Mendag Upayakan Indonesia Lepas dari Safeguard Filipina
Filipina memulai penyelidikan safeguard terhadap produk otomotif RI pada Januari 2020
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Filipina memutuskan melakukan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) bagi produk otomotif berupa mobil penumpang atau kendaraan (passenger cars/vehicles, AHTN 8703) dan kendaraan komersial ringan seperti light commercial vehicles dan AHTN 8704. Tindakan itu berlaku untuk semua negara yang melakukan ekspor ke Filipina, salah satunya Indonesia.
BMTPS tersebut berbentuk cash bond dengan nilai PHP 70 ribu per unit bagi mobil penumpang atau kendaraan dan PHP 110 ribu per unit untuk kendaraan komersial ringan. Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia menyatakan akan terus memperjuangkan agar Indonesia terlepas dari pengenaan BMTPS itu.
“Kami akan terus melakukan berbagai langkah dan upaya agar Indonesia terbebas dari pengenaan BMTPS ini. Pemerintah Filipina seharusnya memiliki bukti kuat sebelum menerapkan pengenaan BMTPS terhadap produk otomotif Indonesia," ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi melalui keterangan resmi, Jumat (15/1).
Menurutnya, pengenaan BMTPS tersebut harus didasari bukti empiris yang kuat, kalau industri domestik Filipina mengalami kerugian serius akibat barang impor. Salah satunya berasal dari Indonesia.
Dalam surat resminya, Kementerian Perdagangan dan Industri (DTI) Filipina sebagai otoritas penyelidikan menginformasikan, pengenaan BMTPS akan berlaku selama 200 hari dimulai sejak dikeluarkannya customs order Filipina. Custom order tersebut diperkirakan dikeluarkan pada Januari 2021.
Dalam keputusan itu, Indonesia dikenakan BMTPS bagi produk mobil penumpang atau kendaraan dalam bentuk cash bond sekitar Rp 20 juta per unit. Hanya saja dikecualikan untuk produk mobil penumpang impor dalam bentuk completely knocked-down, semi knocked-down, kendaraan bekas, serta kendaraan untuk tujuan khusus seperti ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan listrik, dan kendaraan mewah seharga di atas 25 ribu dolar AS (free on board).
Indonesia juga dikecualikan atau tidak menjadi subjek BMTPS bagi produk kendaraan kendaraan komersial ringan. “Industri otomotif Indonesia semakin tumbuh dan telah menjadi produk ekspor andalan," tutur dia.
Lutfi berharap, penggunaan instrumen tindakan pengamanan atau safeguard dan pengenaan BMTPS harus dipertimbangkan secara matang. Sebab instrumen ini pada dasarnya hanya dapat digunakan sebagai tindakan pengamanan darurat atau emergency measures pada lonjakan impor yang diakibatkan berbagai hal tidak terduga (unforeseen development) dan mengakibatkan kerugian serius pada industri domestik.
Hal senada diungkapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah terhadap kebijakan pemerintah Filipina.
“Pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah. Kami akan tetap menyampaikan keberatannya pada berbagai forum atas pengenaan BMTPS oleh Filipina tersebut. Hari ini (13/1), kami telah menyampaikan keberatan dan pembelaan tersebut secara formal,” tegas Didi.
Ia menambahkan, argumen yang digunakan otoritas Filipina dalam pengenaan BMTPS ini sangat lemah. Lalu tidak sejalan dengan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Hal tersebut dapat menjadi poin pertimbangan otoritas Filipina, guna meninjau ulang penyelidikan safeguard sekarang masih berlangsung. “Diharapkan penyelidikan ini dihentikan dan bea masuk tindakan pengamanan atau safeguard measure yang bersifat definitif tidak dikenakan Filipina,” jelasnya.
Filipina memulai penyelidikan safeguard pada 17 Januari 2020 berdasarkan permohonan dari Philippine Metal Workers Alliance (PMA), yaitu serikat pekerja yang anggotanya terdiri dari gabungan pekerja perusahaan otomotif di Filipina. PMA mengklaim mengalami kerugian serius akibat lonjakan impor otomotif pada periode 2014 sampai 2018.
Ia menjelaskan, berdasarkan data BPS, nilai ekspor mobil penumpang Indonesia ke Filipina pada 2017 sampai 2019 mengalami fluktuasi. “Pada 2017 ekspor mobil penumpang tercatat sebesar 1,20 miliar dolar AS, pada 2018 turun menjadi 1,12 miliar dolar AS, dan pada 2019 meningkat sedikit menjadi 1,13 miliar dolar AS," katanya.
Melalui data tersebut, sambung dia, dapat dilihat tidak terjadi lonjakan impor signifikan dari Indonesia. Hal itu mendasari penyelidikan safeguard oleh Filipina.