Supersemar, Cek Kosong Soekarno untuk Soeharto
Soekarno membantah Supersemar merupakan alat transfer kekuasaan kepada Soeharto.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dimanfaatkan Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan. Penjelasan itu disampaikan peneliti senior Pusat Penelitian politik LIPI, Asvi Warman Adam. Ia mengatakan, Supersemar tersebut berisi perintah Soekarno yang meminta Jenderal Soeharto memulihkan dan menjaga keamanan serta ketertiban.
Namun persoalannya, menurutnya, naskah dalam surat yang menyebutkan diberikan wewenang untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu. Hal itu yang kemudian menjadikan semacam cek kosong bagi Soeharto. Dengan demikian, Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang justru berseberangan dengan kehendak sang presiden.
"Supersemar dimanfaatkan untuk mempreteli kekuasaan Soekarno dan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar bagi Soeharto," kata Asvi, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (10/3).
Asvi mengatakan, Soeharto menggunakan surat perintah itu sebagai dasar untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru tidak berkenan bagi Soekarno. Begitu surat perintah itu diterima, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 12 Maret 1966.
Namun, surat itu mengatasnamakan presiden berdasarkan mandat Supersemar tersebut. Soeharto juga mengeluarkan seruan pelaporan diri anggota eks PKI serta larangan bagi partai politik dan organisasi massa untuk menerima eks PKI bertanggal 14 Maret 1966, yang juga mengatasnamakan presiden.
Soeharto bertindak lebih keras lagi dengan mengamankan atau menahan 15 menteri dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dianggap terlibat PKI. Termasuk, di antaranya orang-orang dekat Soekarno yang juga para penasihat politiknya. Selanjutnya, Supersemar ditingkatkan status hukumnya menjadi Ketetapan MPRS. Sehingga, tidak lagi bisa dicabut oleh Presiden Soekarno.
Soekarno bereaksi saat ia menerima laporan bahwa Men/Pangad telah membubarkan PKI dengan dasar surat perintah yang ia berikan. Soekarno lantas mengeluarkan surat perintah susulan yang kemudian disampaikan khusus kepada Letjen Soeharto oleh Waperdam II Dr. Leimena pada 13 Maret 1966.
Dalam buku berjudul Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jenderal karya A. Pambudi, disebutkan Soekarno yang merasa tidak sepakat dengan langkah Soeharto lantas menyuratinya. Mantan dubes RI untuk Kuba, A.M. Hanafi menuturkan, pada 13 Maret 1966 Presiden Soekarno mengirim surat kepada Soeharto.
Isinya, mengingatkan Supersemar itu sifatnya teknis/administratif dan tidak politik. Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan yang melampaui bidang dan tanggung jawabnya, dan Soeharto diminta menghadap Soekarno di Istana untuk memberikan laporannya.
Namun demikian, Asvi mengatakan dokumen tentang pencabutan Supersemar oleh Soekarno itu tidak juga ditemukan hingga kini. Akan tetapi, berdasarkan kesaksian dari sejumlah orang dikatakan bahwa Bung Karno memang tidak setuju dengan tindakan Soeharto setelah Supersemar itu diserahkan.
"Soekarno menganggap bahwa wewenang yang diberikan kepada Soeharto tidak sebesar itu," kata Asvi.
Banyak pihak yang menuding telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan Supersemar. Terlebih, Soekarno tidak sepakat jika PKI dibubarkan. Sebab, menurutnya, yang berwenang membubarkan partai politik adalah presiden.
Soekarno membantah jika Supersemar merupakan alat transfer kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Pada 16 Maret 1966, Bung Karno membuat pengumuman untuk menjelaskan Supersemar. Ia menegaskan bahwa dirinya masih berkuasa penuh, baik sebagai kepala eksekutif pemerintahan dan mandatoris MPRS.
Soeharto yang khawatir jika surat perintah itu bisa dicabut oleh Soekarno, lantas mengukuhkannya menjadi sebuah ketetapan MPRS. Bahkan, komposisi pimpinan dan keanggotaan di dalam MPRS diubah sebelum Sidang Umum digelar pada 20 Juni-6 Juli 1966.
Soekarno sendiri berupaya menghimpun dukungan politik dengan pidatonya yang dikenal dengan Nawaksara dalam Sidang Umum MPRS. Namun, pidato pertanggungjawabannya itu justru ditolak.
Bahkan, gelar presiden seumur hidup bagi Soekarno dicabut oleh lembaga ini. Sebaliknya, Soeharto berhasil mencapai tujuannya dengan diputuskannya Supersemar menjadi Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966.
Asvi mengatakan, bagi Soeharto upaya untuk meraih kekuasaan itu sebenarnya sudah dimulai setelah peristiwa 1 Oktober 1965 atau dikenal Gerakan 30 September/PKI. Setelah peristiwa penculikan tujuh petinggi Angkatan Darat, Soeharto menurutnya sudah menyusun kekuatan secara bertahap. Hingga kemudian, Soeharto berhasil mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.
Dalam hal ini, Asvi memandang apa yang dilakukan Soeharto sesuai dengan teori 'kudeta merangkak'. Teori tersebut menunjukkan bahwa proses pengambilalihan kekuasaan tidak seketika dan drastis, melainkan secara bertahap.
"Dan Soeharto melakukan itu sejak awal Oktober 1965 hingga Maret 1966 dan sampai 1967 ketika ia menjabat sebagai presiden," tambahnya.
Sejalan dengan pandangan Asvi, F.X Baskara Tulus Wardaya dalam bukunya berjudul "Membongkar Supersemar!: dari CIA hingga Kudeta merangkak Melawan Bung Karno" menuliskan, Amerika Serikat menyebut Supersemar sebagai sebentuk kudeta yang 'khas Indonesia'. Dalam laporan Dubes Green kepada Departemen Luar Negeri AS di Washington tertanggal 12 Maret 1966, dokumen itu mengatakan Supersemar adalah cara militer untuk memotong kekuasaan Bung Karno.
Hal itu disebut sebagai reaksi atas tindakan Bung Karno memecat Menteri Pertahanan Nasution dan mau menggantikannya dengan seseorang yang pro-Komunis. Amerika sendiri tampaknya tak keberatan dengan tindakan Soeharto itu. Bahkan, dalam dokumen tersebut, Amerika memakai istilah kepemimpinan Soeharto sebagai pemerintahan yang baru.
Sementara itu, dalam penafsiran Soeharto, seperti diungkapkan dalam otobiografinya, perintah itu dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawat di mana integritas Presiden, ABRI, dan rakyat sedang dalam bahaya. Sedangkan keamanan, ketertiban, dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan.
Dengan kata lain, A. Pambudi dalam bukunya berjudul "Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jenderal" menuliskan, Soeharto menganggap Supersemar melebihi sekedar 'instruksi presiden', atau bahkan pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas. Menurut penafsiran Soeharto, Supersemar adalah kekuasaan untuk bertindak apapun, selama itu dianggap perlu, dan dianggap relevan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Namun dalam outobiografinya pula, soeharto mengatakan tidak pernah menganggap Supersemar sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Menurutnya, Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alasan untuk mengadakan kudeta secara terselubung. Ia menyebut Supersemar adalah awal perjuangan Orde Baru.