Djoko Tjandra Bayar Rp 10 M ke Tommy Agar Bisa Pulang

Uang Rp 10 miliar itu untuk mengurus red notice dan DPO

Republika/Thoudy Badai
Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (26/11). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan sejumlah saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum atas perkara suap penghapusan red notice terhadap Djoko Tjandra yang melibatkan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat. Republika/Thoudy Badai
Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Djoko Tjandra mengaku membayar Rp 10 miliar ke rekannya, Tommy Sumardi, untuk mengurus proses kepulangannya ke Indonesia. "Dalam pembicaraan itu, saya lupa siapa yang mulai tapi intinya ada omongan 'Djok kalau urus seperti ini ada ongkos-ongkosnya'. Obrolan saya dengan Pak Tommy intinya kita bicara mengenai jumlah angkanya. Saya niat untuk urusi masalah itu lalu Pak Tommuy bilang 'You siapkan Rp 15 miliar tapi saya katakan wah 'Tom berat biaya Rp 15 miliar, saya mulai bagaimana kalau Rp 5 miliar? Akhirnya kita sepakati angka Rp 10 miliar," kata Djoko Tjandra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (26/11).

Baca Juga


Djoko Tjandra menjadi saksi untuk rekannya, pengusaha Tommy Sumardi yang didakwa menjadi perantara suap dari Djoko Tjandra kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS. Juga untuk bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo sejumlah 150 ribu dolar AS.

"Uang Rp 10 miliar itu untuk mengurus red notice dan DPO saya itu," kata Djoko Tjandra.

Menurut Djoko Tjandra, namanya masuk dalam red notice Interpol sejak sekitar satu bulan setelah Juni 2009. Tepatnya setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 yang menyatakan ia bersalah dan divonis dua tahun penjara.

Namun atas PK tersebut Djoko Tjandra mengaku ingin mengajukan PK dan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 2015, pendaftaran PK harus didaftarkan oleh terpidana dan tidak bisa diwakili oleh ahli waris.

"Jadi jalan satu-satu adalah nama saya harus bersih, dengan demikian saya masuk usahanya lewat teman saya namanya Tommy Sumardi yang saya tanya by phone. Saya tanya 'Tom ini masalah DPO saya masih terganjal di sistem, apakah ada upaya untuk bisa mengecek kondisinya bagaimana dan bagaimana bisa dilepaskan?' Karena tujuan saya adalah pulang untuk daftar PK," katanya.

Tommy tidak serta merta mengiyakan dan ia pun baru menghubungi Djoko Tjandra seminggu kemudian dan menyanggupi untuk membantu. "Mengurusnya melalui NCB Interpol karena red notice itu ada di NCB itu pengetahuan kami saat itu. Kami diskusi awal Maret, finalnya Maret 2020 selanjutnya istri saya layangkan surat 16 April ke NCB," kata Djoko Tjandra.

Menurut Djoko Tjandra, uang Rp 10 miliar itu seluruhnya ia persilakan Tommy untuk menggunakannya. "Uang Rp 10 miliar untuk itu kepentingan beliau, hanya untuk beliau saja sehingga saya bisa pulang ke Indonesia. Segala sesuatunya saya serahkan ke konsultan saya yaitu Pak Tommy," katanya.

Penyerahan uang dilakukan melalui sekretaris Djoko Tjandra bernama Nurmawan Fransisca. "Sis siapkan 100 ribu dolar AS, nanti saya kasih alamatnya. Uang saya di sini kan banyak," kata Djoko Tjandra yang saat itu masih di Malaysia.

Djoko mengaku selalu menyiapkan uang tunai. "Saya selalu siapkan cash, saya ada brankas di sini, yang bisa buka brangkas juga Siska, saya tidak ingat detailnya. Siska minta ke office boy Nurdin untuk menyampaikan uang dan setelah diterima dilaporkan memakai whatsapp barang sudah delivered," kata Djoko.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler