Sekali Lagi, Ini Bukti Dalamnya Penetrasi Islam Jawa
Bukti nyata dalamnya Islam di Jawa masa kini
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Ketika membuka google dan membuka Youtube ada satu hal yang membuat tercengang. Hal itu adalah ketika ada arsip pemberitaan dari semua media mainstrem pada tahun 2013 yang menyatakan begini:
Sebanyak 540 sekolah swasta Katolik di wilayah Keuskupan Agung Semarang kekurangan murid. Sebagian sekolah terpaksa tutup dan sebagian lainnya beralih fungsi atau tetap bertahan sebagai sekolah dengan menambah berbagai fasilitas baru. Uskup Agung Semarang Mgr Johanes Pujasumarta Pr mengatakan hal itu di Gereja Ignatius Magelang, Jumat (12/4).
Uskup mencontohkan, dari 194 sekolah swasta Katolik yang didirikan oleh Yayasan Kanisius, sekitar 90 sekolah akhirnya terpaksa tutup karena terus tidak mendapat murid. ”Dari laporan yang kami terima, sekolah yang tidak mendapatkan murid akhirnya ada yang terpaksa beralih fungsi menjadi panti wreda,” ujarnya.
Pengalihan fungsi dari sekolah menjadi panti wreda ini terjadi pada sebuah sekolah di daerah Banyumanik, Kota Semarang. (Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "540 Sekolah Kurang Murid", Klik untuk baca: https://tekno.kompas.com/read/2013/04/13/03522262/540.sekolah.kurang.murid.)
*****
Membaca berita itu, jelas menjadi hal yang tak terbayangkan. Betapa tidak, lembaga pendidikan yang begitu perkasa semenjak masa kolonial, kini ditinggal murid. Dan ini jelas meningalkan jejak terjadinya perubahan besar dalam masyarakat di Jawa, dalam pemahaman keagamaan Islam.
Dan kenyataan ini mengingatkan analisia dari mendiang DR Nurcholish Madjid bahwa Jawa (Indonesia) terjadi 'santrinisasi'. Masyarakat Muslim makin terdidik. Ini juga buah dari hasil kemerdekaan dan buah kerja keras para ormas Islam yang selama ini berkhidmad terus pada sektor pendidikan semenjak pra kemerdekaan.
Seorang rekan semasa SMA yang kini menjadi pengawas pendidikan sekolah menengah di Jawa bagian selatan juga menceritakan situasi itu. Bagaimana sekolah banyak yang mati, sementara sekolah berbasis Islam diserbu murid. Salah satunya adalah sekolah Ma'arif yang dikelola Nahdlatul Ulama.
Keterangan foto: SMK Maarif 9 Kebumen. Sekolah di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Di sebuah kota kecil di kawasan pedalaman Jawa Tengah Selatan, yakni Kebumen, misalnya kini bertebaran sekolah dari lembaga Maarif. Untuk setingkat SMK misalnya, kini di sana ada tujuh sekolah. Siswa masing-masing sekolah itu mencapai ribuan.
Uniknya lagi pesantren tua, seperti Alkahfi di Somalangu (Sumber Adi,red nama sekarang) malah sudah mendirikan sekolah ini. Di tempat lain, di pesisir selatan yang dahulu terkenal sebagai daerah abangan, pun muncul sekolah serupa. Murid sekolah itu pun ribuan.
Kualitas sekolahnya pun mulai sangat lumayan. Rata-rata pengajarnya sudah mengenyam jenjang pendidikan strata-2. Gedungnya pun mentereng. Anggapan warga Nahdliyin 'tak becus' mengurus sekolah umum terbantahkan telak. Sekolah dari kalangan non Islam -- bahkan yang dikelola oleh Taman Siswa -- tak punya siswa alias mati atau mati suri.
Situasi ini jelas berbanding terbalik dengan masa lalu. Apalagi di zaman kolonial yang kala itu anak-anak Muslim hanya mengenyam pendidikan ala pesantren karena kaum santri melakukan politik 'uzlah' kepada pemerintahan kolonial. Kala itu lembaga pendidikan non Islam menyusur dan menyar ke perdesaan. Anak-anak Muslim pun banyak sekolah di sana.
Dan persis, di katakan Nurchlish Madjid, kemudian terjadi perubahan besar, paca kemerdekaan dan itu mulai terasa pada dekade 1970-an. Kala itu anak-anak Muslim mulai bersekolah tinggii, sebagian mulai lusus sarjana. Di kampung-kampung mulai muncul anak petani yang dari kalangan santri yang menjadi insinyur, dokter, atau lainnya.
Nurchlolis pun kala itu, menadaskan bila mulai awal 1980-an, dari kalangan santri mulai muncul doktor. Bahkan pada pertengahan 1980-an banjir ilmuwan santri, yang kemudian terekspresi ke permuakaan salah satunya membuat ICMI. Setelah itu banjir ilmuwan santri di Jawa (Indonesia) tak bisa tertahan lagi.
Yang paling menggembirakan dengan kehadiran berbagai sekolah yang berbasis Islam, perhatian kepada pendidikan kaum lemah menjadi makin terjangkau. Seorang kerabat yang mengelola sekolah tersebut mengsahkan bila sekolah tersebut ternyata mengurus sebagian besar anak yang selama ini tersingkir dari derap pembangunan.
''Kamilah yang mengurus pendidikan anak para petani, TKI, dan lain-lain. Mereka hidup bersama neneknya dikampung dan kemudian mereka sekolah di sini. Memang susah mendidik mereka, tapi ini harus dilakukan,'' ujarnya.
Alhasil, mereka pun sangat geram misalnya ketika tahu harga gabah anjlok akibat adanya kabar impor beras sebesar 1,5 juta ton di kala musim panen. Anjloknya harga beras sebesar 50 persen dari harga idealnya, jelas memukul kehidupan para petani dan buruh yang menyekolahkan anak di sekolahnya. Mereka khawatir para siwa tak bisa membayar uang sekolah yang sebenarnya sudah murah itu.
''Yang di atas enak saja ngomongnya. Yang di bawah ini yang pusing. Coba misalnya, mendikbud Nadiem suruh mengajar di sekolah saya ini. Biar dia merasakan bagaimana susahnya mengajar anak-anak dari kalangan tak berada itu. Jangankan fasilitas, semangat belajar pun seringkali atau lazim tak punya. Lalu bagaimana mengatasi dan memotivasinya. Ini jelas tak gampang dan seindah yang dipidatokan,'' tegas dia lagi.
****
Pengamat sosial-keagamaan Fachri Aly mengatakan, melihat fakta itu memang jelas terjadi perubahan dahsyat dalam masyrakat terkait dengan penghayatan terhadap ajaran Islam. Ini membenarkan tesis dari MC Ricklefs dan Nakamura yang mengatakan Islam di Jawa kian dalam dan tak ada waktu lagi untuk berbalik kebelakang.
''Jadi ini menguatkan apa yang dikatakan Ricklefs dan terutama Nakamura (penulis tesis Bulan Sabit Terbit di Balik Rindang Beringin) bahwa masa depan Indonesia adalah Islam. Islam yang mana? Jawabnya Islam yang sesuai dengan kemoderenan,'' ujar Fachry Ali.
Adanya kasus ini membuktikan juga bahwa antara Islam dan kemoderen terjadi persusaian. Jarak antara keduanya kian mengecil atau malah bisa dipersatukan. Kekhawatiran bahwa Islam di Indonesia akan bertentangan dengan dunia moderen terbantahkan.''Modernitas Islam dan Jawa kini terbukti tak bisa dipisahkan."
Keterangan foto: SMK Ma'arif Somalagu. SMK yang berdiri di tengah pesantren legendaris, Alkahfi Somalangu.
Alhasil, bagi yang memperhatikan perubahan sosial, tanda-tanda terjadinya perubahan sosial bahwa 'Jawa akan semakin Islam' terlihat sangat jelas. Salah satunya adalah pernyataan dari seorang agamawan di tahun 1970-an dengan melihat situasi Yogyakarta sebagai salah satu 'ibu kota' budaya Jawa.
Dia mencontohkan:"Sebelum kemerdekaan, tak terdengar adzan di Yogyakarya. Pada awal Merdeka, kemudian mulai terdengar meski lamat-lamat. Dan kini (semenjak masa Orde Baru), semakin keras. Dan sekarang sudah ada dan terdengar di mana-mana."
Nah, perubahan sosial itu juga terjadi pada sektor pendidikan: Pada masa pra kemerdekaan tak ada kaum santri yang mengenyam sekolah umum, setelah datang kemerdekaan mereka mulai sekolah, setelah Orde Baru (tahun 1970-an) mulai jadi sarjana, setelah tahun 1980-an menjadi doktor, setelah itu santri terdidik ada di mana-mana.
Lalu perubahan sosial Islam di Jawa yang mana yang masih kamu dustakan? Indikasinya jekas terlihat dalam kesemarakan pengajian, penggunaan jilbab yang masif hingga pelosok desa, dan kini ramainya sekolah-sekolah berbasis Islam.