Berutang demi Beli Saham? Pahami Risikonya

Investasi saham diiringi risiko kerugian tinggi, sering diabaikan investor pemula.

Antara/Sigid Kurniawan
Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (4/1). Perlu diketahui, investasi saham turut diiringi risiko kerugian yang tinggi, yang sering kali diabaikan investor pemula.
Rep: Retno Wulandhari Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membeli saham menggunakan dana pinjaman kini menjadi fenomena di tengah tingginya minat dan antusiasme masyarakat berinvestasi saham. Orang yang melakukan cara tersebut kebanyakan ingin mendapat keuntungan berlipat dengan cara cepat.


Padahal, selain menawarkan keuntungan tinggi, investasi saham diiringi risiko kerugian yang juga tinggi. Risiko ini yang sering kali diabaikan para investor khususnya pemula. 

Financial educator dan periset Lifepal, Aulia Akbar, menjelaskan, investasi saham mengandung risiko sistematis. Risiko ini tidak bisa dihindarkan dengan cara apapun, bahkan dengan diversifikasi saham atau aset. 

"Beberapa risiko yang tergolong sistematis adalah, risiko pasar, tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar mata uang, dan risiko politik suatu negara," kata Aulia, Selasa (19/1). 

Selain itu, terdapat juga risiko nonsistematis yang membayangi investasi saham. Risiko nonsistematis masih bisa dimitigasi dengan diversifikasi. Beberapa risiko yang tergolong dalam kategori ini adalah risiko bisnis, bencana alam, dan lainnya. 

Aulia mengatakan, apabila berhasil menjual saham dengan keuntungan berlipat ganda memang akan menambah aset lancar. Namun jika gagal, nilai kekayaan bersih akan minus dan utang malah menjadi bertambah. 

Menurut Aulia, investasi saham sejatinya tidak perlu berutang. Investasi saham bisa dimulai dengan dana yang minim. Metode cost averaging atau pembelian secara berkala bisa sangat membantu para investor yang memiliki modal minim.

"Anggap saja, Anda membeli saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebanyak 1 lot di harga Rp 33 ribu per lembar, lalu di bulan selanjutnya Anda kembali melakukan pembelian dalam jumlah lot yang sama namun harganya sudah naik jadi Rp 34 ribu per lembar. Anda pun akan mendapat rata-rata dari pembelian yang dilakukan setiap bulan," terang Aulia.

Dengan metode dollar cost averaging, menurut Aulia, investor bisa melakukan pembelian saham sesuai dengan kondisi keuangannya. Investor pun tidak perlu berutang untuk membeli saham.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler