Pengamat: Seperti Uni Soviet Dulu, Israel Sedang Menuju Kehancuran
Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu mengabaikan suara publik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapapun yang mengkritik agresi militer Israel, tak akan digubris. Mereka lantang menggemakan pemikirannya, tapi Netanyahu dengan negara zionis yang dipimpinnya tak bergeming. Dar der dor duar, terus saja membombardir Gaza, Tepi Barat, Lebanon, dan Suriah.
Bukan fasilitas militer dan prajurit yang terbunuh, tapi wanita dan anak-anak. IDF Israel praktis menjadi pasukan yang mengabaikan segala norma hanya untuk ambisi seorang Netanyahu yang berkepentingan mempertahankan kekuasaannya dan citranya di mata Knesset.
Dua dekade lalu, antropolog Rusia- Amerika Alexei Yurchak menciptakan istilah “hipernormalisasi” untuk menggambarkan realitas Uni Soviet yang mengabaikan norma dan konsensus publik, jauh dari nalar masyarakat luas.
Pada era itu, baik warga negara maupun pejabat mengetahui bahwa sistem Soviet tidak berfungsi dan tidak lagi mencerminkan kenyataan - namun semua orang terus melanjutkan seolah-olah tidak ada yang salah.
Hanya sedikit yang dapat membayangkan bahwa Tembok Berlin akan runtuh, atau bahwa Uni Soviet yang perkasa akan terpecah menjadi 15 negara merdeka , dengan Rusia bergantung pada impor gandum AS pada tahun 1990-an.
Kalau dipikir-pikir kembali, mudah untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang rusak dari sistem itu dan memahami betapa sureal dan tak berkelanjutannya - apa yang Yurchak bingkai sebagai hipernormalisasi - sistem itu sebenarnya.
Sekarang, pertimbangkan ini: 15 petugas medis dan petugas penyelamat baru-baru ini dieksekusi oleh tentara Israel di Gaza, dan setelah salah satu dari mereka menangkap momen tersebut dalam video - membantah narasi resmi tentara Israel - dunia bertanya-tanya.
Namun, di Israel, kisah itu nyaris tak menimbulkan gejolak. Tidak ada perhitungan publik, tidak ada introspeksi moral - kecuali dari keluarga sandera, yang terus memperjuangkan orang-orang yang mereka cintai tanpa mengakui penderitaan dahsyat yang menimpa dua juta warga Palestina di Gaza atas nama mereka.
Fakta bahwa petugas penyelamat dieksekusi dengan cara yang mengingatkan pada film-film distopia - tanpa pembenaran apa pun - sementara masyarakat Israel terus bersikap seolah-olah kejadian itu terjadi di planet lain sungguh mengejutkan.
Tidak ada satu pun politikus Israel yang mengajukan pertanyaan atau mengkritik insiden tersebut. Di tengah kegilaan ini, masyarakat Israel tampaknya berada dalam keadaan disonansi kognitif, terpisah dari realitas itu sendiri.
Lembaga PBB dipaksa angkat kaki
Akhir tahun lalu, cabang Amnesty International di Israel menolak menerima laporan organisasi itu sendiri tentang genosida di Gaza . Padahal, Amnesty Israel - yang kemudian dibekukan oleh organisasi internasional itu - memiliki paparan paling langsung terhadap kengerian di Gaza dan wacana publik yang melegitimasinya.
Perang Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 orang di Gaza dan menyebabkan kelaparan yang meluas. Penerimaan masyarakat Israel yang berlebihan terhadap kekerasan ini terjadi ketika negara itu semakin terjerumus ke dalam absurditas, dengan perdana menterinya yang membongkar lembaga-lembaga negara.
Selama kunjungannya baru-baru ini ke Hungaria, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dianugerahi gelar doktor kehormatan dari Universitas Layanan Publik di Budapest. Rupanya, mengatur genosida dan menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional membuat seseorang memenuhi syarat untuk mendapatkan penghargaan akademis.
Yang lebih mengejutkan lagi, ketika bertugas di sebuah lembaga yang dimaksudkan untuk melatih pegawai negeri, Netanyahu menyerang pegawai negeri itu sendiri
Tiga lembaga paling sentral di Israel: militer, polisi, dan Mahkamah Agung. Militer sedang mengalami pergolakan , dengan sejumlah besar komandan mengundurkan diri atau diberhentikan setelah kegagalan pada 7 Oktober 2023. Layanan kepolisian menjadi kacau di bawah pengaruh Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben Gvir, dengan Shin Bet menyelidiki dugaan “infiltrasi oleh Kahanist”.
Mahkamah Agung, yang sering dituduh mempromosikan agenda kiri atau liberal, pada kenyataannya, lebih peduli dengan perlindungan Israel di mata internasional. Bahkan ketika dihadapkan dengan isu-isu inti identitas - seperti undang-undang negara-bangsa yang kontroversial , yang mengukuhkan superioritas Yahudi atas warga Palestina - pengadilan memberikan validasi hukum penuh. Ini adalah pengadilan yang sama yang melegitimasi perampasan tanah oleh pemukim di Tepi Barat yang diduduki.
Tidak seperti di negara demokrasi normal, tokoh keamanan Israel tidak hanya dikagumi; mereka juga disalurkan secara profesional ke dunia politik. Dari Moshe Dayan hingga Yitzhak Rabin, Ariel Sharon, Shaul Mofaz, Benny Gantz dan banyak lainnya, kredensial keamanan merupakan jalur langsung menuju kekuasaan.
Sementara itu, Netanyahu menentang kontrol birokrasi, istri dan putranya dituduh mencampuri penunjukan pejabat senior negara, meskipun tidak memiliki kewenangan hukum. Keduanya telah menjadi tokoh yang memecah belah - diidolakan oleh sebagian penduduk dan dibenci oleh sebagian lainnya.
Di luar carut marut dalam negeri Israel, Netanyahu terus mengejar ambisi ekspansinya yang membahayakan stabilitas kawasan. Sekembalinya dari kunjungan baru-baru ini ke Gedung Putih, ia dilaporkan mendesak Washington untuk mempertimbangkan serangan terhadap Iran jika kondisi tertentu dalam negosiasi AS-Iran tidak terpenuhi. Pada saat yang sama, ia mendorong fragmentasi di Suriah dengan cara yang menguntungkan kepentingan strategis Israel - seolah-olah warga Suriah tidak memiliki suara atas masa depan mereka sendiri.
Netanyahu terus berbicara tentang rencana pemindahan Gaza , bahkan ketika dunia Arab dan masyarakat internasional menolak gagasan itu sebagai ancaman berbahaya bagi stabilitas global.
Namun, di sepanjang jalan raya Israel, Anda masih akan menemukan papan iklan raksasa Presiden AS Donald Trump dan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman dengan slogan: "Israel siap untuk normalisasi dengan Arab Saudi."
Bertentangan dengan apa yang Netanyahu dan banyak orang Israel ingin percayai, Israel tidak dapat menjadi penguasa regional. Ini bukan karena Israel tidak memiliki kekuatan militer; sebaliknya, dengan dukungan AS dan Barat yang lebih luas, Israel memiliki kekuatan yang cukup besar. Negara zionis ini lebih memilih kekuatan keras seperti perang dan pengerahan militer, tidak dengan diplomasi.
Pengamat timur tengah Abed Abou Shhadeh dalam sebuah tulisannya menjelaskan, kekuatan nuklir di seluruh dunia menyeimbangkan kekuatan keras dengan kekuatan lunak, menyadari sepenuhnya bahwa tank dan sanksi tidak dapat mengendalikan segalanya. Budaya, perubahan sosial, iklim, manusia - semua ini juga membentuk urusan global.
Selain itu, demografi dan geografi tidak memihak Israel: jutaan rakyat Suriah, Lebanon , dan Palestina, yang ingin dikuasainya. Ketergantungan Israel pada kekuatan saja sudah menunjukkan tanda-tanda kehancuran. Ketegangan politik di antara berbagai kelompok Israel - terutama seputar masalah sandera - mulai memengaruhi tentara itu sendiri, dengan tentara cadangan mengalami kelelahan yang meluas . Efek psikologis jangka panjang dari perang terhadap tentara adalah nyata, dan harga sosialnya baru mulai terlihat.
Tidak ada yang normal tentang apa yang terjadi di Israel saat ini. Gagasan bahwa kegilaan ini dapat terus berlanjut tanpa batas waktu bukan hanya tidak masuk akal; tetapi juga berbahaya.
Petualangan regional Netanyahu yang gegabah tidak hanya mengganggu stabilitas Timur Tengah - tetapi juga menghancurkan masyarakat Israel sendiri. Negara zionis yang diimpikan Theodore Herzl dan para pendirinya kini sedang menuju kehancurannya.
Seribu prajurit Israel minta setop perang
Sekelompok 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) menyerukan pembebasan semua sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza, “meskipun hal itu berarti harus mengakhiri perang” melawan kelompok Palestina, Hamas.
“Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF (militer), dan warga sipil tak bersalah,” bunyi surat terbuka yang dipublikasikan oleh para mantan personel cadangan tersebut di sejumlah media Israel.
Surat itu menyerukan “pemulangan segera” para sandera Israel dari Gaza, dan menyatakan bahwa perang yang sedang berlangsung kini hanya melayani “kepentingan politik dan pribadi.”
“Hanya melalui kesepakatan para sandera dapat dipulangkan dengan aman, sementara tekanan militer justru memperbesar risiko kematian sandera dan membahayakan keselamatan tentara kita,” tulis mereka, sambil menyerukan warga Israel untuk “bergerak dan mengambil tindakan.”
Mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Dan Halutz, termasuk salah satu penandatangan surat tersebut.
Pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, mengecam para penandatangan surat itu.
“Mereka adalah kelompok ekstremis pinggiran yang kembali mencoba memecah belah masyarakat Israel dari dalam,” kata Netanyahu dalam pernyataannya.
Ia menuduh mereka memiliki satu tujuan, yaitu “menjatuhkan pemerintahan. Mereka tidak mewakili tentara maupun rakyat.”
Kepala pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa surat tersebut merusak “legitimasi” perang di Gaza, dan mendesak pimpinan militer serta angkatan udara untuk menangani isu ini “dengan cara yang paling tepat.”
Menurut harian Haaretz, Kepala Angkatan Udara Israel memutuskan untuk memberhentikan para cadangan aktif yang menandatangani surat tersebut, namun tidak menyebutkan jumlahnya.
Sementara itu, hampir 150 perwira Angkatan Laut Israel menandatangani petisi yang mendesak pemerintahan Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza dan memastikan pembebasan para sandera yang masih ditahan di sana, sebagaimana dilaporkan oleh harian Yedioth Ahronoth.
Kanal berita Channel 12 melaporkan bahwa ratusan prajurit yang pernah bertugas dan masih aktif dalam cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut turut bergabung dalam protes yang dipelopori Angkatan Udara, serta mengirim dua surat tambahan yang menuntut diakhirinya perang di Gaza dan pemulangan para sandera.
Tak lama kemudian, stasiun televisi tersebut melaporkan bahwa puluhan dokter cadangan militer turut mengirim petisi kepada pemerintah, menuntut diakhirinya perang di Gaza -- sebuah indikasi meningkatnya gelombang pembangkangan dari dalam tubuh militer Israel.
Petisi tersebut ditujukan kepada pejabat pertahanan israel, Israel Katz, dan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir. Isinya menyatakan: “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan yang bertugas di berbagai unit militer Israel, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” seperti dikutip kanal tersebut.
“Pada 7 Oktober 2023, kami menjawab panggilan untuk membela Israel, namun setelah lebih dari 550 hari pertempuran -- yang telah membawa dampak besar bagi negara ini -- kami dengan berat hati merasa bahwa kelanjutan perang kini lebih melayani kepentingan politik dan pribadi, bukan tujuan keamanan yang jelas,” lanjut mereka.
Israel memperkirakan masih ada 59 sandera yang ditahan di Gaza, setidaknya 22 di antaranya dipastikan masih hidup. Mereka seharusnya dibebaskan pada fase kedua kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, yang mensyaratkan Israel untuk menarik seluruh pasukannya dari Gaza dan mengakhiri perang secara permanen.
Namun, Israel kembali melanjutkan serangan dan melanggar kesepakatan gencatan senjata pada Januari. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina di Gaza dan meratakan wilayah kantong tersebut menjadi puing-puing.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas agresinya di wilayah tersebut.
- Palestina
- gaza
- israel
- tel aviv
- netanyahu
- amerika serikat
- operasi badai al aqsa
- thufan al aqsa
- two state solution israel dan palestina
- solusi dua negara palestina dan israel
- perdamaian di palestina
- hamas
- hizbullah
- IDF
- israel defense force
- bantuan untuk palestina
- bantuan untuk gaza
- bantuan kemanusiaan
- bantu palestina