Konsep Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar dalam Kaca Mata FPI
Kategori munkar jauh lebih dominan dibanding ma‘ruf,
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah secara resmi melarang Front Pembela Islam (FPI) yang sudah berdiri selama 20 tahun. Dalam sebuah konferensi pers tanpa tanya jawab yang digelar di Jakarta, Rabu (30/12), Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pembubaran FPI dilakukan karena sudah tidak memiliki legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa.
FPI memiliki citra sebagai ormas yang melakukan pendekatan kekerasan. FPI memiliki dua konsep pemikiran yang menjadi dasar dari gerakan organisasi. Konsep tersebut yakni Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar.
Saeful Anwar dalam Pemikiran dan Gerakan Amr Ma’ruf Nahy Munkar Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia 1989-2012 menjelaskan, Amar Maruf Nahi Munkar menjadi dua konsep utama dalam gerakan Front Pembela Islam. Apapun yang mereka lakukan berupa kegiatan pengajian atau aksi di jalanan, tidak bisa dilepaskan dari dua konsep ini. Katagori perbuatan ma‘rûf dan munkar yang FPI definisikan, selain bidang agama mencakup bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Terkait kemunkaran, katagori di atas masih bisa diklarifikasikan ke dalam beberapa katagori yang lebih besar, yaitu: Pertama, katagori penyakit masyarakat (kemaksiatan), di antaranya premanisme, minuman keras, perjudian, pelacuran, narkoba, pornografi, dan pornoaksi. Kedua, katagori penyimpangan agama, di antaranya pelecehan agama, praktik perdukunan, penyimpangan aqidah, pemurtadan, sekularisme, pluralisme, ketidakpedulian pada agama dan umat Islam, serta penolakan aplikasi syariat.
Ketiga, kategori ketidak adilan dan kezaliman, di antaranya penculikan aktivis FPI dan fitnah. Keempat, kategori sistem non-Islam, yaitu: nation state, ekonomi sosialis/kapitalis. Kategori-kategori di atas merupakan wacana utama yang berkembang dalam FPI. Oleh karena itu, fokus FPI lebih pada aksi langsung memberantas kemaksiatan.
Saeful menulis, dalam pikiran mereka kategori munkar jauh lebih dominan dibanding ma‘rûf, yang memiliki aplikasi sosial yang sangat luas, dan bukan perbuatan pribadi. Logika-logika di FPI dalam mengklasifikasikan perbuatan terbagi dua, yaitu ma‘rûf dan munkar; sebagaimana dalam kehidupan manusia juga ada dua, yaitu dunia dan akhirat; lalu reward juga ada dua, yaitu reward berkah di dunia dan surga di akhirat, atau bencana di dunia dan neraka di akhirat.
Bagaimana dengan orang lain yang melakukan kemunkaran? FPI menilai, menolong saudara yang dizalimi adalah hal yang wajar, dan menolong orang yang berbuat zalim juga prioritas dengan jalan mencegahnya dari perbuatan zalim. Sebagai makhluk sosial, maka perbuatan manusia juga memiliki implikasi sosial. Contoh hadîs Nabi jika seseorang melakukan hubungan seks di luar nikah dan itu diketahui oleh warga, maka jika warga tidak berusaha mengingatkannya, maka dalam radius empat puluh rumah dari lokasi tersebut, seluruh warga di sekitarnya tidak akan mendapat berkah dari Allah, tanpa memandang melakukan atau tidak.
Atas dasar itulah maka muncul kewajiban kolektif, bahwa perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai kewajiban individu tetapi fardhu kifâyah atau kewajiban masyarakat. Habib Rizieq menyontohkan peristiwa Tsunami di Aceh, karena tidak ada nahy munkar, saat ulama dan tengku dibunuh, terjadi pemerkosaan, maka Allah menurunkan azab Tsunami. Lantas bagaimana metode aksi untuk menolak atau memberantas kemunkaran tersebut, berarti hal ini masuk ke dalam katagori: amr ma‘rûf dan nahy munkar. Habib Rizieq Shihab memaknai ayat-ayat amr ma‘rûf dan nahy munkar sebagai kewajiban setiap Muslim. Misalnya dalam Q.S. Ali Imrân [3]:104 yang artinya:“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma„rûf dan mencegah dari yang munkar; mereka ialah orang-orang yang beruntung”.
Lantas bagaimana pelaksanaan amr ma‘rûf dan nahy munkar FPI dalam memahami ayat tersebut? Realitas menunjukkan bahwa lokasi pelacuran, pusat perjudian dan narkoba, pusat hiburan malam, dan lokasi maksiat lainnya selalu dijaga ketat oleh preman, bahkan diprediksi aparat keamanan. Jika aksi amr ma‘rûf nahy munkar ingin diterapkan, maka aksi dan gerakan amr ma‘rûf dan nahy munkar tidak bisa dihindari atau dengan kata lain harus menggunakan kekerasan. Rizieq juga menyadari bahwa penegakkan amr ma‘rûf dan nahy munkar tidak mungkin dilakukan tanpa jalan kekerasan. Lalu pada sisi lain al-Qur‟ân dan Nabi menganjurkan agar dakwah dilakukan dengan santun dan persuasif terutama dalam konteks pemahaman Q.S. al-Nah}l [16]:125.
Berkenaan dengan itu, Rizieq mempunyai argumentasi lain dalam menafsirkan ayat tersebut dengan kaidah hukum mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bih fa huwa wâjib. Rizieq memaknainya bahwa amr ma‘rûf dan nahy munkar adalah suatu kewajiban, sementara realitas sosial menunjukkan bahwa proses penegakannya tidak mungkin terlaksana dengan baik kecuali dengan kekerasan.
Dalam kondisi ini, kekerasan juga merupakan suatu kewajiban, sebab penegakan amr ma‘rûf dan nahy munkar tak mungkin terlaksana tanpa kekerasan tersebut. Inilah logika keyakinan yang dipakai Rizieq, yang kemudian dipakai sebagai logika agama dalam setiap aksi gerakan FPI.
Komplesknya masalah kemaksiatan di mata FPI yang mengharuskan adanya tindakan langsung dengan tangan, atas dasar pijakan shar‘î dari perintah Nabi yang berbunyi.
“Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa maka dengan lisannya. Jika tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”. (H.R. Muslim).
Menurut Saeful, metode amr ma‘rûf dan nahy munkar dengan tangan (bi al-yad), jika tidak mampu dengan mulut, jika tidak mampu dengan hati. Inilah akar anarkisme dalam setiap aksi FPI. Merujuk pada sejarah Islam klasik, bahwa aksi pembasmian lokasi maksiat pernah juga dilakukan oleh Ibn Taymîyah dengan pengikutnya. Mereka menghancurkan warung-warung yang menjual minuman keras, dan aksi Ibn Taymîyah ini dikutip dengan baik dalam sebuah rekaman FPI.