Greenpeace Minta Pemerintah Evaluasi Penggunaan Lahan Kalsel

Tutupan hutan di Kalimantan Selatan turun drastis.

TIA
Daerah Aliran Sungai (DAS) Tiwingan Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Sultan Adam di Desa Tiwingan Lama dan Desa Kalaan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas meminta, pemerintah tak hanya menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel). Menurut dia, pemerintah seharusnya mengevaluasi penggunaan lahan yang tentu juga menjadi faktor penyebab banjir.


"Ketegasan pemerintah dan paradigma bagaimana hutan itu tidak dieksploitasi lagi. Dan sekali lagi jangan kemudian menggunakan hujan sebagai salah satu faktor dan menyalahkan curah hujan," ujar Arie saat dihubungi Republika, Selasa (19/1).

Dia mengatakan, hitung-hitungan untuk mengantisipasi banjir antara curah hujan, debit air, dan kapasitas sungai, tidak akan menjamin suatu daerah bebas banjir, ketika hutan-hutan tak bisa lagi menampung air. Sebab, penggunaan lahan hutan akan mengubah bentang alam, struktur hidrologi, dan fungsi hutan itu sendiri yang berpengaruh terhadap banjir.

Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/1/2021). Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor menyatakan peningkatan status siaga darurat menjadi tanggap darurat. - (Antara/Bayu Pratama S)
 

Menurut dia, peningkatan deforestasi dan tutupan hutan yang turun drastis, membuat wilayah Kalsel tidak mampu lagi menampung curah hujan tinggi. Selain sebabkan daya tampung air yang berkurang, deforestasi di Kalimantan juga mendorong terjadinya krisis iklim yang berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan.

 

 

 

"Selain curah hujan, itu ada faktor manusia di mana deforestasi berasal dari aktivitas pembukaan lahan, di mana di wilayah ini juga ada perkebunan sawit dan pertambangan," kata Arie.

Menurutnya, Kalsel kehilangan lahan yang dapat menampung air hujan karena berubah menjadi perkebunan sawit maupun pertambangan. Bahkan, bekas pertambangan banyak ditinggalkan begitu saja dan menyisakan lubang-lubang tanpa adanya reklamasi.

"Hal ini memicu daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah yang terjadi banjir itu sudah tidak bisa lagi menampung air hujan memenuhi ketika intensitas hujan meningkat," kata Arie.

 

Di sisi lain, kata Arie, pemerintah harus memastikan tidak ada celah terjadinya pembukaan lahan di hutan alam dan lahan gambut maupun perluasan lahan perkebunan sawit ketika moratorium sawit dan moratorium hutan diberlakukan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler