Sri Mulyani: Indonesia Butuh Lembaga Pengelola Investasi

Dibutuhkan dana yang besar untuk terus meningkatkan kesejahteraan di Indonesia.

Dhemas Reviyanto/ANTARA
Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) berbincang dengan Menteri BUMN Erick Thohir (tengah), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri), Dua Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel (kiri) dan Azis Syamsuddin (kanan) usai menggelar pertemuan tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/1/2021). Rapat tersebut membahas pembentukan Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Rep: Adinda Pryanka Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan beberapa faktor yang menyebabkan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia atau Indonesia Investment Authority (INA). Salah satunya, memenuhi kebutuhan pembiayaan pembnagunan dan peningkatan penanaman modal asing langsung.

Baca Juga


Sri menjelaskan, pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk terus meningkatkan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan. Apabila dikaitkan dengan Visi Indonesia 2045 untuk menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia, setidaknya dibutuhkan investasi infrastruktur hingga Rp 6.645 triliun.

Kebutuhan tersebut ditargetkan dipenuhi melalui APBN, BUMN dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Tapi, karakteristik pembiayaan, terutama infrastruktur yang padat modal dengan cost of fund tinggi dan tenor panjang, tidak mudah untuk dipenuhi.

"Maka kita butuh melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendanaan domestik dalam rangka teruskan upaya pembangunan," ujar Sri dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR mengenai INA secara virtual pada Senin (25/1).

Di sisi lain, tingkat penanaman modal asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia mengalami stagnansi di saat kebutuhan meningkat. 

 

 

Apabila ingin terus meningkatkan modal dengan hanya bersandar pada instrumen utang, Sri menyebutkan, kesenjangan antara kemampuan pendanaan domestik dengan kebutuhan pembiayana akan kian tinggi.

Sementara itu, kapasitas pembiayaan BUMN semakin terbatas. Rasio tingkat hutang dibandingkan pendapatan ktorot dan ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) mencapai 3,26 kali. Sedangkan, rasio wajarnya adalah antara tiga hingga empat kali.

Sementara itu, Sri menyampaikan, beberapa sovereign investor sebenarnya sudah menyatakan ketertarikannya untuk investasi di Indonesia. Hanya saja, mereka membutuhkan mitra strategis yang kuat dan reliable secara hukum maupun kelembagaan.

Oleh karena itu, Sri menambahkan, pemerintah melihat urgensi terobosan dalam pembentuka mitra investasi yang andal dan terpercaya. Salah satunya melalui pembentukan INA yang akan membantu para investor.

"Khususnya untuk investor yang memiliki ketertarikan tinggi untuk masuk ke Indonesia, namun butuh mitra yang dianggap reliable dari sisi familiarity dan risk appetite," katanya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler