'Jangankan Dihukum Mati, Lebih dari itu Saya Siap'

Menurut Edhy Prabowo, setiap kebijakan yang diambilnya adalah demi kepentingan rakyat

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Tersangka kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster Edhy Prabowo berjalan keluar seusai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Senin (22/2/2021). KPK memperpanjang masa penahanan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu untuk 30 hari ke depan.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Mabruroh, Antara

Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (EP), mengatakan siap bertanggung jawab jika terbukti bersalah dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster (benur) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan, Edhy mengatakan ia siap dihukum mati.

"Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah saya tidak lari dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari itupun saya siap yang penting demi masyarakat saya. Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan, saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan," katanya di Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/2).

Ia mengklaim setiap kebijakan yang diambilnya, salah satunya soal perizinan ekspor benur, semata-mata hanya untuk kepentingan masyarakat. "Saya tidak bicara lebih baik atau tidak. Saya ingin menyempurnakan, intinya adalah setiap kebijakan yang saya ambil untuk kepentingan masyarakat. Kalau atas dasar masyarakat itu harus menanggung akibat akhirnya saya di penjara itu sudah risiko bagi saya," kata Edhy.

Mantan kader Gerindra itu pun lantas mencontohkan soal kebijakan yang dikeluarkannya terkait perizinan kapal. "Anda liat izin kapal yang saya keluarkan ada 4 ribu izin dalam waktu 1 tahun saya menjabat. Bandingkan yang sebelum yang tadinya izin sampai 14 hari saya bikin hanya 1 jam, banyak izin-izin lain," ungkap dia.

Edhy Prabowo juga membantah telah membeli sebuah vila di Sukabumi, Jawa Barat, menggunakan uang suap. Vila itu kini telah disita KPK.

"Saya nggak tahu vila yang mana. Saya nggak tahu," kata Edhy.

Ia mempersilahkan tim penyidik KPK untuk menelusuri kepemilikan bangunan tersebut. Dia mengaku terbuka jika memang lembaga antirasuah itu ingin membuktikan kepemilikan vila tersebut.

"Ya silakan saja lah, semua kepemilikan itu kan atas nama siapa dan sebagainya juga nggak tahu," katanya

Meski demikian, dia tidak menampik pernah ditawari untuk membeli sebuah vila. Namun, dia mengungkapkan tidak membeli bangunan tersebut melihat tingginya harga bangunan yang ditawarkan.

"Saya pernah ditawarkan memang untuk itu, tapi kan saya nggak tindak lanjuti. Harganya mahal juga," katanya.

KPK menyita sebuah vila di Desa Cijengkol, Cibadak, Sukabumi Jawa Barat pada Kamis (18/2) lalu. Vila dengan luas kurang lebih 2 hektare itu diduga merupakan milik Edhy Prabowo yang dibeli menggunakan uang dari para eksportir yang mendapatkan izin ekspor benih lobster atau benur di KKP.

KPK juga kembali memperpanjang masa penahanan empat tersangka dugaan suap penetapan ekspor benih lobster. Perpanjangan masa kurungan itu dilakukan menyusul KPK membutuhkan waktu untuk melengkapi berkas perkara para tersangka.

Keempat tersangka yang dilakukan perpanjangan masa penahanan adalah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo (EP), staf khusus mantan Menteri KKP Safri (SAF), pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD) dan staf istri mantan Menteri KKP Ainul Faqih (AF).

"Perpanjangan penahanan ini dilakukan untuk memaksimalkan pemberkasan perkara dari para tersangka tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Dia mengatakan, perpanjangan masa penahanan para tersangka masing-masing dilakukan selama 30 hari terhitung sejak 23 Februari hingga 24 Maret mendatang. Ali melanjutkan, keempat tersangka itu akan ditempatkan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih.

Seperti diketahui, KPK menetapkan tujuh tersangka terkait penetapan perizinan ekspor benih lobster pada Rabu (25/11) malam. KPK mengamankan Direktur PT Duta Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT) sebagai penyuap.

Edhy dan staf khusus serta staf istrinya diduga menerima suap sebesar Rp 9,8 miliar. Di antara tersangka tersebut, Suharjito sedang menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia didakwa memberi suap Rp 2,1 miliar ke Edhy Prabowo agar dapat memuluskan perusahaan miliknya sebagai eksportir benih Lobster di KKP tahun 2020.

Suap diberikan melalui perantaraan Safri dan Andreau selaku staf khusus Edhy, Amiril, selaku sekretaris pribadi Edhy, Ainul Faqih selaku staf pribadi istri Edhy yang juga Anggota DPR RI Iis Rosita. Juga masih ada Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) sekaligus pendiri PT ACK.

PT DPPP adalah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor produk pangan. Yaitu antara lain Benih Bening Lobster (BBL), daging ayam, daging sapi, dan daging ikan.

Suharjito dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Baca Juga


Ilustrasi ekspor benih lobster - (Tim infografis Republika)




Hukuman mati bagi koruptor masih bersifat pro dan kontra di Tanah Air. Wacana hukuman mati koruptor mengemuka kembali saat pejabat negara mengambil aksi menguntungkan diri sendiri di saat masyarakat terhantam ekonominya akibat pandemi.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menegaskan agar memberlakukan hukuman mati kepada pelaku koruptor. Namun jika terasa sulit, ujar Koordinator MAKI, maka cara lain adalah perampasan aset dan penjara seumur hidup.

"Penjara seumur hidup, sepanjang dimiskinkan maka akan (menimbulkan) efek Jera," ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam ketarangan tertulis, Senin (22/2).

Menurutnya, cara efektif untuk menimbulkan rasa jera adalah dengan menerapkan hukuman seumur hidup dan perampasan aset. Dengan perampasan aset maka dia tidak memiliki kesempatan untuk jalan-jalan selama dalam masa tahanan.

Sayangnya ujar Boyamin, upaya memiskinkan koruptor ini nampaknya hanya sekedar wacana. Praktiknya, banyak koruptor dan keluarganya yang masih menikmati harta tersebut dengan dalih harta yang dimiliki tidak berkaitan dengan kasus yang terbongkar.

"(Memiskinkan koruptor) belum terlaksa maksimal karena baru sebatas hasil kejahatan yang diproses, sementara harta-harta lain hasil penyimpangan yang tidak diproses tidak disita. Alasan tidak terkait dengan perkara yang sedang diproses," jelas dia.

"Hampir (kasus korupsi) seperti itu semua karena kurang trengginasnya penegak hukum kita," tambah dia.

Boyamin meminta agar penegak hukum benar-benar tuntas dan menyeluruh dalam menangani kasus korupsi. Termasuk menyita semua aset hasil tindak pidana korupsi, dengan begitu upaya memiskinkan dan membuat jera koruptor akan terwujud. "Harus menyeluruh ketika tangani perkara korupsi, tuntas dan sita semua harta koruptor," tegasnya.

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku tidak sepakat dengan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Mereka menilai kalau korupsi bukan termasuk dalam kategori pelanggaran pidana HAM berat.

"Korupsi, narkoba dan lain-lain itu tidak termasuk itu (pelanggaran HAM berat)," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam sebuah diskusi virtual terkait hukuman mati bagi koruptor, Ahad (21/2).

Dia menjelaskan, secara internasional hukuman mati hanya diberikan kepada pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi dan kejahatan perang yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Korupsi, sambung dia, berada di bawah tingkat pelanggaran HAM berat.

"Hukuman mati itu hanya diizinkan untuk tindak pidana yang disebut the most serious crime sedangkan korupsi hanya masuk dalam kriteria serious crime bukan the most serious crime yang pelanggaran HAM berat seperti yang empat tadi," katanya.

Kendati, dia mengatakan bahwa hukuman mati untuk pelaku korupsi di tengah pandemi dibolehkan dalam aturan yang berlaku. Dia melanjutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga tidak menilai hukuman mati melanggar Undang-Undang Dasar 1945.

Dia meminta wacana hukuman mati diperhatikan matang-matang. Dia menegaskan, eksekusi mati bagi para pelaku korupsi tidak boleh dilakukan hanya karena emosi belaka.

"Kita perlu diskusikan dalam konteks kemanfaatan, dan harus memikirkan sentimen. Karena sering kali ide-ide seperti ini dalam rangka menangkap sentimen masyarakat yang marah," katanya.Sementara KPK tidak bisa menyatakan opininya terkait hukuman mati koruptor. Kebijakan KPK kepada pelaku koruptor hanya menghukum pidana dan menyita asetnya.

"Hukuman mati khususnya dalam penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi secara normatif dapat diterapkan  sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun, KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum tentu tidak dalam kapasitas berpendapat setuju atau tidak terkait penerapan hukuman mati," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Kemudian, Ali melanjutkan dalam penghukuman pelaku korupsi, kebijakan KPK saat ini tidak hanya menghukum pidana badan berupa penjara sebagai efek jera. "Tapi juga memaksimalkan pemulihan hasil tindak pidana korupsi/ asset recovery melalui tuntutan denda, uang pengganti maupun perampasan aset lainnya," ujarnya.



BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler