Penjelasan Soal Ulama yang Membolehkan Suap
Ulama ada yang berpendapat suap dibolehkan dalam kondisi tertentu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang muslim yang hidup di tengah masyarakat pemakan risywah (suap atau sogok), sangat susah baginya mendapatkan hak-haknya bila tidak memberikan sogok, apakah pada saat itu sogok hukumnya dibolehkan dan dosanya hanya menimpa penerima sogok, bukan pemberi sogok?
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama, tetap berdosa hukumnya memberikan sogok pada saat itu. Dalil pendapat ini bahwa hadits-hadits yang menjelaskan haramnya memberi dan menerima sogok mutlak, tanpa ada pengecualian. Dengan demikian, dalam kondisi apapun haram hukumnya memberikan sogok (Dr. Abdullah Ath thuraiqi, Jarimatur risywah fisy syariah islamiyah).
Pendapat kedua, dalam kondisi tertentu seseorang dibolehkan memberikan sogok dan dosanya hanya menimpa penerima sogok, yaitu: bila dia tidak mungkin mendapatkan hak-haknya kecuali dengan memberikan sogok, atau ia tidak dapat menolak kezaliman yang menimpa dirinya kecuali dengan membayar sogok, maka pada saat itu ia dibolehkan membayar sogok dan dosanya hanya menimpa penerima sogok.
Pendapat ini merupakan mazhab mayoritas para ulama.
lbnu Abidin (ulama mazhab hanafi, wafat: 1252 hijriah) berkata, "Sogok ada empat bentuk ... bentuk yang ke empat: sogok yang diberikan untuk menolak kezaliman pada diri dan hartanya dari orang penerima sogok, sogok jenis ini halal bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima" (Hasyiyah Ibnu Abidin).
Ar Ramli (ulama mazhab Syafi'i, wafat: 1004 hijriah) berkata, "Adapun orang yang mengetahui bahwa hartanya akan diambil dengan cara yang batil kecuali dia memberikan sogok, maka dia tidak berdosa memberikan sogok" (Nihayatul Muhtaj).
lbnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat: 682) berkata, "Jika seseorang memberikan sogok untuk menolak kezaliman terhadap dirinya ... diriwayatkan dari beberapa tabi'in, seperti 'Atha dan Hasan al bashri bahwa hal tersebut dibolehkan" (Al Mughni).
lbnu taimiyah berkata, "Seseorang boleh memberikan hadiah sebagai perantara untuk mendapatkan haknya atau menolak kezaliman atas dirinya. Pendapat ini yang dinukil dari para ulama salaf dan para ulama besar" (Majmu Al Fatawa).
Yang menjadi dalil pendapat ini, atsar yang diriwayatkan dari lbnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa pada saat berada di Habsyah harta beliau diambil oleh seseorang, maka beliau membayar sogok sebanyak dua keping uang emas, seraya berkata, "Dosa sogok ini hanyalah ditanggung oleh orang yang menerima". Atsar ini diriwayatkan oleh Qurthubi dalam tafsirnya.
Selain itu juga dapat dianalogikan dengan tebusan membayar tawanan muslim yang ditahan oleh orang kafir dalam sebuah peperangan. Persamaannya bahwa harta yang dibayar kepada orang kafir untuk mendapatkan hak, yaitu nyawa seorang muslim sama dengan sogok, akan tetapi dibolehkan karena untuk menolak kezaliman atas dirinya, begitu juga hukumnya dengan membayar sogok untuk menolak kezaliman.
Wallahu a'Iam, pendapat mayoritas para ulama ini sangat kuat, dengan catatan, wajib berusaha terlebih dahulu untuk menempuh jalan yang benar demi mendapatkan haknya atau menolak kezaliman, akan tetapi bila menemui jalan buntu maka pada saat itu baru dibolehkan.