Protes Mahasiswa Turki Jadi Tantangan Baru Erdogan
Survei mengungkap mayoritas responden menolak penunjukan rektor terkait politik.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Selama sebulan terakhir, protes di Universitas Bogazici berubah menjadi tantangan baru bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kemarahan mahasiswa terhadap rektor telah meluas ke arena internasional. Ini bisa membahayakan upaya Erdogan untuk membangun jembatan dengan pemerintahan baru di Washington DC dan memperbaiki hubungan dengan Uni Eropa.
Erdogan telah berusaha memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat setelah Presiden Joe Biden terpilih. Namun, kebrutalan polisi dan upaya pemerintah untuk menjelekkan para pengunjuk rasa dengan menyebut mereka “teroris” telah merusak janjinya akan reformasi peradilan dan demokrasi.
Menteri Dalam Negeri, Suleyman Soylu menyebut demonstran sebagai “penyimpangan LGBT” dalam sebuah cicitan pada Selasa. Menanggapi itu, Departemen Luar Negeri AS mengutuk retorika anti-LGBTQ dan menyuarakan keprihatinan atas penahanan para pengunjuk rasa.
Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mengutuk komentar homofobia dan menyerukan agar para demonstran dibebaskan. Sementara itu, Erdogan mengecam para “pemuda LGBT” setelah pameran seni yang dipentaskan oleh para pengunjuk rasa termasuk gambar Ka'bah dan bendera LGBTQ.
Ratusan pengunjuk rasa telah ditangkap di universitas tersebut sejak 4 Januari, serta pada demonstrasi yang mendukung hak-hak mahasiswa dan LGBTQ di kota-kota seperti Ankara, Izmir, dan Bursa.
Jajak pendapat
Seperti dilansir Aljazirah, Senin (8/2), hasil jajak pendapat yang dirilis pada Rabu menunjukkan 69 persen orang Turki menentang penunjukan rektor universitas yang terkait secara politik. Penelitian MetroPoll menemukan lebih dari setengah pemilih partai yang berkuasa juga keberatan dengan penunjukan tersebut.
Sementara itu, Mazlum-Der, kelompok hak asasi manusia yang biasanya fokus pada isu-isu Muslim, mengutuk kekerasan polisi selama aksi protes.
Rektor baru Universitas Bogazici, Melih Bulu adalah mantan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) Erdogan yang melamar menjadi calon pada pemilihan umum 2015. Namun, dia bukan anggota fakultas di Bogazici. Ini dianggap sebagai penyimpangan dari pengangkatan-pengangkatan sebelumnya. Hal itu dipandang sebagai penghinaan terhadap independensi akademik.
Asisten Profesor Psikologi Universitas Bogazici, Esra Mungan menyebut protes itu dimotivasi oleh keinginan untuk melindungi lembaga publik yang “sangat berharga.” “Apa yang membedakan universitas kami dari kebanyakan universitas lain di Turki adalah organisasi horizontal yang agak anti-hierarkis. Kami tidak ingin menjadi salah satu tempat yang hanya bisa melakukan penelitian dan patuh sambil berusaha menjaga hubungan baik dengan rektor sebagai figur kekuasaan. Kami tidak terbiasa dengan cara pemerintahan yang otoriter,” kata Mungan.
Mungan yang termasuk di antara lima akademisi perempuan Bogazici menjadi target media pro-pemerintah. Dia menambahkan protes itu adalah bentuk perjuangan untuk universitas yang demokratis, otonom, dan gratis.
Menurut para analis, demontrasi telah membuat Erdogan pusing. “Ini berubah menjadi kontroversi yang memalukan bagi Erdogan,” kata Asisten Profesor Ilmu Politik di Universitas Sabanci Istanbul, Berk Esen.
“Setelah memicu kontroversi atas karya seni Ka'bah, pemerintah tidak punya hal lain yang bisa dilakukan untuk memenangkan opini publik,” tambah dia.
Direktur German Marshall Fund di Ankara, Ozgur Unluhisarcikli menyoroti dugaan serangan terhadap agama telah memungkinkan Erdogan meningkatkan kredensial partainya dan mencoba mengooptasi partai oposisi Saadet.
“Dengan memicu perang budaya, Erdogan memaksa Saadet untuk membuat pilihan, seperti seluruh episode tentang mengubah protes di Bogazici menjadi masalah tentang kelompok LGBTI yang menghina Islam,” ujar dia.
Sementara itu, protes telah mendominasi tajuk berita. Beberapa mahasiswa menjadi sorotan, misalnya Seyma Altundal. Dia mengatakan telah dipukuli dan jilbabnya dilepas oleh polisi saat dia ditangkap pada Senin. “Kami di sini karena kami tahu hak-hak kami dan kami tidak takut untuk mengungkapkannya,” ucap dia.
Universitas di Turki, terutama lembaga publik terkenal seperti Universitas Bogazici dan Universitas Teknik Timur Tengah memiliki tradisi sebagai sarang aktivisme politik sejak 1960-an. Tradisi ini bahkan meluas hingga polisi tidak diizinkan masuk kampus tanpa izin rektor universitas.