Penjara dan Cambuk: Independensi Ulama Terhadap Kekuasaan

Sejarah kemandirian ulama terhadap kekuasaan dalam khazanah agama Islam

google.com
Ulama tempo dulu dalams ebuah perjalanan.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Ahmad Choirul Rofiq, Dosen Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Ponorogo.


Al-Qur’anul Karim menegaskan secara jelas bahwa kemuliaan derajat ulama (QS. 58: 11) ditentukan oleh kedalaman ilmu, kualitas pribadi, dan keluhuran budi pekertinya. Dengan pengukuhan langsung dari Allah Swt tersebut, maka keberadaan ulama dipandang mulia bukan karena banyaknya limpahan harta yang ada padanya, kedudukan mentereng jabatan formal yang diembannya, maupun banyaknya penghargaan yang diterimanya dari pemerintah. 

Sejarah telah merekam dengan lengkap kisah para ulama yang tetap ditinggikan derajatnya sepanjang zaman meskipun mengalami ujian berat disebabkan keteguhan sikap yang dipeganginya tatkala di depan penguasa politik.  

Di dalam karyanya berjudul Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, KH Moenawar Chalil (1908-1961) dari Kendal, Jawa Tengah, menuturkan beratnya ujian yang dihadapi oleh Imam Hanafi atau al-Nu‘man ibn Tsabit Abu Hanifah (81-150H/700-767M), Imam Malik bin Anas (93-179H/712-798M), Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204H/767-820M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H/780-855M).

Mereka inilah figur-figur ulama panutan yang berpendirian sangat kuat dan tidak gentar tatkala berhadapan dengan penguasa.   

Dikisahkan bahwa Imam Hanafi pada tahun 130 H ditawari oleh Yazid bin ‘Amr, Gubernur Iraq,  agar bersedia menjabat sebagai kepala urusan perbendaharaan negara (baitul mal), tetapi tawaran jabatan itu ditolaknya.

Akibatnya, beliau dihukum cambuk karena tidak menuruti perintah si penguasa. Kemudian pada tahun 136 H beliau dipanggil ke Baghdad, ibukota Kerajaan ‘Abbasiyyah, oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk menduduki jabatan hakim agung (qadhi).

Namun beliau bersikukuh untuk tidak mau menerima jabatan itu sehingga beliau dijatuhi hukuman berat sampai akhirnya beliau wafat di dalam penjara secara menyedihkan.

Keteguhan sikap ulama juga ditunjukkan oleh Imam Malik yang sempat merasakan kejamnya cambukan aparat penguasa ketika beliau tidak mau menuruti kehendak Gubernur Madinah supaya beliau mengubah keputusan fatwa fiqih yang diputuskannya untuk disesuaikan dengan keinginan pemerintah.

Selanjutnya beliau bahkan pernah menolak tawaran Khalifah al-Manshur dan Harun al-Rasyid agar berkenan meninggalkan Madinah dan pindah ke Baghdad untuk menduduki jabatan keagamaan sebagai hakim negara. 

Adapun ujian yang dialami Imam al-Syafi’i adalah sewaktu beliau ditangkap aparat pemerintah karena dituduh oleh orang-orang yang dengki padanya bahwa beliau bergabung dengan gerakan Syi’ah di Yaman dalam melawan pemerintahan ‘Abbasiyyah. Akibatnya, beliau dibawa ke hadapan Khalifah Harun al-Rasyid dalam keadaan terbelenggu.

Setelah melalui penyelidikan seksama, Harun al-Rasyid kemudian membebaskan Imam al-Syafi’i dari segala tuduhan negatif dan menghadiahkan 2.000 dinar kepadanya yang seketika itu langsung ditolaknya. Tidak hanya itu, beliau pun menolak keputusan khalifah yang mengangkatnya sebagai pejabat kehakiman di Yaman.

Beliau selanjutnya memilih untuk berpindah ke Mesir sampai akhir hayatnya di sana sebagai ulama besar yang disegani.

Penolakan jabatan formal keagamaan ternyata juga dilakukan oleh Imam Ahmad yang tidak berkenan diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun terjadilah peristiwa tragis yang menimpa Imam Ahmad, yakni inquisisi (mihnah) terhadap keyakinan teologis.

Saat itu kelompok Mu’tazilah sedang mendapatkan dukungan besar dari khalifah, termasuk pandangan teologis Mu’tazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Aparat pemerintah secara gencar melakukan intimidasi kepada siapa saja yang tidak menerima doktrin tersebut.

Di antara ulama yang berseberangan dengan penguasa yaitu Imam Ahmad  (yang berfatwa bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk karena ia merupakan Kalam Allah Swt) sehingga beliau dimasukkan ke penjara dan merasakan pedihnya hukuman selama bertahun-tahun.

Penderitaan beliau yang telah berusia lanjut itu terus berlanjut sampai pemerintahan al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Kebebasan beliau diperolehnya setelah Khalifah al-Mutawakkil naik tahta dan menetapkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai mazhab resmi negara (sebagai ganti Mu’tazilah).

Demikianlah, kita menyaksikan keteladanan kemandirian ulama dan kekokohan sikap mereka dalam berpendirian yang tidak menjadikan kemuliaan derajatnya berkurang sedikitpun.

Seorang ulama hakiki memang semestinya memegang erat idealisme dan senantiasa memperjuangkan prinsip ideal itu, meski di hadapan pemangku kekuasaan sekalipun.

 

 

 

Dalam sejarah umat Islam di Indonesia dijumpai pula tokoh-tokoh ulama yang berkepribadian mulia dan selalu konsisten dalam berprinsip. Pada masa penjajahan Belanda hingga Jepang muncul pahlawan nasional bernama KH Zainal Musthofa (1901-1944), pemimpin Pesantren Sukamanah, Jawa Barat.

Menurut KH Abdul Aziz Masyhuri (1942-2017) dari Denanyar, Jombang, di dalam karyanya berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia, pada awal tahun 1940-an KH Zainal Musthofa menyerukan perlawanan kepada pemerintah kolonial. Upaya Belanda untuk menjinakkan sikap beliau tidak pernah berhasil sehingga beliau ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis pada tahun 1941.

Meskipun beliau dibebaskan penjajah Jepang pada 1942, ternyata pembebasannya itu tidak mengubah penentangannya terhadap penjajahan. Ajakan Jepang yang membujuknya agar bergabung dalam pemerintahan ditolaknya mentah-mentah.

Saat itu Jepang memaksa para pemuka agama Islam supaya bersedia menggunakan ayat-ayat suci al-Qur’an dan juga otoritas mereka untuk mengelabui rakyat demi mendukung Jepang. Apabila mereka menolak, maka ancaman hukuman berat akan ditimpakan kepada mereka.

Penjajah Jepang berkali-kali gagal melunakkan pendirian KH Zainal Musthofa. Pada 24 Februari 1944 Jepang mulai mengirimkan pasukan (yang sebagiannya justru terdiri dari warga pribumi) untuk menyerang Pesantren Sukamanah. Dalam pertempuran tidak seimbang itu banyak pejuang Muslim berguguran dan KH Zainal Musthofa kemudian ditangkap.

Pada akhir Maret 1944 beliau dibebaskan Jepang dengan harapan mau membantu Jepang. Namun dalam pidato penyambutannya di Pesantren Sukamanah, ternyata beliau tetap menentang Jepang dan tidak mau melakukan seikeirei (pemberian hormat kepada Kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo), karena perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak akidah tauhid serta mengalihkan arah kiblat.

Beliau menyebut orang Jepang sebagai musyrik dan mengecam keras pengerahan romusha (kerja paksa) oleh penjajah Jepang. Kemarahan Jepang pun memuncak sehingga beliau syahid setelah dihukum mati penjajah pada 25 Oktober 1944.

Keteguhan sikap dicontohkan pula oleh KH Asnawi (1861-1959) dari Kudus, Jawa Tengah, yang sangat menentang kolonialisme sehingga beliau dipenjara oleh penjajah Belanda pada 1918 selama tiga tahun. Karena beliau merupakan kiai berpengaruh yang memiliki kharisma tinggi, maka Belanda menawarkan jabatan sebagai hakim agama di Kudus.

Meskipun beliau menyambut kedatangan Van Der Plas dengan ramah, namun dengan tegas beliau menolak menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Dalam pandangannya, aktivitas amar makruf nahi munkar memerlukan kebebasan dan independensi sehingga akan sulit bagi beliau untuk menjalankan dakwah apabila menjadi pejabat pemerintah. Apalagi kegiatan dakwah itu harus sering ditujukan kepada penjajah.

Keputusan semacam itulah yang diambil juga oleh KH Moenawar Chalil, penulis buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. Beliau pada pertengahan tahun 1952 menolak tawaran Presiden Soekarno untuk posisi tinggi di Jakarta dan tidak mau menduduki posisi sebagai Menteri Agama yang ditawarkan kepadanya oleh kabinet koalisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) - Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Menurutnya, apabila dirinya menjadi pejabat pemerintah pusat di ibukota, maka hal itu akan memaksanya untuk menghentikan sikap kritisnya kepada pemerintah karena integritas moral lebih berharga dan terhormat daripada jabatan tinggi di Jakarta.

Di samping itu, beliau ingin memusatkan seluruh tenaga dan waktunya untuk kegiatan berdakwah dan menulis setelah sempat terhenti sejak tahun 1941. Demikian dituturkan Thoha Hamim dalam karyanya Moenawar Chalil’s Reformist Thought: A Study of an Indonesian Religious Scholar (1908-1961).

Bagi seorang ulama sejati, jabatan formal tidak perlu dikejar maupun dipertahankan mati-matian. Sebab konsistensi pengamalan ajaran Islam dan kesungguhan dalam perjuangan dakwah jauh lebih utama dari sekedar mendapatkan penghargaan dari penguasa.

Namun keberadaan dirinya sebagai ulama seringkali dalam kondisi terkungkung dan tidak bisa bersikap kritis menyampaikan kebenaran. Kiai Moenawar senantiasa berprinsip bahwa kebenaran  harus disampaikan kepada siapapun, termasuk kepada penguasa, meski kebenaran itu terasa pahit.

Sejarah mencatat KH Moenawar Chalil sangat berpantang dan tidak sudi merendahkan martabatnya di depan penguasa politik hanya demi mendapatkan jabatan. Kehormatannya sebagai cendekiawan tidak layak digadaikan begitu saja dengan harga amat murah.

Meskipun demikian, pemaparan di atas bukan berarti bahwa ulama dilarang untuk menjalin hubungan kerjasama dengan penyelenggara pemerintahan (umara). Hal utama yang hendak ditekankan di sini ialah mengenai kewajiban ulama agar senantiasa mempertahankan independensinya tatkala bergandengan tangan dengan pemegang kekuasaan politik.

Pada dasarnya, kewibawaan ulama sama sekali tidak akan berkurang dimanapun dirinya berada, baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, sehingga sangatlah tidak etis apabila ada sekelompok masyarakat yang mencemooh, mengolok-olok, dan berkomentar negatif pada ulama yang tidak menempati posisi struktural di lembaga resmi pemerintah.

Seluruh ulama, tanpa melihat warna baju golongannya, seharusnya saling bahu membahu dalam membina dan membentengi kaum Muslimin sambil tetap menjunjung toleransi dan kerukunan terhadap sesama umat Islam maupun penganut agama lainnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler