Antara Kapolri dan Kitab Kuning
Menjadi orang baik dan bermanfaat, Antara Kapolri dan Kitab Kuning
REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (JAYANUSA); Pembina Together we life Community.
Al-Maghfurlah KH. Sahal Mahfudz (1937-2014), Rais Am PBNU 1999-2014, memberi nasihat yang sangat inspiratif. "Menjadi baik itu mudah. Dengan hanya diam saja, maka yang akan tampak adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena hal itu butuh perjuangan." Demikian nasihatnya. Harus saya tegaskan, itulah yang semestinya menjadi inspirasi kita semua --terutama kaum muda-- untuk menjadi pemimpin yang sebenarnya.
Tanya, kenapa? Sekadar menjadi orang baik, puncaknya adalah menjadi pribadi yang saleh. Taat beribadah, tahan berbagai godaan, dan jauh dari segala kemaksiatan. Itulah kesalehan personal yang sangat diharapkan. Tetapi untuk menjadi pemimpin tidaklah cukup dengan itu.
Pemimpin itu harus memiliki kesalehan sosial. Memahami segala persoalan, peka dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya, peduli terhadap penderitaan sesama, dan yang lebih penting lagi: berani mengambil keputusan segera! Tentu, kemashlatan yang harus menjadi pedoman utama (tasharruf al-imam ala al-ra'iyah manuthun bi al-mashlahah).
Dalam konteks itulah, saya harus memberikan apresiasi kepada calon Kapolri. Komjen Listyo Sigit Prabowo berani mengambil sikap tegas, mewajibkan anggota Polri mengikuti pengajian kitab kuning. Bahkan, itu akan menjadi salah satu kebijakannya nanti.
Tentu, kebijakan itu akan dinilai kontroversial. Soal pengajian, apalagi kitab kuning, bukankah lebih dekat dengan Menteri Agama? Jelas, pro kontra akan pasti ada. Itu hal biasa. Apalagi berkaitan dengan latar belakang agama, mungkin Komjen Listyo Sigit akan dianggap pencitraan saja. Tapi begitulah seharusnya seorang pemimpin: bersikap yang benar, juga mengambil keputusan dengan penuh kejujuran.
Tradisi Pesantren
Kitab kuning yang akan diwajibkan calon Kapolri untuk dikaji itu nanti, tiada lain, adalah kitab yang menjadi materi pokok pengajian di pesantren selama ini. Terutama pesantren NU, dimanapun akan kita jumpai itu. Kajiannya bisa bersifat "bandongan" --istilah di Jawa, sedang "ngabandongan" untuk di Sunda-- dimana seorang kiai membacakan kitab dan para santri menyimaknya dengan seksama.
Selain itu, model "sorogan" juga menjadi tradisi kajian di pesantren yang sangat penting. Ini lebih khusus, dimana seorang santri membaca kitab secara langsung dihadapan kiai. Jika bandongan dilakukan secara massal --terlebih ketika bulan ramadhan, dengan mengkaji kitab tertentu sampai khatam; maka pengajian sorogan lebih personal sifatnya. Disini terjadi interaksi langsung, face to face, antara kiai dengan santri.
Ada yang lebih khusus lagi, dan ini menjadi tradisi kajian di pesantren yang masih berlangsung sampai saat ini. Yakni, "syawir" atau bahtsul masail --dimana para santri bermusyawarah-- untuk mengkaji persoalan dengan rujukan kitab-kitab kuning, kemudian "mempertemukan" segala perbedaan dari berbagai hujjah atau argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini lebih pada proses ilmiah, bagaimana para santri harus menguasai persoalan.
Mereka mesti mempunyai kemampuan, tidak sekadar membaca teks tapi juga memahami konteks persoalan yang ada, dan bagaimana menyelesaikannya. Tak jarang, perdebatan pun terjadi disana, bahkan lebih seru dibanding perdebatan yang sering kita lihat di tayangan televisi, seperti ILC misalnya.
Model kajian seperti itu menjadi bagian penting dari tradisi pendidikan pesantren yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya, sejak tahun 1200-an. Meskipun kini telah berkembang pesat, dengan mengadopsi model pendidikan modern yang bersifat klasikal, namun tradisi kultural pesantren masih tetap terjaga. Ia mempunyai kekhasan sendiri sebagai habitus pendidikan nusantara.
Pesantren tak pernah "tergerus" oleh perubahan, namun justru tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai basis kekuatan sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik, yang secara aktif membentuk bangunan kebudayaan modern Indonesia. Disinilah kita memahami adagium yang sangat populer di kalangan santri: almuhafadhatu 'ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, sebagai prinsip dasar konservasi dan revitalisasi itu sendiri.
Tentang tradisi pesantren, secara luas dan mendalam, digambarkan dengan lengkap oleh Dr. Zamahsyari Dhofier lewat karya monumentalnya, "Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia." Buku yang terbit untuk pertama kalinya pada 1980 di AS itu telah menjadi rujukan utama para peneliti pesantren selama ini.
Pesantren dengan segala tradisinya itulah yang telah membentuk "profile" intelektual khas santri. Bersikap terbuka, simpel, tapi lugas dan tegas. Lihat saja Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafi'i Ma'arif, KH. Said Aqil Siradj, Dr. Quraish Shihab, untuk menyebut beberapa saja. Atau dari kalangan muda, seperti Gus Baha, Ulil Abshar-Abdalla, Yahya C Staquf, Abdul Mu'thi, Ngatawi al-Zastrouw, Zuhairi Misrawi, dll. Mereka semua mempunyai kekhasan, dapat memadukan keislaman dan keindonesiaan secara utuh dan tuntas, tanpa "menciderai" universalitas nilai-nilai Islam itu sendiri.
Syekh Nawawi al-Bantani
Jika kitab kuning menjadi kajian yang diwajibkan oleh Kapolri nanti, lalu apa yang seharusnya dikaji?
Kitab kuning itu banyak ragam-jenisnya. Sederhananya, disebut kitab kuning karena warna kertasnya memang kuning. Disebut juga kitab tradisional, selain karena tampilannya yang "kuno" kitab-kitab itu juga merupakan khasanah tradisi pemikiran ulama "tempo dulu" di dalam memahami dan menjabarkan nilai dan ajaran keislaman. Penulisannya juga masih sangat sederhana, demikian pula penerbitannya.
Namun demikian, sampai kini warna itu pun masih tetap terjaga dan bahkan dipertahankan. Karena warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca, apalagi dalam keadaan redup. Tahu sendiri, bagaimana terbatasnya perangkat penerangan pada masa lampau. Apalagi posisi pesantren di desa-desa, dimana para santri yang memang belajarnya pada malam hari.
Namun demikian, meskipun kini telah banyak direproduksi dengan kertas warna putih, nama kitab kuning masih tetap melekat. Ini tak lagi soal warna, tapi lebih kepada karya intelektual yang memang tak ternilai harganya. Bahkan saat ini banyak dijumpai, karya-karya tersebut telah dialih-berkaskan menjadi file "buku elektronik" dalam bentuk chm dan pdf. Apakah kemudian kita akan menamainya kitab elektonik? Bukan, itu tetap kitab kuning dalam wujudnya yang modern.
Tak sedikit para Indonesianis yang melakukan penelitian soal itu. Sebut saja Clifford Geertz (w.2006), antropolog asal AS terhitung yang cukup tua. Lewat karya masyhurnya The Religion of Java yang diterjemahkan dengan judul "Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyakarat Jawa" (Pustaka Jaya, 1983) bercerita sekelumit tentang kitab kuning.
Yang paling lengkap Martin Van Bruinessen dari Utrecht Belanda, lewat karyanya "Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia" (Mizan, 1995) menyuguhkan pembahasan lengkap tentang sejarah kitab kuning dan pendidikan Islam tradisional di Indonesia.
Yang menarik sebenarnya, banyak diantara ulama kita yang telah berkonstribusi disitu. Mereka tak sekadar menjadi "importir" pemikiran, tapi bahkan produsen yang mencipta banyak karya. Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) misalnya. Ulama asal Tanara, Banten, yang dijuluki "sultannya ulama hijaz" ini telah melahirkan tak kurang dari 115 karya dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Baik tafsir, syarah hadits, tauhid, fiqih, tasawuf, sejarah, maupun bahasa.
Pantaslah jika kemudian orientalis Louis Ma'luf dan Bernard Tottel, keduanya pendeta Kristen, mencantumkan nama Syekh Nawawi al-Bantani --dalam karya monumentalnya "Al-Munjid"-- sebagai tokoh masyhur dan diakui dunia internasional. Kemasyhurannya bahkan disejajarkan dengan tokoh-tokoh dunia seperti Karl Marx, Lenin, Lincoln, juga sang proklamator Soekarno. 38 kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani juga tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Book karya Yusuf Alian Sarkis, seorang yang beragama Nasrani.
Menurut saya, kitab kuning karya Syekh Nawawi al-Bantani itulah yang perlu dikaji. Selain karena merupakan karya ulama nusantara, karyanya juga cukup mudah dipahami. Kitab Qathr al-Ghaits misalnya, yang berisi tanya jawab seputar aqidah. Atau Sullam al-Munajat, syarah atau ulasan dari kitab Safinat al-Shalat, untuk fiqih.
Atau, yang lebih aplikatif tapi fundamental, yaitu kitab Qami' al-Tughyan, merupakan syarah dari kitab Syu'aib al-Iman. Kitab ini menjelaskan tentang 77 cabang iman, mulai dari yang pertama tentang iman kepada Allah sampai yang terakhir bagaimana seharusnya mencintai sesama manusia. Bukankah ini yang sangat mendasar dan harus diimplementasikan dalam laku kehidupan?
Smart Leader
Ketika mendengar Komjen Listyo Sigit dengan lugas menyampakan akan mengambil kebijakan soal pengajian kitab kuning itu, jujur harus saya tegaskan, itulah pemimpin yang cerdas (smart leader).
Kecerdasan bagi seorang pemimpin, yang utama adalah cerdas dalam pengambilan keputusan, gaya bicara, dan bagaimana dia harus mengatur kebijakan-kebijakan strategis.
Kita tentu sudah menyaksikan langsung, bagaimana penampilan dan gagasan yang disampaikan. Tak cukup hanya itu sebenarnya, tapi kecepatan mengambil keputusan, inilah yang luar biasa. Sikap ini yang sejatinya lebih diperlukan.
Acapkali memang, kelambanan justru terjadi karena terlalu banyaknya pertimbangan. Lebih banyak mencari alasan, seakan logis dan rasional, tapi sebenarnya hanya mencari posisi aman. Maunya bisa menggembirakan siapa saja, tapi akhirnya sekadar menjalankan rutinitas yang tidak tepat guna.
Kita harus sepakat, persoalan radikalisme dan terorisme tidak bisa disikapi dengan lambat. Kebijakan para pemimpin harus tegas, penebaran ajaran dan nilai-nilai keagamaan harus diutamakan. Konsepsi dan strategi mewujudkan keberagamaan yang ramah, toleran, dan semakin memperkokoh persaudaraan kebangsaan, dengan demikian perlu segera dirumuskan.
Kalisuren, 23 Januari 2021