Pasien Meninggal dan Perlunya Perubahan Penanganan Pandemi

Sistem pemantauan rumah sakit harus diperbaiki agar pasien Covid tahu harus ke mana.

ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Seorang tenaga medis menata ruang pemeriksaan kesehatan untuk pasien COVID-19 yang belum digunakan di Pusat Isolasi Wisma Cibogo, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (25/1/2021). Pusat Isolasi Cibogo tersebut berkapasitas total 66 tempat tidur yang dikhususkan untuk pasien COVID-19 dengan status Orang Tanpa Gejala atau OTG.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Rr Laeny Sulistyawati

Kondisi ketersediaan Rumah Sakit (RS) yang bisa menangani pasien Covid-19 sudah di level mengkhawatirkan. Kabar tentang pasien yang meninggal di taksi daring akibat ditolak di beberapa rumah sakit sudah terjadi pada seorang warga Depok.

Gerakan relawan LaporCovid ikut mengawal kasus salah satu warga Depok yang meninggal di taksi daring karena tak mendapat perawatan RS. Co-Initiator and Co-Leader Koalisi Masyarakat untuk Covid-19 (LaporCovid), Irma Hidayana, menceritakan pada 19 Desember 2020 sore, keluarga pasien awalnya menghubungi Satgas Covid-19 di daerahnya untuk meminta ambulans. Saat itu kondisi ayah pelapor adalah suspek Covid-19. Sang ayah bergejala sesak napas, namun ambulans tidak dikirim hingga dua jam penantian.

Keluarga akhirnya membawa ayahnya menggunakan taksi daring berkeliling ke sejumlah RS di Kota Depok dan Jakarta Selatan. Akhirnya pasien meninggal dalam perjalanan setelah ditolak di sejumlah rumah sakit. Keluarga pasien kemudian melaporkan ini ke LaporCovid-19 pada 3 Januari 2021 setelah ia selesai menjalani isolasi mandiri.

"Ketika LaporCovid-19 dan CISDI menyampaikan laporan warga Kota Depok yang meninggal dalam perjalanan mencari rumah sakit pada 19 Desember 2020, Satgas Depok menyampaikan tanggapan yang negatif dan menyudutkan pelapor dalam sejumlah pernyataan di media massa," kata Irma dalam konferensi pers virtual pada Senin (25/1).

LaporCovid-19 telah memberikan kronologi kejadian kepada Satgas Covid-19 Depok dalam komunikasi telepon pada Sabtu (16/1). Dalam komunikasi ini, pihak Dinkes dan Satgas Depok mengakui rumah sakit di wilayah mereka telah penuh sejak awal Desember 2021.

Namun, pada saat bersamaan mereka meminta data orang yang melaporkan korban meninggal di perjalanan. Padahal sudah menjadi komitmen LaporCovid-19 untuk tidak membuka data pelapor. "Apalagi, pelapor juga menolak datanya dibuka untuk menghindari stigma dan teror, sehingga permintaan itu tidak bisa dipenuhi LaporCovid-19," tegas Irma.

Irma meminta pemerintah memastikan perlindungan, keselamatan, dan keamanan warga yang melaporkan musibah Covid-19. Permintaan ini disampaikan menyusul munculnya tanggapan dan berita yang menyudutkan upaya masyarakat sipil saat menyampaikan laporan warga terkait sulitnya mendapatkan layanan karena penuhnya fasilitas kesehatan.

Tentang alasan data pelapor dibutuhkan untuk keperluan penelusuran, LaporCovid telah mengonfirmasi, pelapor sudah menyampaikan kronologi ke puskesmas dan aparat pemerintahan. Pasien yang meninggal juga telah dikuburkan dengan protokol Covid-19.

"Pelapor dan keluarganya yang diketahui positif Covid-19 juga telah selesai menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Dengan informasi ini, kami berharap Dinkes dan Satgas Depok tidak lagi mendesak LaporCovid untuk membuka data keluarga pelapor," ucap Irma.

Kasus meninggalnya pasien asal Depok itu makin membuka tabir mengenai penanganan Covid-19 yang belum maksimal. Pasien asal Depok tersebut bukanlah satu-satunya pasien yang ditolak rumah sakit.

Gerakan relawan itu menerima laporan pasien yang meninggal di perjalanan termasuk transportasi umum, di rumah, di selasar rumah sakit, di UGD, serta di Puskesmas karena kesulitan mendapatkan perawatan intensif. "Sejak akhir Desember 2020 hingga 21 Januari 2021, setidaknya LaporCovid-19 mendapatkan 34 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh," kata Irma.

Ia menyebut sejak awal Desember 2020, rumah sakit di sekitar Jabodetabek dan berbagai daerah lain di Pulau Jawa mulai kesulitan menampung pasien. Hal ini menyebabkan terjadinya antrean pasien untuk mendapatkan perawatan sehingga meningkatkan risiko kematian.

"Tanda-tanda kolapsnya rumah sakit ini semakin bertambah memasuki Januari 2021," sebut Irma.

Irma memantau sepanjang Desember 2020, mobilitas penduduk cenderung meningkat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak dan libur panjang Natal-Tahun Baru. Akibatnya, sejumlah kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh semakin banyak terjadi.

Penolakan juga tidak hanya terjadi di Depok, LaporCovid-19 menerima laporan pasien meninggal karena tidak mendapatkan layanan atau tengah mengantri ICU rumah sakit, misalnya pasien meninggal di rumah di Kota Bantul, Yogyakarta, di Puskesmas di Tangsel, Banten, selasar rumah sakit di Kota Surabaya, dan UGD di sejumlah RS di Jabodetabek.

"LaporCovid-19 mengungkap ini untuk mendorong perubahan layanan fasilitas kesehatan dan pengendalian pandemi," ucap Irma.

Irma menekankan masalah ketersediaan layanan fasilitas kesehatan salah satunya berakar dari penanganan Covid-19 yang melempar sebagian kewajiban kepada Pemerintah Daerah. Hal ini ditunjukkan pada penentuan PSBB yang mensyaratkan adanya permintaan Daerah. Kebijakan ini bertentangan dengan Pasal 10 UU 6/2018, Pasal 5 (1) UU 6/2018 dan Pasal 5 (2) UU 6/2018.

"Akibat lempar tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah maka penetapan ini pasti lambat dan membuat persiapan penanganannya, termasuk fasilitas layanan kesehatan, membutuhkan waktu untuk antisipasinya," ungkap doktor bidang kesehatan masyarakat dari Universitas Columbia, Amerika Serikat itu.

Baca Juga






Masyarakat memang tidak bisa mengetahui mana fasilitas kesehatan yang masih lowong dan mana yang penuh. Akibatnya pasien dan keluarganya harus berputar-putar ke banyak rumah sakit demi mendapatkan tempat kosong.

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyoroti lemahnya sistem pemantauan kapasitas rumah sakit (RS) rujukan Covid-19. "Indonesia praktis buta seberapa cepat dan ke mana saja wabah nyebar. Buktinya positivity rate tetap naik. Terus tinggi. Kapasitas layanan diakui tak bisa dipantau real," kata peneliti CISDI, Yurdhina Melissa.

Yurdhina pesimis pemerintah dapat menyelesaikan masalah keterisian RS dalam waktu dekat meski sudah ada instruksi langsung penambahan tempat tidur. Bahkan menurutnya penambahan kapasitas RS sulit memperoleh hasil maksimal jika pemantauan lalu lintas pasien tak dilakukan secara real-time.

"Masyarakat harus diarahkan kalau mereka sakit, mereka harus ke mana? Diberitahu berdasar derajat penyakitnya terutama, dan kalau dirujuk, maka dirujuknya ke mana?" ujar Yurdhina.

"Perlu dipantau mana saja yang kekurangan kapasitas, APD, ventilator. Survei dari April sampai sekarang respond rate-nya rendah," lanjut Yurdhina.

Yurdhina menyinggung hanya Kemenkes dan Dinkes DKI Jakarta yang memiliki sistem untuk memantau kapasitas RS. Namun tetap tak bisa efektif karena hanya mendata RS pemerintah. Sedangkan ketersediaan di RS swasta sulit terpantau.

"Panduan jelas soal traffic pasien perlu diatur jangan buat pasien putar-putar enggak jelas. Padahal waktu sangat penting bagi pasien," ucap Yurdhina.

Berdasarkan data hingga Ahad (24/1), kasus aktif Covid-19 berada di angka 162.617. Kondisi ini membuat fasilitas layanan kesehatan kewalahan sampai banyak pasien gagal memperoleh perawatan.

Pemerintah memang telah menanggapi masalah kekurangan tempat tidur dengan instruksi dari Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, yang meminta 40 persen rumah sakit mengonversi tempat tidur untuk merawat pasien Covid-19. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mengaku telah menjalankan instruksi tersebut. Tapi, tidak semua rumah sakit bisa melakukan penambahan.

"Ada yang bisa dilakukan tetapi ada yang tidak. Bisa dilakukan kalau tenaga kesehatannya cukup dan kami menangani, tetapi bagaimana kalau sumber daya manusia (SDM) kurang," ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma saat dihubungi Republika, Jumat (22/1).

Ketika SDM tidak cukup, ia mengakui rumah sakit pemerintah memang diperbolehkan merekrut mandiri tambahan temaga medis dan akan dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Sementara rumah sakit swasta juga mendapatkan tambahan nakes dari relawan. Selain kendala SDM, pihaknya tak bisa langsung menerapkan instruksi Menkes karena masih harus menanti pasien bukan Covid-19 yang kini masih dirawat dan belum bisa langsung dipulangkan.

Jadi, pihaknya harus menunggu pasien sampai pulang dan disesuaikan dengan kondisi. Masih adanya pasien yang bukan Covid-19 dan tuntutan untuk mengubah tempat tidur untuk pasien terinfeksi virus ini membuat rumah sakit kini memilah hanya merawat pasien yang benar-benar butuh yaitu yang sedang, berat, hingga kritis.

"Artinya bukannya kami tidak mau menjalankan, kalau tidak bisa ditangani dan pasien dipindah maka dikirim ke mana (karena tempat RS lain juga penuh). Nanti kalau meninggal, yang dimarahi rumah sakit juga," ujarnya.

Sebenarnya, dia melanjutkan, solusi untuk menyelesaikan masalah ini yaitu membuka RS lapangan, kemudian menentukan tempat-tempat isolasi tidak harus di rumah sakit. Ia menyebutkan tempat isolasi bisa di tempat seperti gelanggang remaja hingga hotel.


Donor Plasma Konvalesen - (Republika)









BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler