalah Hakim Djuyamto (DJU), Hakim Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Hakim Ali Muhtarom (AM). Setelah diumumkan sebagai tersangka, pada Senin (14/4/2025) dini hari, penyidik Jampidsus langsung menjebloskan ketiga hakim tersebut ke tahanan.
“Ketiga orang tersangka tersebut adalah ABS (Agam Syarif Baharuddin) selaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua tersangka AM (Ali Muhtarom) sebagai hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan ketiga, tersangka DJU (Djuyamto) yang bersangkutan adalah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang pada saat itu sebagai ketua majelis hakim,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar saat konfrensi pers di Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari.
Ketiga tersangka tersebut dijerat dengan sangkaan Pasal 12 huruf c, juncto Pasal 12 B, juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) 31/1999-20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). “Terhadap para tersangka dilakukan penahanan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung (Kejagung),” kata Qohar.
Ketiga hakim yang dijadikan tersangka, dan tahanan tersebut menambah jumlah para tersangka yang sudah dijerat sebelumnya. Pada Sabtu (12/4/2025) penyidik Jampidsus sudah lebih dulu mengumumkan empat tersangka awalan. Di antaranya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arief Nuryanta (MAN) yang dijerat tersangka atas perannya sebagai mantan Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus. MAN adalah pihak yang menerima pemberian uang Rp 60 miliar.
Selanjutnya adalah Wahyu Gunawan (WG) selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara (Jakut) yang dijerat tersangka sebagai perantara pemberian suap-gratifikasi.
Adapun dua lainnya, adalah Ariyanto (AR) alias Ary Bakri dan Marcella Santoso (MS) duo pengacara dari kantor firma hukum Ariyanto Arnaldo Law Firm.
Keduanya dijerat tersangka atas perannya sebagai pihak yang memberikan suap-gratifikasi kepada MAN melalui WG. Keempat tersangka tersebut, sejak diumumkan sudah mendekam di sel tahanan terpisah selama 20 hari untuk kelanjutan pengusutan suap-gratifikasi dalam pengaturan vonis lepas para terdakwa korporasi dalam perkara korupsi perizinan ekspor CPO 2022 lalu.
Bagi-bagi uang
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, status hukum yang menjerat para tersangka terkait dengan penerimaan suap dan gratifikasi setotal Rp 60 miliar. Penerimaan uang haram tersebut, terkait dengan pengaturan vonis lepas atau onslagh untuk para terdakwa korporasi yang menjadi terdakwa korupsi perizinan ekspor CPO 2022 lalu.
Qohar menerangkan, bermula dari adanya pertemuan yang berujung pada kesepakatan antara AR selaku pengacara korporasi yang menjadi terdakwa korupsi izin ekspor CPO di PN Tipikor Jakpus, dengan WG selaku Panitera Muda Perdata PN Jakut.
Tiga korporasi minyak goreng yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi izin ekspor tersebut, adalah Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group. “Kesepakatan tersebut, dengan AR meminta agar WG mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintana agar perkara tersebut diputus onslagh,” kata Qohar.
AR kepada WG menjanjikan akan menyiapkan uang Rp 20 miliar. Dari kesepakatan tersebut, WG menyampaikan kepada MAN yang saat itu sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakpus agar perkara korupsi terdakwa korporasi tersebut diputus onslagh.
“Dan MAN menyetujui agar perkara tersebut diputus onslagh,” begitu kata Qohar. Namun dengan meminta uang Rp 20 miliar yang dijanjikan AR dikalikan tiga. “Sehingga totalnya menjadi 60 miliar Rupiah (Rp),” kata Qohar.
Lalu WG menyampaikan permintaan MAN tersebut kepada AR agar menyiapkan ‘amunisi’ Rp 60 miliar tersebut. “Dan Ariyanto Bakri (AR) menyetujui permintaan 60 miliar Rupiah tersebut,” ujar Qohar.
Selanjutnya, setelah menyetujui nominal Rp 60 miliar itu, AR menyerahkannya kepada WG dalam bentuk pecahan dolar AS (USD).
Kemudian, kata Qohar, WG menyerahkan uang pecahan USD setotal Rp 60 miliar itu kepada MAN. Setelah MAN menerima uang tersebut, WG diberi jatah USD 50 ribu sebagai uang jasa penghubung dengan AR. “Jadi WG pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” kata Qohar.
Setelah menguasai uang pemberian AR melalui WG itu, MAN atas jabatannya selaku wakil ketua PN Tipikor Jakpus membentuk komposisi majelis hakim untuk memeriksa perkara para terdakwa korporasi tersebut. “Dengan komposisi Djuyamto sebagai ketua majelis hakim, kemudian Ali Muhtarom sebagai hakim adhoc, dan Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota majelis,” ujar Qohar.
Setelah penerbitan surat penetapan sidang, MAN memanggil DJU dan ASB ke ruangan. “Lalu MAN memberikan uang dolar yang bila dikurskan ke dalam Rupiah senilai 4,5 miliar. Di mana uang tersebut diberikan MAN kepada DJU dan ASB sebagai uang baca berkas perkara. Dan MAN menyampaikan kepada dua orang hakim tersebut agar perkara tersebut diatensi,” kata Qohar.
Dari uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB dibawa dengan bungkusan lalu keluar dari ruang kerja MAN bersama DJU. Lalu uang Rp 4,5 miliar dibagi rata tiga dengan bagian AM.
Selanjutnya pada kisaran September atau Oktober 2024, MAN kembali menyerahkan uang USD yang jika disetarakan senilai Rp 18 miliar. MAN menyerahkan uang tersebut kepada Djuyamto.
Selanjutnya Djuyamto membagi-bagi uang tersebut kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom dengan komposisi berbeda-beda. Untuk Agam Syarif Baharuddin menerima USD yang bila disetarakan sebesar Rp 4,5 miliar. Kemudian Djuyamto menerima uang USD yang jika dirupiahkan setara Rp 6 miliar. Ali Muhtarom menerima uang USD yang setara 5 miliar Rupiah.
“Bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang agar perkara tersebut diputus onslagh. Dan hal ini menjadi nata ketika pada 19 Maret 2025, perkara korporasi minyak goreng telah diputus onslagh oleh majelis hakim,” kata Qohar.