Palestina Minta AS Hentikan Permukiman Israel di Yerusalem
Proyek permukiman Israel disebut bisa merusak solusi dua negara
REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh meminta Amerika Serikat (AS) dan komunitas internasional membantu menghentikan proyek permukiman E1 di dekat Yerusalem. Menurutnya, proyek tersebut dapat merusak solusi dua negara.
Dilaporkan laman Asharq Al-Awsat, saat berbicara pada sesi kabinet, Selasa (16/2), Shtayyeh mengungkapkan, pembangunan E1, yang mencakup 12 ribu unit permukiman, berarti mengisolasi Yerusalem dari Lembah Yordania dan memisahkan Tepi Barat utara dari wilayah selatannya.
Dia memperingatkan lembaga Keren Kayemeth LeIsrael Jewish National Fund (KKL-JNF) akan aktif di Tepi Barat dan Yerusalem untuk merebut lebih banyak tanah Palestina. Shtayyeh mendesak warga Palestina waspada terhadap upaya perampasan tanah mereka.
Shtayyeh mengungkapkan KKL-JNF terdaftar di Inggris, AS, dan Israel. Ia berperan sebagai badan amal penerimna sumbangan yang membebaskannya dari pajak. Mereka secara ilegal menggunakan dana tersebut untuk membangun permukiman.
Shtayyeh berjanji membawa semua pelanggaran yang dilakukan otoritas Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). "Sebagai kejahatan perang, sesuai dengan hukum internasional dan hukum humaniter internasional," ujarnya.
E1 adalah proyek pemukiman besar yang disetujui pada tahun 1999 dan mencakup area sekitar 12 ribu dunum. Dunum adalah unit pengukuran tanah era Ottoman. Satu dunum setara dengan seribu meter persegi. Israel mengklaim tanah untuk proyek E1 sebagai "tanah negara".
Selama dekade 1990-an, E1 dianeksasi ke pemukiman Maale Adumim, sehingga total wilayahnya menjadi 48 ribu dunum. Proyek tersebut bertujuan menghubungkan Yerusalem dengan sejumlah permukiman Israel, melalui penyitaan tanah Palestina dan pendirian permukiman baru, di wilayah antara Yerusalem Timur dan Maale Adumim.
Otoritas Palestina telah berulang kali mengancam akan mengambil langkah tegas jika Israel melaksanakan proyek tersebut. Pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama dan berbagai negara telah menolak pelaksanaan proyek tersebut.