Mariyah Al-Qibthiyyah, Wanita yang Dicemburui Istri Nabi
Mariyah adalah seorang hamba sahaya yang diberikan oleh penguasa Mesir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mariyah Al-Qibthiyyah atau Mariyah binti Syama’un Radiyallahu anha (RA) adalah salah seorang istri Nabi Muhammad SAW. Dia merupakan istri Nabi yang sebelumnya seorang hamba sahaya yang diberikan oleh penguasa Mesir, Muqauqis. Rasulullah kemudian membebaskan Mariyah lalu menikahinya.
Pergi dari Mesir ke Yatsrib
Mariyah banyak dikisahkan terlahir di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Saat Nabi Muhammad SAW mengirim surat kepada Muqauqis untuk mengajaknya masuk Islam melalui Hatib bin Baltaah, Raja tersebut menerima Hatib dengan hangat. Meskipun dia menolak memeluk Islam dan justru memberikan hamba sahaya, yakni Mariyah, Sirin, dan Maburi serta hadiah lain hasil kerajinan Mesir untuk Rasulullah.
Mengetahui akan pergi jauh dari kampung halaman, terlihat jelas raut kesedihan Mariyah. Namun, Hatib menghibur mereka dengan menceritakan akhlak Rasulullah dan Islam dan mengajak mereka memeluk Islam.
Sesampainya di Yatsrib, Rasulullah mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada sahabatnya yang lain. Namun, melihat Mariyah yang cantik, dikisahkan istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir ini.
Mariyah mengandung seorang putra yang kelak diberi nama Ibrahim. Mendengar berita kehamilan Mariyah, tampak kegembiraan Nabi Muhammad, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Kehamilan ini membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak. Mariyah lalu melahirkan Ibrahim pada tahun kedelapan hijrah. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Nabi ini dengan gembira.
Kendati demikian, ada kecemburuan di hati istri Rasul lainnya yang biasa juga terjadi di semua wanita. Seringnya Nabi mengunjungi Mariyah membuat istri nabi yang lain, Hafshah RA dan Aisyah RA cemburu. Mengetahui hal ini, Rasulullah mengharamkan Mariyah atas dirinya yang kemudian ditegur Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya: "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At-Tahriim: 1)
Tafsir Al-Mukhtashar/Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Shalih bin Abdullah bin Humaid menjelaskan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya. Allah menegurnya ketika beliau melarang dirinya menggauli budak wanitanya karena telah bersumpah tidak akan menggaulinya, demi menjaga kasih sayang Aisyah dan Hafshah. Rasulullah berpesan kepada Hafshah untuk tidak menceritakan kepada siapa pun tentang sumpah ini.
Beberapa orang munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil dari lelaki lain. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran atas masalah itu sehingga jelas Ibrahim adalah putra Rasulullah.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah.
Rasulullah lalu bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Meninggalnya Ibrahim membuat sedih Nabi. Air matanya bercucuran. Beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim. Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Mariyah wafat lima tahun setelah Rasulullah meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Umar sendiri yang mensholatkan jenazah Mariyah dan memakamkannya di Baqi’.