Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Rokok 12,5 Persen Tahun Depan

CHT untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sebesar 18,4 persen.

Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9). Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen pada tahun depan.
Rep: Adinda Pryanka Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen pada tahun depan. Tapi, kenaikan dikecualikan terhadap jenis sigaret kretek tangan yang bersifat padat karya atau menyerap banyak tenaga kerja.  

Baca Juga


Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kebijakan CHT tahun depan dilaksanakan sesuai dengan visi misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan pada Sumber Daya Manusia (SDM) maju, Indonesia Unggul.

"Kebijakan ini merupakan komitmen kita untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari CHT," katanya dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/12).

Sri memastikan, kenaikan CHT pada tahun depan sudah disesuaikan dengan suasana pandemi Covid-19 melalui menyeimbangkan antara aspek kesehatan dengan kondisi perekonomian secara umum. Khususnya pada tenaga kerja yang terkait industri ini.

Secara lebih rinci, CHT untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sebesar 18,4 persen, sementara golongan IIA dan IIB dinaikkan masing-masing 16,5 persen dan 18,1 persen.

Selain itu, sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen dan 13,8 persen untuk SKM golongan IIA. SKM golongan IIB pun naik sebesar 15,4 persen. Sedangkan, industri sigaret kretek tangan tidak mengalami perubahan. 

"Kenaikannya nol persen karena industri ini adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar," tutur Sri.

Sri menuturkan, setidaknya ada beberapa dimensi yang dipertimbangkan sebelum menentukan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Pertama, mengendalikan konsumsi dari produk hasil tembakau dengan fokus pada masalah kesehatan. Dalam hal ini adalah dampak kesehatan dari konsumsi hasil tembakau, atau rokok.

Pada saat bersamaan, pemerintah harus terus menjaga tenaga kerja yakni para buruh yang bekerja di pabrik rokok dan petani tembakau. Sri mencatat, setidaknya ada lebih dari 158 ribu buruh pabrik rokok, terutama terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.

Selain itu, setidaknya ada 526 ribu keluarga petani tembakau atau setara dengan 2,6 juta orang yang masih bergantung pada pertanian tembakau.

Pemerintah juga berkewajiban untuk meminimalkan dampak produk hasil tembakau yang sering muncul dalam bentuk kegiatan produksi rokok ilegal. Sebab, Sri menuturkan, mereka tidak hanya melalaikan kewajiban ke negara, juga membahayakan kesehatan masyarakat. "Kami akan terus memerangi rokok ilegal dan menjaga kepentingan penerimaan negara," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler