WHO Setujui Penggunaan Vaksin Johnson & Johnson
WHO sebelumnya menyetujui vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyetujui penggunaan darurat vaksin Covid-19 Johnson & Johnson pada Jumat (12/3). Itu adalah vaksin ketiga yang memperoleh dukungan dari WHO setelah Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca.
"Setiap alat baru, aman, dan efektif melawan Covid-19 adalah satu langkah lebih dekat untuk mengendalikan pandemi,"kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan.
Dia menjelaskan, daftar penggunaan darurat adalah lampu hijau untuk mendapatkan vaksin terkait. Ia pun bakal diluncurkan oleh Covax, sebuah program yang dipimpin WHO dan bertujuan menyediakan vaksin bagi negara-negara berpenghasilan rendah serta menengah.
WHO mengatakan, di bawah daftar penggunaan darurat, perusahaan harus berkomitmen menghasilkan data keamanan dan kemanjuran lebih lanjut. Hal itu untuk memungkinkan perizinan penuh.
Penasihat senior WHO Bruce Aylward mengatakan, vaksin Johnson & Johnson tidak memerlukan suhu ultra dingin. "Bahkan lebih cocok untuk beberapa negara yang paling parah terkena dampak pandemi," ujarnya.
Berbeda dengan Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca, Johnson & Johnson hanya memerlukan satu dosis dalam proses vaksinasi. Aylward mengatakan, Covax, yang bekerja sama dengan aliansi vaksin Gavi, memiliki kesepakatan untuk menerima lebih dari 500 juta dosis vaksin Johnson & Johnson.
“Apa yang kami coba lakukan adalah bekerja dengan perusahaan untuk memajukannya sedini mungkin. Kami berharap setidaknya pada bulan Juli kami memiliki akses ke dosis yang dapat kami luncurkan, bahkan lebih awal," kaya Aylward.
Kepala ilmuwan Johnson & Johnson Paul Stoffels mengatakan pihaknya berharap dapat memproduksi hingga 3 miliar dosis vaksin tahun depan Sebelumnya perusahaan tersebut berjanji menyuplai 1 miliar dosis secara global pada akhir 2021.