China Buat Hukuman Penjara untuk Uighur Semakin Lama
China meningkatkan penuntutan terhadap Uighur dengan berbagai tuduhan
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Human Rights Watch (HRW) mengatakan, China secara dramatis meningkatkan penuntutannya terhadap minoritas Muslim di Xinjiang melalui sistem pengadilan formal. HRW mecatat bahwa China memberikan hukuman penjara yang lama untuk tuduhan yang dipertanyakan seperti berselisih dan hanya memberikan hadiah.
"Hukuman yang diberikan untuk kegiatan termasuk memberi tahu orang lain, apa yang haram dan halal dan membawa hadiah kepada kerabat di Turki," kata HRW. Hal itu membuat hukuman penjara juga semakin lama.
Hukuman pidana itu merupakan tambahan dari penahanan sekitar satu juta Muslim Uighur dan minoritas lainnya di kamp-kamp interniran di provinsi Xinjiang. Menurut HRW, lebih dari 250 ribu orang di wilayah barat laut telah secara resmi dijatuhi hukuman dan penjara sejak 2016.
"Dari sudut pandang legalitas, banyak dari mereka yang berada di penjara Xinjiang adalah orang-orang biasa-biasa saja yang menjalani hidup dan menjalankan agama mereka," kata peneliti HRW Maya Wang dalam sebuah pernyataan seperti dikutip laman Aljazirah, Kamis (24/2).
Departemen Luar Negeri AS mengatakan tindakan China di Xinjiang sama dengan genosida, sementara legislator Kanada pada Rabu mengeluarkan deklarasi serupa. HRW mengatakan kejahatan di wilayah tersebut telah meningkat antara 2017 dan 2019 selama tindakan keras terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
Pengadilan Xinjiang menghukum hampir 100 ribu orang pada 2017, naik dari 40 ribu pada 2016. Kelompok hak asasi manusia, polisi, jaksa dan pengadilan telah ditempatkan di bawah tekanan untuk memberikan mandat yang cepat dan keras atas nama kontraterorisme, sehingga banyak yang dipenjara tanpa melakukan apa-apa.
Sebelum 2017, sekitar 11 persen dari larangan tersebut ditahan selama lebih dari lima tahun. Pada 2017, 87 persen melakukannya. Perlakuan dan penahanan China terhadap minoritas Muslim di Xinjiang, yang termasuk dakwaan menjadi sasaran kerja paksa dan rezim kerja paksa, telah menuai kecaman internasional.
"Tekanan internasional terhadap pemerintah China harus ditingkatkan untuk penyelidikan independen ke Xinjiang," kata Wang. "Itu harapan terbaik untuk mengetahui semua orang yang peduli atau dipenjara secara tidak adil," ujarnya menambahkan.
Setelah awalnya menyangkal keberadaan kamp di Xinjiang, Beijing kemudian mengubahnya menjadi pusat pelatihan kejuruan atau kamp pendidikan politik yang bertujuan untuk mengurangi daya tarik yang disebut ekstremisme Islam. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi pada Senin (22/2) mengatakan perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas di Xinjiang adalah "contoh cemerlang" dari hak asasi manusia China.