Sebar Hoaks Terkait Covid-19 di Malaysia Bakal Dipenjara
Mereka yang dinyatakan bersalah didenda 100 ribu ringgit hingga 6 tahun penjara.
REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Malaysia pada Kamis (11/3) mengeluarkan undang-undang (UU) darurat baru untuk menangani berita palsu terkait Covid-19 serta keadaan darurat yang diberlakukan secara nasional sejak Januari. Ancaman denda yang besar dan hukuman penjara hingga enam tahun bakal diberlakukan pemerintahan Muhyiddin Yassin untuk menghadapi hoaks.
Peraturan tersebut mulai berlaku Jumat (12/3). "Pelanggaran untuk mempublikasikan atau mereproduksi konten yang seluruhnya atau sebagian salah terkait dengan pandemi atau deklarasi darurat," tulis pernyataan pemerintah.
UU darurat tidak membutuhkan persetujuan parlemen. Yurisdiksi peraturan tersebut akan meluas ke setiap individu yang melakukan pelanggaran terkait penanganan pandemi dalam negeri di luar Malaysia, terlepas dari kewarganegaraan seseorang.
Mereka yang dinyatakan bersalah menghadapi denda 100 ribu ringgit (24.360 dolar AS), hingga tiga tahun penjara, atau keduanya. Peraturan tersebut mengatur hukuman yang lebih berat bagi individu yang terbukti bersalah mendanai tindakan penerbitan berita palsu, dengan denda hingga 500 ribu ringgit, maksimal enam tahun penjara, atau keduanya.
Ketentuan di bawah peraturan tersebut mencerminkan yang ada dalam Undang-Undang Anti-Berita Palsu yang dicabut pada tahun 2019 selama masa jabatan pendahulu Muhyiddin, Mahathir Mohamad. Pada Januari, Raja Al-Sultan Abdullah mengumumkan keadaan darurat nasional untuk mengekang penyebaran Covid-19.
Itu adalah sebuah langkah yang dicela oposisi sebagai upaya perdana menteri untuk mempertahankan kendali di tengah perebutan kekuasaan. Pejabat kesehatan mengatakan, tingkat infeksi mulai melambat, setelah melihat kasus harian menembus angka 5.000 selama beberapa hari selama Januari.
Malaysia telah melaporkan lebih dari 319.000 total kasus Covid-19 hingga Kamis (11/3). Sedangkan sudah 1.200 kematian akibat Covid-19 tercatat di negara tersebut, beban kasus tertinggi ketiga di wilayah tersebut setelah Indonesia dan Filipina.