Warga Uighur di Turki Gelar Protes di Depan Kedubes China
Demonstran ingin mengetahui nasib keluarganya di China.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Warga Uighur yang tinggal di Turki pada Rabu kembali menggelar aksi duduk di luar Kedutaan Besar China di Ankara. Mereka menuntut untuk mengetahui kondisi anggota keluarganya yang ditahan di kamp konsentrasi dan kerja paksa di China.
Desember lalu, hampir 100 orang berkumpul dengan damai di luar Konsulat China di Istanbul dan melakukan aksi protes selama 18 hari. Demonstran itu mengaku belum mendengar kabar apapun dari keluarga mereka sejak 2017.
Berbicara kepada wartawan atas nama para pengunjuk rasa, Mirzahmet Ilyasoglu mengatakan bahwa mereka mengajukan permohonan untuk mendapatkan informasi setidaknya 5.199 kerabat mereka.“Kami membawa file ini ke konsulat China, tetapi pejabat China tidak mau menerimanya," ujar Ilyasoglu.
Dia menambahkan mereka tidak akan menyisihkan kesempatan untuk mengungkap genosida China terhadap kemanusiaan. Ilyasoglu menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan protes mereka di depan Kedutaan Besar China "sampai para tahanan di kamp dibebaskan.”
Rabia Gul, seorang mahasiswi di Turki dengan beasiswa Turki, mengatakan dia belum mendengar kabar dari ibunya yang berusia 52 tahun selama tiga tahun. Dia mengajukan permintaan kepada pihak berwenang China untuk mengetahui keberadaan ibunya.
"Setelah menunggu selama satu setengah tahun, mereka mengatakan mereka tidak dapat membantu saya karena saya memiliki hubungan dengan organisasi teroris melawan China. Saya mengajukan permohonan untuk memperbarui paspor saya, tetapi mereka mengatakan saya tidak bisa mendapatkan paspor," tutur dia.
Sumber, https://www.aa.com.tr/id/dunia/masyarakat-uighur-di-turki-kembali-gelar-protes-di-depan-kedubes-china/2133232
Pengunjuk rasa lainnya, Medine Nazimi, yang memiliki kewarganegaraan Turki, mengatakan bahwa dia mengkhawatirkan adik perempuannya yang berusia 34 tahun, Mevlude Hilal, yang telah hilang selama lebih dari dua tahun.
Hilal awalnya dibawa pergi oleh pihak keamanan China pada 2017 tetapi dibebaskan pada 2019. Tak lama setelah dibebaskan, dia ditangkap kembali, dipaksa untuk meninggalkan putrinya yang berusia 2 tahun dan dibawa ke kamp.
"Pihak berwenang China membawa saudara perempuan saya ke kamp konsentrasi pada 2017, setelah dibebaskan pada Mei 2019 mereka menangkapnya kembali pada Juni 2019 dengan alasan dia pernah belajar di Turki," kata Nazimi.
"Setelah mengulur waktu berbulan-bulan, pemerintah China mengarahkan saya untuk meminta informasi dari Kedutaan Besar Turki di Beijing atau Konsulat China di Istanbul atau Kedutaan Besar Ankara.”
“Saya telah mengirim email, pergi ke konsulat dan melakukan aksi duduk selama 17 hari tetapi masih tidak menerima balasan," kata dia.
Secara terpisah, Alimcan Turdiniyaz, yang memiliki setidaknya enam anggota keluarga dan seorang teman dekat yang ditahan di kamp-kamp China, mengatakan, "Mulai hari ini [Rabu], kami telah memulai protes duduk untuk keluarga kami di depan Kedutaan Besar China di Ankara.”
China banyak dituduh memasukkan orang Uighur ke kamp-kamp dan ada laporan tentang sterilisasi paksa terhadap wanita Uighur.
Kebijakan Beijing di Xinjiang telah menuai kecaman luas dari kelompok-kelompok hak asasi termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, yang menuduh China mengucilkan 12 juta orang Uighur yang sebagian besar adalah Muslim.
Wilayah itu adalah rumah bagi 10 juta orang Uighur, etnis Muslim Turki, yang membentuk sekitar 45 persen dari populasi Xinjiang, masyarakat dunia telah lama menuduh otoritas China melakukan diskriminasi budaya, agama dan ekonomi.
Menurut pejabat AS dan pakar PBB, lebih dari 1 juta orang, atau sekitar 7 persen dari populasi Muslim di Xinjiang, telah ditahan dalam kamp "pendidikan ulang politik" yang meluas. Kamp-kamp tersebut telah dikaitkan dengan kerja paksa dan sterilisasi wajib.
China telah membantah beragam tudingan negatif tersebut. Beijing menegaskan kamp di Xinjiang merupakan tempat vokasi warga lokal untuk meningkatkan kemampuannya.