PUI dan Optimalisasi Wakaf
PUI diharapkan dapat melakukan optimalisasi model pemanfaatan aset wakaf.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irfan Syauqi Beik, Ekonom Syariah IPB dan Ketua Dewan Pakar Pusat PUI (Persatuan Ummat Islam)
Hari ini, 21 Desember 2020, Persatuan Ummat Islam (PUI) merayakan milad yang ke-103. Sejarah panjang perjalanan ormas Islam yang memiliki basis massa terbesar di Jawa Barat ini tentu tak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa. PUI telah memberikan sumbangsih dan kontribusi penting dalam upaya perjuangan merebut kemerdekaan maupun kontribusi dalam pembangunan pasca kemerdekaan.
Tiga pendiri PUI, yaitu KH Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi, dan Mr Syamsudin adalah anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berperan penting dalam menyiapkan fondasi kemerdekaan negara kita. KH Abdul Halim pun juga telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain terlibat menjadi salah satu motor penggerak kemerdekaan, PUI juga memiliki perhatian sangat besar terhadap pembangunan sektor pendidikan, dakwah, dan ekonomi umat. PUI tercatat memiliki ribuan pesantren, madrasah, dan sekolah yang tersebar di berbagai wilayah dengan konsentrasi utama di Jawa Barat.
Demikian pula dengan aset-aset lainnya yang didedikasikan untuk memajukan ekonomi umat. Penulis berharap agar aset-aset wakaf strategis ini dapat terus dikembangkan dan dioptimalkan agar bisa semakin produktif dan memiliki dampak ekonomi lebih besar, sehingga kesejahteraan umat bisa ditingkatkan. Agar potensi yang dimiliki PUI, terutama potensi ekonominya, dapat dioptimalkan bagi kemajuan ekonomi umat, maka ada tiga langkah yang dapat dilaksanakan oleh PUI.
Pertama, penguatan konsolidasi internal, terutama konsolidasi aset dan kelembagaan wakaf PUI. Ini adalah hal yang sangat penting dan strategis agar aset-aset yang dimiliki PUI bisa semakin memberi manfaat ekonomi yang besar dalam membiayai kegiatan dakwah PUI sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ini semua akan dapat diwujudkan manakala aspek kelembagaan pengelola wakaf PUI juga diperkuat dan ditingkatkan.
Bagaimanapun juga, ujung tombak dari optimalisasi aset sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas kelembagaan yang ada. Karena itu, keputusan Majelis Syura PUI untuk memperkuat konsolidasi aset dan kelembagaan wakaf melalui penyusunan pedoman dasar yang menjadi panduan PUI serta pendirian Badan Wakaf dan Aset adalah langkah yang sangat strategis. Diharapkan, institusi pengelola wakaf dan aset yang dikembangkan PUI ini dapat memainkan peran penting dalam mengonsolidasikan dan mendayagunakan aset-aset yang ada.
Kedua, PUI perlu mengembangkan model-model inovatif dalam pengelolaan dan pemberdayaan aset wakafnya agar memiliki nilai ekonomis yang semakin besar. Jika melihat dinamika pengelolaan wakaf saat ini, penulis melihat ada tiga pendekatan model pengembangan wakaf yang ada.
Pendekatan pertama adalah pure social approach atau pendekatan sosial murni. Dalam pendekatan ini, aset wakaf dikelola untuk tujuan sosial murni. Pengelolaannya biasanya ditujukan untuk 3 M, yaitu masjid, madrasah (lembaga pendidikan), dan makam meski bisa juga dikembangkan untuk hal lain. Dalam pendekatan ini, pengelolaan aset wakaf dilakukan secara sosial dengan mengandalkan donasi berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai sumber utama pemasukannya.
Pendekatan kedua adalah socio-economic approach atau pendekatan sosial ekonomi. Dalam pendekatan ini, dikembangkan sejumlah model pengelolaan wakaf secara produktif dan memberikan manfaat ekonomi. Aset-aset wakaf yang ada dikelola secara produktif agar memberikan economic return yang optimal. Adapun hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk membiayai aktivitas institusi nazir (pengelola wakaf) dan untuk tujuan-tujuan sosial, seperti dalam bentuk beasiswa, kafalah da’i, bantuan pangan, bantuan tunai, dan pembiayaan kegiatan sosial dan dakwah lainnya.
Model-model pengelolaan wakaf dengan pendekatan ini sudah sangat banyak dan beragam di Indonesia. Banyak pesantren dan sekolah berbasis wakaf yang kemudian mengembangkan wakaf produktif dalam membiayai aktivitasnya sehingga mereka memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
Pendekatan ketiga adalah financial-hybrid approach, yaitu pendekatan yang mengombinasikan wakaf sebagai produk keuangan sosial syariah dengan produk-produk keuangan syariah komersial. Di antara contoh model pendekatan ini yang sudah dikembangkan antara lain adalah wakaf polis asuransi yang mengombinasikan antara asuransi syariah dengan wakaf, serta cash waqf link sukuk (CWLS), yang mengombinasikan antara wakaf uang dengan sukuk negara. CWLS ini telah diterbitkan dua kali tahun ini, yaitu CWLS seri SW001 pada Maret lalu dan CWLS seri SWR001 pada November lalu.
Jika melihat kondisi aset wakaf PUI saat ini, penulis berharap agar PUI dapat mengembangkan model pemanfaatan aset wakafnya dengan menggunakan pendekatan socio-economic approach maupun financial hybrid approach. Porsi kedua pendekatan ini harus diperbesar agar manfaat ekonomi yang dihasilkan bisa semakin besar yang ujungnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Independensi dan kemandirian PUI pun akan semakin kuat.
Selanjutnya, langkah ketiga adalah memperkuat sinergi dengan ormas-ormas Islam yang ada dan juga dengan lembaga-lembaga perekonomian umat yang telah eksis seperti perbankan syariah, lembaga bisnis syariah, dan lembaga-lembaga zakat dan wakaf resmi yang beroperasi saat ini. Sinergi ini sangat penting dalam rangka mengoptimalkan potensi ekonomi umat yang ada. Akan sangat berat jika setiap ormas Islam dan lembaga ekonomi umat beroperasi sendiri-sendiri tanpa ada sinergi dan kolaborasi.
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem perekonomian umat yang terintegrasi satu sama lain dan saling memperkuat. PUI diharapkan dapat mendorong sinergi ini secara lebih masif dan terstruktur, sehingga kebangkitan ekonomi umat dapat diwujudkan.
Wallaahu a’lam.