Israel Terus Bom Suriah, Berdalih Bela Umat Druze yang Ulamanya Diduga Hina Nabi Muhammad

Bentrok diduga dipicu isu sekterian pecah di wilayah Ashrafiyat Sahnaya dan Jaramana.

AP Photo/Omar Albam
Pasukan keamanan Suriah dikerahkan di jalan raya di desa al-Sor al-Kobra dekat kota Sweida, Suriah selatan, Kamis, 1 Mei 2025.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Militer Israel meningkatkan serangan udara  ke wilayah pinggiran Damaskus, Suriah dan mengeluarkan ancaman terhadap kepemimpinan Ahmad Al-Saara. Serangan itu dilancarkan dengan dalih merespons kerusuhan di kawasan yang dihuni komunitas Druze pada awal pekan ini.

Baca Juga


Serangan udara yang dilakukan pada Kamis (1/5/2025) itu, menurut pemerintah Suriah, menewaskan sejumlah warga sipil termasuk dari komunitas Druze. Aksi kekerasan sebelumnya pecah pada Selasa dan Rabu di wilayah Ashrafiyat Sahnaya dan Jaramana, dekat Damaskus.

Menurut pejabat Suriah, bentrokan dipicu oleh bocoran pesan suara yang diduga berasal dari seorang ulama Druze yang berisi hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Akibat bentrokan tersebut, sedikitnya 16 orang dilaporkan tewas, termasuk aparat keamanan.

Pemimpin otoritas dan kepala pertahanan Israel menyebut serangan udara tersebut sebagai “operasi peringatan” untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap komunitas Druze. Sementara kepala otoritas luar negeri Israel, Gideon Saar, menyerukan tindakan internasional untuk “melindungi kelompok minoritas di Suriah” dari “rezim dan kelompok terorisnya.”

Kepala pertahanan Israel, Israel Katz, juga mengeluarkan ancaman terbuka: “Jika kekerasan terhadap warga Druze di Suriah tidak dihentikan, kami akan merespons dengan sangat keras.”

 

Pemerintah Suriah mengecam serangan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shaibani, menegaskan bahwa persoalan internal harus diselesaikan melalui dialog antar-komunitas, dan memperingatkan agar tidak ada campur tangan asing.

Direktorat Keamanan Umum Suriah menyatakan bahwa situasi telah kembali tenang setelah diadakan pertemuan dengan para pemimpin lokal. Pemerintah juga mengumumkan gencatan senjata dan rencana pengumpulan senjata dari warga di Jaramana dan Ashrafiyat Sahnaya.

Media penyiaran publik Israel melaporkan bahwa tentara Israel dari komunitas Druze telah meminta para pejabat tinggi untuk “turun tangan” demi melindungi keluarga mereka yang berada di seberang perbatasan.

Otoritas Suriah menuding bahwa kekerasan dipicu oleh “kelompok pelanggar hukum” yang ingin menciptakan ketegangan sektarian. Pemerintah menegaskan bahwa seluruh warga Suriah, termasuk komunitas Druze, diperlakukan sama di mata hukum.

Serangan Israel pada Rabu dikabarkan menyasar wilayah di sekitar Ashrafiyat Sahnaya. Kantor berita resmi Suriah, SANA, menyebutkan bahwa serangan tersebut menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil, termasuk warga Druze.

Serangan itu menjadi salah satu aksi militer terbaru Israel di wilayah Suriah. Sejak Februari lalu, Tel Aviv telah meningkatkan intensitas serangan udara ke berbagai wilayah Suriah, meski tidak ada ancaman langsung dari pemerintahan Presiden Ahmed al-Sharaa.

Israel telah menduduki sebagian besar wilayah Dataran Tinggi Golan milik Suriah sejak tahun 1967. Setelah pemerintahan Bashar al-Assad runtuh pada Desember lalu, Israel menyatakan perjanjian pelepasan senjata 1974 tidak lagi berlaku dan mengambil alih wilayah zona demiliterisasi.

Ketegangan terus meningkat, sementara kekhawatiran internasional juga bertambah karena tindakan Israel yang mengeklaim dilakukan demi melindungi kelompok minoritas -- terutama di tengah tahun kedua genosida di Gaza.

 

Aktor-Aktor Perlawanan di Suriah - (Republika)

Apa itu komunitas Druze?

Sekte religius Druze adalah kelompok minoritas yang muncul pada abah ke-10, bagian dari Ismailisme, sebuah cabang dari Islam Syiah. Lebih dari separuh dari total 1 juta populasi Druze, tinggal di Suriah. Kelompok kecil Druze lain tinggal di Lebanon, dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan, wilayah yang dicaplok Israel dari Suriah selama Perang Enam Hari pada 1967.

Di Suriah, komunitas Druze tinggal di selatan provinsi Swida dan pinggiran Damaskus, khususnya di Jaramanan dan Ashrafiyat Sahnaya bagian selatan. Setelah Bashar al-Assad tumbang pada Desember 2024 lalu, pemerintahan transisi berjanji memasukkan wakil Druze di pemerintahan, meski otoritas tertinggi tetap dipegang oleh kelompok militan yang menggulingkan Assad, Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS.

Pada akhir Maret 2025, 23 anggota pemerintahan baru Suriah diumumkan, dan hanya ada satu wakil Druze, yakni Amjad Badr, yang menjabat Menteri Pertanian Suriah. Di kalangan Druze sendiri, mereka dilaporkan sedikit terbelah soal bagaimana menghadapi status quo Suriah usai Assad terguling.

Sebagian besar Druze mendukung sebuah upaya dialog dengan pemerintahan transisi. Sementara sebagian lainnya menginginkan pendekatan konfrontasional, lantaran komunitas ini juga memiliki pejuang bersenjata.

Tidak hanya Druze, kelompok religus dan etnis di Suriah saat ini khawatir akan eksistensi mereka dalam sistem baru pemerintahan di bawah kepemimpinan saat ini, yang mana di antara mereka ada yang terkait dengan kelompok ekstremis. Bahkan, Presiden Ahmed al-Sharaa sendiri adalah mantan militan yang pernah menjadi anggota Al-Qaeda. Meski, al-Sharaa pernah menegaskan bahwa hak-hak kelompok etnis dan religius minoritas akan dilindungi, telah terjadi beberapa kali insiden pembunuhan berlatar belakang kekerasan sekterian sejak tergulingnya Bashar al-Assad.

Komunitas Druze telah lama mengkhawatirkan kelompok Muslim mayoritas sejak mereka diserang oleh kelompok ISIS di selatan provinsi Sweida pada 2018. Serangan itu berakibat tewasnya puluhan orang Druze dan puluhan lainnya menjadi sandera selama empat bulan. Kala itu, kelompok ISIS menilai Druze sebagai kaum bidaah.

sumber : Antara, Anadolu
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler