DKI Jakarta Ancang-Ancang Buka Kembali Sekolah
Uji coba sekolah tatap muka di Jakarta menggunakan mekanisme campuran online-offline.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Inas Widyanuratikah, Febrianto Adi Saputro
Pemprov DKI Jakarta tengah bersiap untuk menggelar uji coba terbatas sekolah tatap muka selama pandemi Covid-19. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, uji coba itu akan menggunakan mekanisme campuran, yakni proses belajar mengajar secara tatap muka di sekolah (offline) dan secara daring (online).
"DKI Jakarta sedang mempersiapkan dimungkinkannya piloting atau uji coba terbatas tatap muka offline-online secara campuran di beberapa sekolah di seluruh Jakarta mulai dari SD, SMP, SMA, SMK dan SMEA," kata Ariza di Balai Kota Jakarta, Senin (22/3).
Meski demikian, Ariza belum menjelaskan secara rinci di mana saja sekolah yang bakal menjadi lokasi uji coba tersebut. Dia menuturkan, terkait teknis uji coba sekolah tatap muka akan disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Nahdiana.
Politikus Partai Gerindra itu hanya memastikan bahwa uji coba yang bakal dilaksanakan harus menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
"Tentu semuanya harus memenuhi syarat protokol kesehatan, tenaga pendidiknya, siswanya dibagi berapa persen yang offline dan berapa persen yng sekolah, berapa hari yang ikut secara offline dan sisanya online," ujarnya.
Ariza pun berharap agar uji coba terbatas ini dapat segera terlaksana. Meski begitu, dia menekankan, hingga kini Pemprov DKI masih menerapkan pembelajaran secara daring.
"Sekalipun pemerintah pusat sudah memberikan kesempatan pada sekolah-sekolah setiap provinsi untuk dimungkinkan tatap muka atau campuran dengan online dan offline, DKI Jakarta sampai hari ini masih memutuskan untuk tetap online," jelas dia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan, faktor utama pembukaan sekolah mestinya soal persiapan infrastruktur dan protokol kesehatan. Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, pembelajaran tatap muka tidak disarankan dilakukan.
"KPAI berpendapat bahwa vaksinasi hanya faktor pendukung dalam pertimbangan pemerintah membuka sekolah, karena faktor utamanya haruslah persiapan infrastruktur dan protokol kesehatan/SOP Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di sekolah," ujar Komisioner KPAI Bidang pendidikan, Retno Listyarti, Senin (22/3).
Tanpa penyiapan infrastruktur dan protokol kesehatan maka potensi sekolah menjadi klaster baru sangat besar. Jika guru sudah divaksin, namun peserta didik belum divaksin maka kekebalan kelompok tidak akan terbentuk.
Retno mengatakan, kekebalan kelompok terbentuk jika jumlah yang divaksin mencapai 70-80 persen dari populasi. Sementara jumlah siswa bisa mencapai 1.000 dengan guru hanya 70 orang, tidak sampai 10 persen dari populasi di sekolah.
Sementara, dalam aplikasi pengisian penyiapan buka sekolah di laman Kemendikbud sampai dengan 2021 baru diisi sekitar 50 persen sekolah yang mengisi dari seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut yang masuk kategori siap hanya sekitar 10 persen.
"Sementara data yang tidak berbeda juga didapat dari hasil pengawasan KPAI pada Juni-November 2020 terkait penyiapan buka sekolah di 49 sekolah pada 21 kabupaten/kota di 8 provinsi. Dari 49 sekolah tersebut, hanya 16,3 persen yang siap dan 83,7 persen belum siap," kata dia lagi.
Meskipun belum siap melengkapi infrastruktur dan protokol kesehatan, sejumlah sekolah di daerah pada Januari sudah buka sekolah tatap muka. Salah satunya di Nangroe Aceh Darussalam, sudah 20 persen sekolah dibuka, begitupun di Jawa Barat ada sekitar 2.500 sekolah sudah PTM secara terbatas. Sementara di Jawa Timur hampir 5.000 sekolah sudah PTM, meskipun baru tahap simulasi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengutarakan soal target pembelajaran tatap muka nasional saat menghadiri vaksinasi di SMAN 70 Jakarta, Rabu (24/2) lalu. Ia mengatakan, prioritas vaksinasi diberikan kepada guru dan tenaga kependidikan agar pembelajaran tatap muka bisa dimulai sepenuhnya pada awal semester kedua 2021/2022.
"Kita harapkan nanti setelah provinsi DKI Jakarta, semua provinsi juga melakukan hal yang sama. Karena tenaga pendidik, kependidikan, guru, kita berikan prioritas agar nanti di awal semester kedua pendidikan tatap muka bisa kita mulai lakukan," ujar Presiden Jokowi.
Menurutnya, vaksinasi tahap kedua ditargetkan menyasar lima juta guru dan tenaga kependidikan. Harapannya bisa rampung pada Juni 2021.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim ikut mengonfirmasi itu. Nadiem juga mengatakan pembelajaran tatap muka bisa dimulai setelah vaksinasi Covid-19 pada guru selesai dilaksanakan.
"Kalau kita bisa menyelesaikan vaksinasi ini sampai dengan akhir bulan Juni, maka tahun ajaran berikutnya, pada Juli, bisa melakukan pembelajaran tatap muka," katanya pada acara peluncuran program vaksinasi guru di SMAN 70 Jakarta, Jakarta, Rabu.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani menyampaikan dukungan terkait rencana pembukaan kembali sekolah tatap muka. Menurut dia, pemprov tidak perlu khawatir dengan rencana tersebut.
"Jika pemprov berencana buka sejumlah sekolah, saya dukung. Memang ini yang harus dilakukan. Pemprov tidak perlu khawatir yang berlebih," ujarnya.
Ia menilai, para siswa akan aman saat berada di sekolah. "Bahkan website DKI sendiri membuktikan itu, data per 9 September 2020 menunjukkan hanya 3.954 anak dengan gejala ringan, dari total 49.837 positif Covid-19 pada saat itu," ungkap Zita.
Dia menambahkan, jika merujuk pada data ancaman meninggal berdasarkan faktor usia akibat Covid-19, usia anak tergolong aman. Zita menjelaskan, usia 31-45 tahun 2,4 kali lipat lebih berisiko meninggal. Kemudian, usia 46-59 tahun 8,5 kali lipat lebih berisiko, dan usia 60 tahun 19,5 kali lipat lebih berisiko.
"Saya mengajak kepada pemprov, yuk, lebih fokus ke pendidikan. Tempat hiburan sudah berani dibuka, sekolah juga harus berani. Saya percaya aman setelah guru divaksin, tinggal mau atau tidaknya. Juga saya percaya Ibu Kota harus berani, bukan ugal-ugalan, tapi by data, by kajian, dan InsyaAllah, jika lihat data, saya yakin sekolah aman," ucap Zita.
Anggota Komisi X DPR RI, Illiza Sa'aduddin Djamal mengungkapkan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) memunculkan berbagai persoalan krusial. Salah satunya yaitu munculnya persoalan terhadap psikologis anak.
"Pembelajaran jarak jauh memang memiliki permasalahan krusial selain, regulasi, kurikulum, sarana prasarana, sumber daya manusia, dan anggaran yaitu permasalahan psikologis," kata Illiza kepada Republika, Senin (22/3).
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjabarkan hasil survei yang dilakukan KPAI yang menunjukkan adanya permasalahan psikologis. Di mana, selama pembelajaran jarak jauh tidak terjadi interaksi antara pendidik dan peserta didik sebanyak 79,9 persen, dan hanya 20,1 persen terjadi interaksi.
"Namun interaksi yang berlangsung hanya dalam bentuk chatting sebanyak 87,2 persen, zoom meeting sebanyak 20,2 persen, video call whatsApp sebanyak 7,6 persen," ujarnya.
Menurutnya pendampingan orang tua dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu hal penting, umumnya dilakukan oleh ibu yang mendampingi siswa terutama pada jenjang SD dan SMP. Orang Tua dituntut untuk melakukan komunikasi dengan guru hingga turut membantu menjelaskan pelajaran sampai dengan mengerjakan tugas-tugas siswa.
"Sedangkan peran serta orang tua dalam pembelajaran jarak jauh siswa jenjang menengah atas (SMA dan SMK) tergolong lebih rendah, umumnya hanya sebatas pengawasan dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan belajar mengajarnya," ungkapnya.