Sri Lanka Tolak Hentikan Kremasi Muslim Covid-19
Sri Lanka melarang jenazah Muslim Covid-19 dikubur sejak April 2020.
REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pemerintah Sri Lanka menyatakan menolak permohonan berhenti mengkremasi korban Covid-19 Muslim. Pemerintah tetap pada keputusan awal yang mengikuti tradisi agama mayoritas negara, yakni mengkremasi jenazah.
Penguburan jenazah bagi umat Muslim di Sri Lanka telah dilarang sejak April 2020. Larangan muncul setelah para biksu Buddha menyebarkan klaim, mayat yang dikubur dapat menginfeksi air dalam tanah dan meningkatkan penyebaran virus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim ini. Menurut WHO, baik menguburkan maupun mengkremasi jenazah Covid-19 sama-sama aman.
"Keputusan ini tidak akan diubah karena alasan sosial, agama, politik atau pribadi lainnya," kata Menteri Kesehatan Sri Lanka Pavithra Wanniarachchi, dilansir dari RT, Sabtu (9/1).
Ritual pemakaman dalam tradisi Muslim, adalah dengan memandikan jenazah, membungkus jenazah dengan kain kafan, lalu dimakamkan dengan menghadapkan wajah mayat ke arah Makkah sebagai kiblat umat Islam. Sedangkan umat Buddha yang merupakan mayoritas pemeluk agama di Sri Lanka mengkremasi mayat.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Amnesty International telah meminta pemerintah Sri Lanka menghormati keyakinan Islam dan membalikkan kebijakan mereka yang tidak perlu. Pernyataan OKI telah dikeluarkan sejak pertama kali pemerintah Sri Lanka memberlakukan kremasi.
OKI menyerukan kepada pihak berwenang untuk menghormati praktik dan ritual keagamaan mereka, menjaga martabat mereka dan untuk berdiri teguh melawan semua pihak di balik promosi kebencian, islamofobia, dan sentimen anti-Muslim.
Dewan Muslim Sri Lanka (SLMC) menuduh kebijakan tersebut sebagai upaya pemerintah memaksa Muslim tidak mencari rumah sakit covid-19 karena khawatir mereka akan dikremasi. Sehingga mengakibatkan jumlah kematian yang tidak proporsional.
"Lebih dari setengah dari 222 kematian akibat Covid-19 di negara itu adalah Muslim, yang hanya 10 persen dari populasi," kata dia.
Negara ini saat ini mengalami lonjakan kasus Covid-19, setelah terkena lebih dari 46 ribu infeksi yang dilaporkan sejak dimulainya pandemi, sebagian besar terjadi sejak September tahun lalu.