Ternyata Larangan Hina Agama Dibenarkan Sarjana Barat
Sarjana Barat membenarkan larangan menghina agama di dunia
REPUBLIKA.CO.ID, Karena banyaknya ktitik terhadap pelaksanaan hukum antipenodaan agama (religious defamation atau religious blasphemy) di negara-negara Muslim, maka negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengusulkan pembahasan persoalan ini kepada Komisi HAM PBB. Perdebatan dan resolusi Komisi HAM PBB pun terjadi pada 2002, 2003, 2004, dan 2005.
Perdebatan juga terjadi dalam Dewan HAM dan Sidang Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2009. Hasilnya, negara-negara yang mendukung lebih banyak dibandingkan yang menolak. Dalam Sidang Umum PBB 2009, misalnya, 80 negara mendukung, 61 negara menolak, dan 42 abstain terhadap resolusi antipenodaan agama.
Semua negara Muslim memiliki hukum antipenodaan agama dan mempertahankannya dalam perdebatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari watak dan sejarah Islam yang mendapat jaminan bahwa Allah akan menjaga kemurnian ajarannya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS al-Hijr: 9), sehingga pemeliharaan agama merupakan salah satu dari lima keniscayaan (dharuriyyat al-khams).
Konsekuensinya, setiap Muslim wajib menjaga kehormatan agama dan menolak penyimpangan. Bahkan, teori hukum Barat pun membenarkan ini, sebagaimana dinyatakan Oemar Senoadji (1975), yakni (a) Religionschutztheorie (teori perlindungan terhadap agama), (b) Gefuehlschutztheorie (teori perlindungan terhadap perasaan keagamaan, dan (c) Friendenschutztheorie (teori perlindungan kedamaian dalam beragama).
Meski Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak hukum ini, kenyataannya hanya Inggris yang sudah menghapus, yakni Toleration Act 1689 dan Blasphemy Act 1698 yang digantikan dengan Criminal Justice and Immigration Act 2008.
Kini, masih banyak negara Eropa yang mempertahankan, yakni Austria, Denmark, Finlandia, Yunani, Italia, Irlandia, Belanda, dan Jerman di samping Spanyol, Portugal, dan Slovakia. Juga, sejumlah negara di Eropa, seperti Rusia, Prancis, Swiss, Jerman, dan Yunani kini masih melarang atau membatasi aktivitas aliran keagaman tertentu, seperti Mormon, Saksi Yehova (Yehuwa) atau Scientology, serta aliran kepercayaan (cults) lain. Diskriminasi terhadap mereka pun terkadang masih terjadi sampai saat ini.
Dalam konteks ini, Indonesia termasuk negara yang tetap mempertahankan hukum antipenodaan agama, yakni PNPS No 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP. Pasal ini berasal dari PNPS No 1/1965 yang dikuatkan melalui UU No 5/1969. Namun, di era reformasi keberadaan hukum antipendoaan agama dipertanyakan oleh kelompok agama, intelektual, maupun pihak asing.
Alasan penolak karena hukum ini membatasi hak kebebasan beragama meski ada yang hanya menolak hukum antipenodaan dalam arti penyimpangan, tetapi tetap menyetujui dalam arti penghinaan agama. Pada 2009, sejumlah kelompok agama dan aktivis LSM mengajukan judicial review terhadap PNPS. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak usulan uji materi itu melalui putusannya No 140/PUU-VII/2009 dengan alasan PNPS ini tidak membatasi kebebasan beragama. Sebaliknya, UU ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok ajaran agama yang ada di Indonesia. Tanpa regulasi semacam ini, dikhawatirkan akan muncul kekerasan atau aksi sepihak terhadap pelaku penodaan agama.
Sedangkan alasan tetap menyetujuinya, yang mayoritas, karena hukum ini sejalan dengan sila pertama Pancasila. Dalam negara ini, hukum antipenodaan agama masih perlu dipertahankan dengan tetap mengacu pada sistem demokrasi.
Negara tak hanya wajib melindungi kebebasan beragama, tetapi juga melindungi hak pemeluk agama untuk menjaga kebenaran (kemurnian) ajaran agamanya. Kebebasan beragama harus dilindungi selama ajarannya tidak merugikan atau mengganggu pihak lain dalam bentuk penghinaan maupun penyimpangan dari pokok ajaran agama.
Kenyataannya, kasus penodaan dalam arti penghinaan agama sudah banyak dibawa ke pangadilan atas dasar Pasal 156a KUHP. Misalkan kasus Antonius Rechmon Bawengan pada 2011 di Temanggung, Jateng, dan Tajul Muluk pada 2012 di Sampang, Madura.
Tajul Muluk dituduh melakukan penodaan agama dalam bentuk caci-maki terhadap sahabat sehingga menimbulkan kemarahan warga mayoritas yang notabene pengikut Suni. Namun, kasus penodaan dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama tidak mudah diselesaikan sesuai PNPS.
Pada saat ini, kasus penodaan agama dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama ini bisa diselesaikan melalui proses peradilan berdasarkan Pasal 156a KUHP, seperti kasus Jamaah Salamullah yang didirikan Lia Aminuddin, dan kasus al-Qiyadah al-Islamiyyah yang didirikan Ahmad Mushaddiq.
Hanya saja, banyak ormas Islam yang lebih suka menuntut pembubaran dan pelarangan Jemaat Ahmadiyah oleh presiden berdasarkan PNPS. Hal ini karena Ahmadiyah telah dinyatakan menyimpang oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al-‘Alam al-Islami) pada April 1974, dan oleh MUI pada 1980 yang dikuatkan kembali pada 2005.
Namun, karena pembubaran oleh presiden itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, pembubaran itu tidak dilakukan. Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (No 3 Tahun 2008, No KEP-033/A/JA/6/2008, No 199 Tahun 2008).
SKB itu hanya memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran ajaran Ahamdiyah tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi serta peringatan kepada warga untuk tetap menjaga kerukunan. SKB itu juga mengandung pengertian, dalam ranah privat penganut Ahmadiyah bebas mengekspresikan keyakinannya, tetapi dalam ranah publik mereka tidak bebas.
Selain Ahmadiyah, sejumlah ormas menuntut pelarangan aliran Syiah. Namun Syiah ini berbeda dengan Ahmadiyah. Syiah diakui sah di dunia Islam, termasuk Arab Saudi yang dikenal sangat ketat dalam pemahaman agama. Di Arab Saudi terkadang muncul caci-maki terhadap sahabat, tetapi Syiah tidak dilarang dan cukup pelakunya dikenakan hukuman. Pemidanaan terhadap Tajul Muluk pun bukan karena Syiahnya, melainkan karena penodaan agama.
Karena dasar hukum antipenodaan agama dibuat di era pemerintahan yang tidak demokratis, ke depan diperlukan ketentuan kuat dengan tetap dalam koridor sistem demokrasi. Tindak pidana terhadap agama sudah masuk RUU KUHP, yakni Pasal 341-348. Ketentuan dalam pasal ini secara umum sudah cukup jelas. Hanya, rumusannya belum mencakup penodaan agama dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama.
Tentu saja, ketentuan tentang “penyimpangan dari pokok ajaran agama” ini harus jelas agar tidak menimbulkan multitafsir. Dengan memasukkan ketentuan tentang hal ini, aliran yang menyimpang dari pokok ajaran agama dapat dilarang atau dibubarkan melalui pengadilan (bukan oleh presiden) setelah mendapatkan pertimbangan dari majelis agama tingkat nasional masing-masing agama.
*Naskah ini tayang di Harian Republika, 2014