Inflasi Sudan Capai 230 Persen, Dorong Potensi Hiperinflasi

Tingginya inflasi karena pemerintah harus mencetak banyak uang untuk mendanai defisit

Foto : MgRol112
Ilustrasi Inflasi
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Tingkat inflasi di Sudan meningkat ke salah satu level tertinggi di dunia. Negara ini berisiko tergelincir ke dalam hiperinflasi kecuali jika defisit anggaran dan suplai uangnya terkendali, kata para ekonom.

Baca Juga


Kenaikan harga telah memperburuk krisis ekonomi bagi jutaan orang Sudan biasa dan membahayakan transisi politik di bawah kesepakatan pembagian kekuasaan militer dengan sipil.

Tingginya inflasi disebabkan pemerintah harus mencetak banyak uang untuk mendanai defisit anggaran yang sangat besar untuk mensubsidi biaya bahan bakar. Kebijakan ini telah memperlemah mata uang terhadap mata uang lain dan mendorong inflasi ke level 230 persen secara tahunan pada bulan lalu, menurut biro statistik negara bagian.

Harga yang meroket membuat banyak konsumen menghabiskan gajijnya dengan cepat. Khususnya untuk barang-barang tahan lama yang memiliki nilai jual.

Idrees Abdelmonium, pekerja di bagian pemasaran di sebuah perusahaan teknik di Khartoum, memiliki cara untuk bertahan. Ia membeli suku cadang dan furniture mobil, namun tidak untuk makanan dan minuman. Sebab, harga perlengkapan mobil cenderung naik sangat cepat.

"Jika saya ingin memiliki sesuatu yang ingin saya beli di luar kebutuhan rumah bulanan, saya membelinya segera setelah mendapatkan uang. Saya bahkan tidak akan mencoba menawar karena harganya bisa naik dua kali lipat pada besok," tuturnya, seperti dilansir di Reuters, Ahad (29/11).

Angka-angka bank sentral menunjukkan, skala pencetakan uang oleh otoritas dengan ukuran jumlah uang beredar M2 (uang beredar dalam arti luas) meningkat lebih dari 50 persen pada bulan lalu dibandingkan akhir 2019. Pada September saja, M2 naik 7,13 persen.

Spesialis hiperinflasi di Universitas John Hopkins Steve Hanke menghitung, tingkat inflasi meningkat sekitar 24 persen tiap bulan. Meski di bawah kategori inflasi yang didefinisikan sebagai kenaikan 50 persen tiap bulan, angka tersebut tetap sangat tinggi.

Hanke menempatkan Sudan di antara lima negara dengan inflasi tertinggi. “Ini cukup menakutkan,” katanya.

Ibrahim Elbadawi yang mengundurkan diri sebagai menteri keuangan Sudan pada Juli menekankan, masalah hiperinflasi itu nyata dan membutuhkan perhatian serius.

Ia menyebutkan, titik awal dari potensi hiperinflasi adalah subsidi. Subsidi bahan bakar tercatat menyumbang 71 persen dari semua subsidi, setara dengan 10,6 persen dari PDB pada 2019, menurut Dana Moneter Internasional (IMF). "Ini memiliki implikasi yang tidak perlu dipertanyakan lagi bagi keuangan pemerintah," ucap Elbadawi.

Pemerintah mulai mengurangi subsidi secara bertahap dengan mengizinkan perusahaan swasta mengimpor bensin dan solar dengan harga yang mendekati harga pasar. Secara bertahap, pemerintah juga mengurangi jumlah stasiun tempat penjualan bahan bakar subsidi.

IMF menekankan, Sudan harus mengurangi subsidi bahan bakar menjadi 2,2 persen. Target ini untuk membantu Sudan melakukan program restrukturisasi kredit yang bertujuan membantu mengendalikan defisit.

Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme telah memberikan sedikit bantuan langsung bagi Sudan.

Produk Domestik Bruto (PDB) Sudan tercatat menyusut lebih dari dua persen pada 2018 dan 2019. Pada September, pemerintah menuturkan kepada IMF, kontraksi itu diperkirakan semakin dalam ke level 8,5 persen pada tahun ini setelah dilanda pandemi virus corona.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler