Islam dan Warga Negara: Ironi Kekosongan Kepemimpinan Umat
Dilema antomi umat Islam Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha, Wartawan Senior dan mantan Pimred Republika
-----
Pada 1996, Deliar Noer membuat buku otobiografi. Buku yang sangat tebal itu, 1.031 halaman, diterbitkan Mizan. Deliar adalah orang pertama Indonesia yang meraih gelar doktor dalam ilmu politik. Ia meraih gelar master pada 1960 dan gelar doktor pada 1963. Keduanya diraih di Cornell University, Amerika Serikat. Universitas ini terkenal sebagai pusat studi Indonesia terbaik.
Di sana ada George McTurnan Kahin, guru para indonesianis. Muridnya yang terkenal adalah Herbert Feith, yang menjadi bapak indonesianis di Australia. Buku otobiografi Deliar tersebut berjudul Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa. Judul ini memperlihatkan dua peran seorang Deliar, yang bisa menjadi gambaran secara umum tentang peran umat Islam Indonesia.
Pada dekade 1985, sejarawan Kuntowijoyo membuat lini masa tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam Indonesia. Dimulai dari kawulo (sejak pra Islam hingga 1900), lalu wong cilik (1900-1920), kemudian umat (1922-1942), dan akhirnya warga negara (1942-hingga kini.
Di masa lalu, rakyat hanyalah kawulo, abdi. Mereka kaum pariah dihadapkan dengan para bangsawan. Namun seiring perkembangan waktu, mereka kemudian menjadi wong cilik, rakyat kecil, dengan indikator utama kiprah Sarekat Islam, yang berperan sebagai organ perlawanan terhadap kolonial.
Namun penetrasi SI Merah/komunisme dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad, kata Kunto, telah membangun kesadaran bahwa mereka adalah umat Islam.
Masuknya pendudukan Jepang, yang mengakui eksistensi umat Islam, dengan menyertakan umat Islam ke dalam pemerintahan dan pembentukan laskar-laskar, yang hal ini berbeda dengan perlakuan kolonial Belanda terhadap umat Islam, telah menciptakan kesadaran baru bahwa mereka adalah warga negara.
Dalam konstitusi pemerintah kolonial Belanda, Indische Staatsregeling, umat Islam adalah inlander yang berada di kelas terendah dengan diskriminasi hak-hak sosial-ekonomi.
Kedudukan umat Islam sebagai warga negara, yang dimulai sejak pemerintahan pendudukan Jepang tentu makin jelas setelah Indonesia merdeka.
Apakah dengan demikian label umat menjadi lenyap? Pertanyaan ini sebetulnya mudah dijawab. Namun kita tunda dulu untuk menjawabnya.
Pada 1950an, antropolog dari Chicago University, Amerika Serikat, Clifford Geertz, melakukan penelitian di Pare, Kediri. Di situ ia menemukan masyarakat yang segregatif, yang ia bagi dalam tiga golongan: santri, abangan, dan priyayi.
Tipologi ini banyak dikritik orang, karena menggabungkan tipologi kesadaran praktik keagamaan (abangan dan santri) dengan tipologi kesadaran status sosial (priyayi).
Namun demikian, publik bisa menerima karena tiga golongan ini, pada tahap selanjutnya – walau tak menjadi fokus penelitian Geertz -- memiliki perilaku politik yang berbeda.
Santri menekankan aspek-aspek Islam dan diasosiasikan dengan pasar. Abangan menekankan aspek animisme dan diasosiasikan dengan petani desa. Priyayi menekankan aspek Hindu dan diasosiasikan dengan birokrasi pemerintahan.
Banyak kritik terhadap penggolongan yang segregatif ini. Karena dalam praktiknya, priyayi ada yang abangan dan ada yang santri. Petani dan orang desa pun ada yang santri dan ada yang abangan.
Sayang penelitian ini dilakukan pada 1954, sebelum pemilihan umum 1955. Sehingga belum tergambar dengan jelas tentang tiga penggolongan ini dalam hal afiliasi politik. Walaupun sudah sedikit disingggung tentang santri yang tersirat ke Masyumi dan NU, serta priyayi yang ke PNI. Hasil pemilu 1955 kemudian memperlihatkan kenyataan itu. Adapun abangan lebih memilih PKI.
Penggolongan sosial yang direlasikan dengan pilihan politik ini kemudian menjadi model analisis yang paling berpengaruh. Buku Geertz bahkan menjadi buku paling berpengaruh.
Persoalannya kemudian adalah zaman berubah. Pembangunan yang massif dilakukan pemerintah Orde Baru telah membuat masyarakat segregatif tersebut mencair, selain PKI sudah menjadi partai terlarang dan Masyumi sudah dibubarkan serta tak boleh berdiri lagi.
Seiring kemajuan pendidikan dan peningkatan ekonomi, menjadi santri adalah pilihan yang dinilai lebih baik. Pergi haji adalah indikatornya. Pelajaran agama di sekolah-sekolah yang bersifat wajib telah menjadikan semua orang Islam memiliki pemahaman agama yang relatif merata. Demikian juga dengan pesatnya pertambahan jumlah pesantren telah membuat pemerataan kesempatan untuk menjadi santri.
Di kampung-kampung status haji, ustad, dan kiai memiliki kedudukan yang tinggi. Hal itu memiliki dampak terhadap proses identifikasi dan proses orientasi sosial. Karena itu, santrinisasi merupakan realitas yang tak terelakkan.
Salah satu wujudnya adalah pemakaian jilbab di kalangan perempuan. Pada sisi lain, kebangsawanan (priyayi) justru mengalami degradasi akibat kemajuan ekonomi dan pendidikan. Artinya semua orang bisa menjadi priyayi, sehingga kelas sosial ini mengalami pelumeran. Tak ada lagi eksklusivitas.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa santri dan abangan adalah kesadaran dalam praktik beragama, sedangkan priyayi adalah status sosial karena jabatan dan keturunan.
Karena itu, di masa kini, di partai-partai sekular seperti PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem juga banyak ditemukan santri. Walaupun secara genealogi, partai-partai ini lebih dekat ke abangan dan priyayi.
PDIP sendiri jelas kelanjutan dari PNI, selain ada unsur Parkindo dan Katolik. Setelah reformasi, para keturunan PKI yang terkonsolidasi juga memilih bergabung ke PDIP. Sedangkan Demokrat, Gerindra, dan Nasdem hakikatnya adalah berasal dari pecahan Golkar.
Dengan demikian mereka masih memiliki tipologi yang sama. Partai ini hendak menyerap semua golongan sosial di Indonesia. Karena itu di partai-partai tersebut semua golongan ada.
Nah, seiring perkembangan kesadaran praktik keagamaan dan perkembangan sosial, di semua partai terdapat santri. Mereka bisa santri dari sejak era kerajaan Islam dan era kolonial, maupun santri generasi pasca Orde Baru.
Pada sisi lain, partai-partai yang genealogisnya memang partai santri, juga terus ada dan bertambah, seperti PPP, PKB, PAN, dan PKS. Namun semua sudah tahu bagaimana perolehan suara partai-partai tersebut dan bagaimana nasib partai-partai santri berada di level menengah.
Angka kumulatifnya berkisar 30 persen, pada 2019 30,05% suara. Jauh di bawah gabungan Masyumi dan NU serta partai-partai Islam lainnya yang kecil-kecil pada 1955 yang 43,72 persen suara.
Mestinya, dengan tumbuhnya santrinisasi, suara partai Islam meningkat dibandingkan pemilu 1955. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Karena itu muncul argumen bahwa santri tak mesti berada di partai Islam tapi juga bisa ke Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Nasdem.
Bahkan di PDIP pun banyak santri, hal itu misalnya dibuktikan dengan adanya sayap Baitul Muslimin di PDIP, seperti di Golkar yang juga ada sayap Satkar Ulama dan Majelis Dakwah Islamiyah – di masa bernama PDI di era Orde Baru juga ada sayap Majelis Muslimin Indonesia (MMI), bahkan di masa PNI ada sayap Jamiatul Muslimin (Jamus).
Pada titik inilah tuntutan redefinisi umat atau santri menjadi mengemuka.
Dalam ulasannya, walau pergeseran kesadaran sosial berada dalam garis kontinum linier, Kuntowijoyo menyatakan bahwa kesadaran sebagai wong cilik dan umat tetap ada di masa warga negara. Hanya kesadaran sosial sebagai kawulo alias abdi yang telah lenyap.
Karena itu, kita menyaksikan semangat perlawanan dan semangat keislaman tetap tumbuh seiring dengan semangat kontributif, bahkan saling berkelindan.
Dalam tulisannya pada tahun 2000, setelah reformasi, Kunto lebih jauh menulis bahwa semua yang beragama Islam adalah umat. Namun pengertian ini ia nilai terlalu luas dan tak bisa dijadikan unit analasis. Karena itu, ia membuat definisi yang lebih spesifik.
Menurutnya, yang disebut umat adalah “mereka yang lebih dari segalanya merasa menjadi bagian dari komunitas Islam”. Dengan demikian, selain faktor identitas, juga ada faktor penting yang perlu mendapat penekanan, yaitu aspirasi.
Hal ini merupakan hal yang biasa dalam sistem demokrasi dan dalam masyarakat modern, sebagaimana keberadaan aspirasi kelompok-kelompok yang lain. Oleh Kunto aspirasi itu tidak diterjemahkan dalam konsep-konsep yang menonjolkan identitas tapi justru ditarik ke garis universal sehingga mengubah egosentrisme ke dalam objektivikasi, dari etika idealistik ke etika profetik.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan yang dilakukan NU dengan Islam Nusantara merupakan bagian dari perwujudan yang dimaksud Kunto. Sesuai latar sejarah masing-masing, Muhammadiyah masuk lewat wacana kemodernan, sedangkan NU bergerak melalui wacana tradisi.
Dengan demikian, tak perlu lagi ada kegelisahan antara keumatan dan kebangsaan, karena keduanya sudah menyatu.
Yang terjadi, kata Kunto, jika generasi pertama berhasil membangun kepeloporan seperti yang dilakukan Sarekat Islam dan Muhammadiyah, maka generasi kedua justru keteteran seperti yang terjadi pada ICMI.
Selain karena faktor internal yang gagal melakukan lompatan, kata Kunto, juga karena eks-abangan, Tionghoa, dan golongan agama-gama lain juga mengalami evolusi. Keberlanjutan keteteran itu terjadi hingga masa kini.
Hal-hal inilah yang memerlukan solusi agar bangsa ini tak bergerak di tempat. Ada pekerjaan rumah besar bagi umat ini untuk mentransformasi diri, sedangkan bagi golongan lain jangan melakukan kesalahan seperti di masa lalu yang ingin menghegemoni.
Seperti kata Bung Hatta, alih-alih melakukan “persatuan”, yang dilakukan justru “persatean”; mengikat dan menubles itu berbeda.