Pilkada 2024, Pengamat: Demokrasi akan Mati Secara Perlahan 

Banyak kepala daerah dizalimi karena masa jabatannya berkurang demi pilkada sertak.

dok. Pribadi
Pangi Syarwi Chaniago.
Rep: Haura Hafizhah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menanggapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan diadakan pada 2024. Menurutnya, pemerintah sedang mengalami penyakit amnesia. Sebab, dengan begitu cepat mereka melupakan argumentasi yang pernah digunakan untuk tetap melaksanakan pilkada pada tahun lalu.


"Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak di tahun 2022 dan 2023? Bagaimana mungkin secara akal sehat pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024? Itu berarti akan ada kurang lebih 272 kepala daerah yang Plt?," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (1/2).

Menurutnya, hal ini dapat merusak kualitas demokrasi, disharmoni dan disorder. Dia mencermati, justru banyak kepala daerah yang dizalimi karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak yang tidak tahu apa manfaatnya dan keuntungannya sampai hari ini. 

"Korelasi linear efisiensi cost pun kami belum temukan? Ini yang saya maksud cacat bawaan demokrasi karena pemerintah yang tidak konsisten sikapnya," kata dia.

 

 

Warga di TPS 07 Desa Tugu Kidul, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu mengikuti pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Serentak 2020 Kabupaten Indramayu. - (Republika/Lilis SriHandayani)

Jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi Undang-Undang Pemilu terutama yang berkaitan dengan Pilkada serentak ini, maka masyarakat akan curiga dan berpikiran ada kepentingan apa sebenarnya yang sedang pemerintah perjuangkan. 

Dia menjelaskan, pada 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018, itu artinya ada 272 Plt yang akan menduduki posisi kepala daerah. 

"Apakah Presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan atau legitimasi yang dimiliki saat ini. Sehingga, berambisi mengendalikan kepala daerah atau tegak lurus dengan presiden melalui Plt yang ditunjuk Kemendagri, sementara kami tahu Kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden?," kata dia.

Dia menambahkan, alasan Presiden tidak mendukung Pilkada serentak di tahun 2022-2023 bisa jadi karena anak dan mantu Presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta Pilkada dan mereka memenangkan Pilkada Solo serta Medan. 

Lalu, dia tidak bisa bayangkan jika Pilkada ini benar akan dilakukan pada 2024. Sebab, nantinya ada penumpukan penyelenggaraan Pilpres, Pileg dan Pilkada. 

"Mitigasi Pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya dan berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat," ujarnya. 

 

Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya. Bawaslu dan MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya nanti perkara sengketa pilkada. Belum lagi punya potensi berulang kembali tragedi petugas KPPS yang meninggal karena proses penghitungan suara yang berhari-hari  dan memakan waktu yang cukup lama.

Yang lebih berbahaya dari semua ini adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi masyarakat melaksanakan hak konstitusionalnya. 

"Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi masyarakat terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional," kata dia.

Jika jalan ini dihambat, maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui Plt, otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang.

 

"Kalau situasi ini berlanjut dan terus dibiarkan, bukan tidak mustahil kami akan kembali menelan pil pahit berada di bawah cengkraman pemerintahan yang otoriter. Ini yang saya khawatirkan. Semoga saja tidak," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler