Dua Faktor Utama Penyebab Banjir Kalsel Menurut BMKG

Hujan ekstrem terjadi di Kalsel pada 10 hingga 16 Januari.

ANTARA/Muhammad Nova
Foto udara kondisi Sungai Hantakan pascabanjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Rabu (20/1/2021). Banjir bandang yang terjadi pada Rabu (13/1) malam tersebut mengakibatkan sejumlah fasilitas umum dan jalan rusak parah serta sembilan orang dinyatakan meninggal dunia dan enam orang lainnya hilang.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, curah hujan ekstrem yang terjadi selama beberapa hari di wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) dan kapasitas daya dukung lingkungan yang tidak memadai menjadi penyebab banjir. Hujan ekstrem terjadi mulai 10 hingga 16 Januari.

"Tercatat curah hujan dua hari berturut-turut mencapai sekitar 300 mm, umumnya curah hujan satu bulan di Kalsel 330 mm, artinya curah hujan yang biasa untuk satu bulan turun dalam waktu dua hari ditambah daya dukung lingkungan yang tidak bisa merespons hujan ekstrem sehingga banjir," katanya dalam konferensi daring yang dipantau di Jakarta, Sabtu (23/1).

Baca Juga



Dwikorita mengatakan, banjir yang terjadi memang dipengaruhi hujan yang ekstrem juga ada pengaruh lahan yang rusak.

"Jadi memang ada pengaruh lahan, meski cuaca juga berpengaruh, menurut kami dua-duanya itu berperan. Kalau lingkungan mendukung tentu dampaknya tidak akan terlalu besar juga sebaliknya kalau hujannya tidak terlalu ekstrem mungkin juga tidak terjadi banjir besar," tambah dia.

Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab menjelaskan, ketika terjadi banjir di wilayah Kalsel tercatat hujan ekstrem terjadi mulai 10 hingga 16 Januari.

"Curah hujan tertinggi pada 13-14 Januari, dalam 24 jam tercatat curah hujan 225 mm di Banjarbaru dan 249 mm di Stasiun Meteorologi Syamsuddin Noor," kata Fachri.

Namun menurut dia, hujan bukan satu-satunya faktor penyebab banjir di daerah tersebut. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan bahwa proporsi luas areal berhutan di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Barito di Kalimantan Selatan, yang tengah terdampak banjir, hanya 18,2 persen.

Proporsi luas areal tidak berhutan adalah 81,8 persen yang didominasi oleh pertanian lahan kering campur semak sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen dan perkebunan sebesar 13 persen, menurut data per 2019. DAS Barito sendiri melewati beberapa provinsi di Kalimantan dengan total luas sekitar 6,2 juta hektare (ha) dengan 1,8 juta ha atau 29 persen berada di area Kalimantan Selatan.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah mengatakan lokasi banjir yang berada di sepanjang alur DAS Barito di mana kondisi infrastruktur ekologis atau jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu menampung air yang masuk.



sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler