“Happening” dan Tradisi Berjamaah Kita
Tradisi berjamaah tatap muka dalam tabligh akbar terancam pandemi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Moch Aly Taufiq, SQ*
Sebelum pandemi Covid-19 mewabah, kita seringkali melihat bergai acara keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara sukarela. Saya ingin menyebut beberapa saja, misalnya kegiatan keagamaan yang diadakan Majelis Rasulullah SAW di sekitar Jakarta. Selalu dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Para jamaah datang pada acara tersebut tanpa undangan, hanya mendengar dari mulut ke mulut, atau papan reklame yang sangat terbatas. Mereka datang sendiri dari berbagai kota di seluruh penjuru, dengan membawa minuman dan makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, disewa sendiri oleh setiap rombongan.
Perayaan keagamaan seperti ini, mirip seperti apa yang terjadi di berbagai daerah lain. Di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, misalnya, setiap 1 Rajab, diperingati sebagai Haul (peringatan kematian) KH Bisri Syansuri, pendiri pesantren. Ribuan massa berkumpul, datang tanpa diundang, pulang tanpa diantar, berjejal di area makam KH Bisri Syansuri. Mereka berduyun-duyun mengikuti prosesi peringatan Haul, atas kesadaran sendiri, menyewa truk dan membawa bekal makanan sendiri.
Begitu pula yang terjadi pada acara Haul Sunan Bonang di Tuban. Acara itu diadakan setiap tahun tanpa undangan dari panitia, kecuali hanya pemberitahuan yang serba terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. sedangkan puluhan jamaah lainnya, membawa tikar dan bekal masing-masing.
Dalam Catatan Gus Dur, muballigh kondang almarhum KH Yasin Yusuf dari Blitar, selama 43 tahun berpidato dalam acara tersebut, tanpa undangan dari panitia. Kegiatan serupa juga terlaksana oleh kelompok Maiyah yang dipimpin MH Ainun Najib (Cak Nun). Ribuan orang berkumpul di berbagai tempat secara rutin dan berlangsung selama puluhan tahun.
Berbagai peringatan di atas, dihadiri jamaah atas inisiatif sendiri dan dibiayai sendiri. Inisiatif inilah yang oleh Herbert Marshal McLuhan disebut sebagai “happening”. Di Indonesia, “happening” terjadi di berbagai daerah dengan beragam bentuk dan tradisi, baik dalam durasi bulanan maupun tahunan.
Salah satu “happening” dalam sekala bulanan, terjadi di Demak. Pada setiap malam Jumat Kliwon, peziarah makam Sunan Kalijaga meningkat jumlahnya. Pada hari-hari biasa, jumlah penziarah makam hanya berkisar ribuan, namun pada malam Jumat Kliwon, mencapai puluhan ribu. Mereka berdatangan tanpa undangan dan pengumuman.
Semua tokoh yang memotori gerakan tersebut, telah melakukan apa yang dikatakan Hiroko Horikoshi, yaitu mengambil peranan sendiri untuk merumuskan gerakan pembangunan moral, baik melalui acara peringatan haul, atau yang lain.
Dia merumuskan gerakan yang berbeda dengan partai politik ataupun LSM. Paling tidak, peringatan itu telah melahirkan keteraturan dan ketentraman yang melibatkan puluhan ribu jiwa, sekaligus memberikan shock theraphy bagi masyarakat.
Ada sesuatu yang menarik perhatian para jamaah, hingga mereka rela datang dengan inisiatif sendiri. Yaitu “ngalap berkah” (mencari berkah), maka selama itu pula kesuka-relaan akan mendorong mereka untuk bergerak mencapai berkah.
Menurut Gus Dur, prinsip kesuka-relaan dan keihklasan atas dasar agama tersebut, adalah suatu hal yang menggerakkan dan menghidupi masyarakat kita dewasa ini. Ada peluang bagi kita, untuk menerapkan prinsip kesuka-relaan ini pada wilayah yang lebih luas.
Tentu saja, tradisi ini akan menguntungkan bangsa Indonesia, jika diciptakan terobosan epistemologis untuk menerapkan prinsip kesuka-relaan ini pada segala aspek.
Dalam kehidupan berpolitik kita saat ini misalnya, tampaknya aspek kesuka-relaan sangat relevan untuk diterapkan. Dengan begitu, akan muncul para politisi yang suka rela membangun bangsa dengan mengesampingkan kepentingan sendiri.
Salah satu contoh gerakan penerapan prisnsip tersebut di bidang politik, adalah peristiwa deklarasi “Jihad Kebangsaan” yang digaungkan oleh KH Hasyim Asy’ary. Sejarah mencatat, puncak dari gerakan tersebut melahirkan resolusi Jihad yang terbukti mampu membakar patriotisme santri dan arek-arek Suroboyo. Kiai Hasyim, berjuang, baik melalui politik dan fatwa, bukan atas dasar kepentingan sendiri, melainkan atas prinsip di atas.
Begitu pula apa yang dicontohkan KH Wahab Hasbullah ketika menjadi pimpinan “Masyumi”. Saat itu, dia berpendapat agar Masyumi menerima ajakan Bung Hatta, untuk duduk di kabinet meskipun salah satu program kabinet tersebut ditentang Masyumi sendiri.
Kyai Wahab berhujjah, jika salah satu program Hatta dianggap munkar, maka Masyumi harus melenyapkan kemungkaran tersebut dengan maksimal, karena sudah menjadi kewajiban agama. Kewajiban tersebut tidak akan bisa dilakukan jika tidak berada di dalam kabinet, kalau berada di luar, Masyumi tidak akan bisa berbuat apa-apa, paling cuma gembar-gembor.
Jelaslah bagi kita, asas kesuka-relaan dan keterbukaan sistem politik sangat diperlukan dalam sikap dan landasan kehidupan kita sebagai bangsa. Happening tersebut, terbukti mempunyai nilai strategis yang sangat berarti bagi bangsa ini.
Tantangan
Kita semua menyaksikan, bahwa berbagai kegiatan di atas, memberikan kekayaan pengetahuan yang melimpah. Namun, pandemi Covid 19 telah melenyapkan–baik seketika maupun secara perlahan, berbagai tradisi tersebut, tentu kita mengalami kerugian.
Pada masa Pandemi Covid-19, kegiatan di atas dilaksanakan secara virtual, misalnya Peringatan Haul KH Bisri Syansuri, begitu juga kegiatan Maiyah di berbagai tempat. Acara dalam bentuk virtual tersebut, semestinya lebih mudah diikuti para epigon, karena lebih efektif dan murah. Namun kenyataanya tidak demikian, para hadirin sepertinya tidak merasakan penjiwaan yang mendalam atas kehadiran secara virtual.
Kita tentu berharap, “happening” mampu bertahan hingga pandemi Covid-19 berlalu, sehingga berperan seperti apa yang dikatakan Cliffort Geertz sebagai ulama “makelar budaya” (cultural broker), yaitu tokoh yang mampu melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya.
Dalam kegiatan tersebut, menempatkan sang pemimpin bagaikan waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitarnya. Pengaruh budaya luar yang datang, bagaikan air yang naik oleh adanya bendungan itu. Jama’ah terlindungi dari pengaruh-pengaruh negatif, dan dibiarkan mengambil pengaruh-pengaruh luar yang positif.
Saat ini keadaan tentu sangat berbeda, pandemi Covid-19 menggerus “happening’ kita dan memunculkan budaya baru yang semakin tak terkontrol. Dalam social distancing, kita justru dihadirkan suasana baru yang serba virtual.
Dari sini kita melihat, betapa arus budaya global sangat besar dan sulit terbendung. Kita melihat anak muda generasi kita sangat mahir berlenggak-lenggok dan berjoget di depan kamera, atau memamerkan segala bentuk kemewahan. Motivasi mereka sederhana, mengusir kejenuhan.
Namun demikian, kita harus optimis bahwa Pendemi Covid-19 akan segera berlalu. Tradisi “happening” menjadi harapan masyarakat kita. Kita tak boleh putus asa untuk kembali menghidupkan asas kesukarelaan yang semakin mahal. Maka inilah tugas generasi muda, untuk tetap memainkan peran positif di tengah budaya serba virtual.
*Alumni PTIQ dan UNJ