Disadari atau tidak Kita Sedang Bertasawuf dalam Hidup

Tasawuf merupakan jalan menuju kesempurnaan diri

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Tasawuf merupakan jalan menuju kesempurnaan diri. Ilustrasi ampunan
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, *Oleh Ustadz Yusuf Suharto*

Baca Juga


Ahlussunah wal Jamaah yang kita selarasi ini adalah paham keislaman yang dianut mayoritas Muslim dunia, termasuk masyarakat Nusantara. 

Aswaja dalam bentuk yang kita saksikan bersama ini adalah kelanjutan tradisi cara berpikir dan berpraktek yang telah dijalani kaum Muslimin dari generasi ke generasi. 

Islam adalah agama moderat (proposional), sehingga Ahlussunah wal Jamaah sebagai duta utama Islam tentu berkarakter moderat, dan sebagai agama penuh rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil'alamin), Islam menuntun penganutnya agar bisa senantiasa bersikap proposional atau moderat terhadap siapapun dan apapun.  

Dalam hal ini, Islam Ahlussunnah wal Jamaah (aswaja) memerankan sebagai penengah, dan pengemban amanah kerahmatan alam. Sehingga di antara praktik bersikap moderat itu adalah tidak melakukan sikap berlebihan atau mudah merespon segala sesuatu dengan sikap negatif destruktif.  

Sebagaimana dinyatakan dalam hadits sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim, agama ini mengandung tiga unsur utama, yaitu iman (akidah), Islam (fiqih), dan ihsan (tasawuf). Masing-masing unsur ini ketika berdialektika dengan konteks dan zaman melahirkan peradaban ilmu yang berkembang pesat dan dalam, yang terlembagakan dalam mazhab (pijakan ajaran). 

Masyarakat Muslim di nusantara sejak dahulu hingga kini dikenal mengikuti tiga mazhab, yaitu dalam fiqih mengikuti salah satu empat mazhab fikih, terutama Imam Syafi'i (w 204 H). Dalam akidah mengikuti Mazhab Imam Abul Hasan al-Asy'ari (w 324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidy (w 333 H). Dalam tasawuf mengikuti Mazhab Imam Junaid al-Baghdadi (w 297 H), Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w 505 H), dan yang searah. Penulis dalam hal ini menyorot tentang tasawuf. 

Dilabeli, disadari ataukah tidak, masing-masing umat Islam sedang dan menuju tasawuf sebagai jalan memperbaiki diri. Karena itu tasawuf tak mengenal usia, tua muda muda bisa asyik menjumpakan diri dengannya. Para santri muda di pesantren misalnya, jamak diketahui bahwa mereka sedang mempraktekkan jalan bertasawuf. 

Di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang Jawa Timur, bukan pemandangan yang aneh ketika melihat para santri muda berduyun-duyun mengikuti pengajian tasawuf dan praktik ibadah masyarakat sekitar, dan tanpa canggung berbaur dengan para sepuh 

Di kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC) Pacet Mojokerto Jawa Timur, para mahasiswa yang dalam usia muda itu menata hati dengan cara mengaji kitab al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah kepada salah seorang dosen. Semula dengan sedikit peserta, berikutnya bertambah dan bertambah. 

Pak Ustadz mengaji memakai tablet yang di dalamnya ada pdf al-Hikam. Peserta ada yang membawa kitab, dan ada pula yang cukup membawa HP. Benar-benar kekinian, dan bukti bahwa tasawuf itu untuk semua kalangan. 

Tak cukup hanya dengan mengaji, selepasnya, anak-anak muda dari strata satu dan paska ini masih terus mengitari dan berdialog dengan Pak Ustdaz yang seorang dosen agama. Ulasan-ulasan mutiara tasawuf itu didekati dan disinergikan dengan filsafat. 

Kegelisahan para muda itu diwadahi dan diselami pak dosen dengan bijak. Dan dengan mengikuti ngaji tasawuf itu, sebenarnya anak-anak muda itu merindukan kebahagiaan ruhani. 

Demikianlah, sebenarnya tak kenal tua muda, manusia memang menghajatkan kebahagiaan, dan dengan tasawuf manusia diharapkan berbahagia dalam hidupnya, dengan cara manusia berusaha memperbaiki kualitas dirinya terus menerus. 

Untuk meraih kebahagiaan dihajatkan akhlak mulia dengan menyeimbangkan dan memoderasi potensi kemanusiaan. Akhlak mulia itu adalah empat potensi daya utama. Ada empat induk keutamaan, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (syaja'ah), pemeliharaan diri (''iffah), dan keseimbangan (adalah).

 

Imam Al-Ghazali (w 505 H) dalam al-Mizan al-amal menyatakan bahwa jiwa moderat (al-'adalah) itu adalah cerminan keberhasilan memadukan tiga daya manusia.

Daya akal yang dimoderasi akan membuahkan akhlak yang penuh hikmah (bijaksana). Daya ghadhab (emosi) yang dimoderasi akan melahirkan akhlak syajaa'h (keberanian), dan daya syahwat (hasrat) akan melahirkan akhlak 'iffah (penjagaan diri). 

Kebijaksanaan adalah moderasi kekuatan akal, keberanian adalah moderasi kekuatan nafsu amarah, pemeliharaan diri adalah moderasi daya syahwat, dan moderasi ketiganya disebut tawasuth, atau proposional. 

Moderasi akal yang melahirkan hikmah atau kebijaksanaan, selaras dengan surat An-Nahl ayat 125, 'Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan' yang maksudnya adalah mengajak dengan hikmah ilmu, dan bukan dengan kekosongan. Dengan demikian capaian puncak akal atau capaian tertinggi kecerdasan itu adalah kebijaksanaan. 

Abdullah Ibn Abbas (w 68 H), pakar tafsir Alquran, sepupu Rasulullah, pernah menyatakan bahwa puncak akal itu ada tiga, sebagaimana tersebut dalam karya Syekh Abu Laits as-Samarqandy (w 393 H), Tanbihul Ghafilin berikut ini:  

Abdullah ibn Abbas ditanya, "Wahai Ibn Abbas, apakah 'puncak akal' (Ra's al-'Aql) itu?" Ibn Abbas menjawab (tiga hal) yaitu pertama, ketika seseorang memaafkan orang yang menzaliminya (an ya'fuwa al-rajulu 'aman dzalamahu), kedua, ketika ia merendahkan hati pada orang yang di bawahnya (an yatawadla'a li man dunahu), dan ketiga, ketika ia menimbang pikir kemudian baru berkata (an yatadabbara tsumma yatakallama). 

Demikianlah, manusia yang mendayagunakan akalnya dengan proposional akan melahirkan akhlak yang mulia yaitu menjadi sosok pemaaf, rendah hati, dan bijaksana sebagaimana dinyatakan Ibn Abbas. 

Sehingga, agar manusia senantiasa bahagia jiwanya, ia hendaknya menyeimbangkan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, emosi, dan hasrat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, emosi yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia pada kesembronoan tindakan, dan hasrat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan. 

 

Keseimbangan potensi akal, emosi, dan hasrat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri, dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada proposionalitas akhlak dan sikap. Demikianlah pentingnya tasawuf sebagai jalan moderat yang membahagiakan.

 

*Dewan Pakar Aswaja Center PCNU Jombang, Jawa Timur 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler