Ulur Wiji, Label Lokal yang Kembangkan Hijab Eco Fashion
Ulur Wiji membuat hijab yang stylish dari bahan baku ramah lingkungan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu cara untuk menerapkan eco fashion adalah berkomitmen membeli pakaian yang diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan. Sebuah jenama fesyen hijab asal Desa Labangka, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Ulur Wiji, hadir dengan mengusung konsep eco fashion dengan bahan yang ramah lingkungan.
Pemilik jenama, Nasta Rofika, menyadari akan fast fashion dan dampaknya. Selain membuat konsumen berperilaku konsumtif karena membeli produk fesyen sesuai trend yang cepat berganti, hal ini memberikan dampak kepada lingkungan.
“Mulai dari material yang dipergunakan, saat ini marak penggunaan bahan kain polyester yang lebih murah, dan juga pewarnaan kain dari bahan kimia sintetis yang mencemari lingkungan,” ujar Nasta kepada republika.co.id, baru-baru ini.
Oleh karenanya, dalam pembuatan produk-produk Ulur Wiji, Nasta menggunakan material dari kain serat alami yang dipilih dengan sangat selektif. Jadi, lanjut Nasta, ketika kerudung atau pakaian nantinya tak terpakai lagi, maka produk Ulur Wiji bisa dikubur dan akan terurai lebih cepat oleh alam.
Ibu dari dua anak ini juga mendaur ulang sisa-sisa kain yang ada, untuk dijadikan masker, pouch, dan scrunchy. Dia juga membuat wadah pengemasan produk Ulur Wiji dengan mendaur ulang sisa kain yang ada, sebagai pengganti plastik.
Sementara, sisa kain yang benar-benar tak bisa didaur ulang, kata dia, dipergunakan untuk mengisi bantal dan dikubur dalam tanah. Ulur Wiji yang memiliki akun instagram @ulurwiji itu menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan baik itu dari daun, biji, kulit kayu dan tumbuh-tumbuhan lain yang biasa ditemui di sekitar tempat tinggal nya.
“Dengan menggunakan pewarna alami ini sudah pasti ramah lingkungan, sisa dari proses ekstraksi pun bisa kami jadikan pupuk untuk tanaman-tanaman di pekarangan rumah,” jelas dia.
Nasta memutuskan untuk memproduksi produk ramah lingkungan saat dia menyadari dia tak nyaman membuat produk siap pakai seperti kerudung pakaian, dan gaun pernikahan yang tak ramah lingkungan. Perempuan berusia 30 tahun itu mengatakan, dia lalu mempelajari teknik tie dye atau shibori, eco printing, hingga batik.
Dalam satu tahun terakhir, ibu dua anak itu telah menekuni eco fashion. Dia mempelajari cara membatik, mewarnai dengan pewarna alami untuk mengembangkan produk yang menarik namun tetap ramah lingkungan.
“Ulur Wiji sendiri berarti menanam benih dalam bahasa Jawa. Kami berharap, dengan Ulur Wiji ini, kami bisa menanam benih--benih kebaikan dengan menciptakan produk eco fashion yang ramah lingkungan, menghargai budaya leluhur kita dengan melestarikan batik tulis, dan juga mencoba untuk bermanfaat bagi lingkungan sekitar,” tutur Nasta.
Dalam proses produksinya, Nasta mengatakan dia melibatkan pemuda-pemudi lokal yang memiliki minat terhadap fesyen ekologi. Hal ini ditujukan agar para pemuda memiliki kemampuan dan pengetahuan mengenai batik, pewarna alami, dan fesyen ekologi.