Mengenal Tradisi Buka Puasa Ramadhan Suprah Masjidil Haram
Tradisi buka puasa Ramadhan suprah ada di Masjidil Haram.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah MUI Muhammad Cholil Nafis mengatakan meski sudah dua tahun ini dilarang karena covid, tetapi tradisi menggelar suprah saat buka puasa untuk memberi makanan jamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saat Ramadhan masih banyak dilakukan.
"Motivasi mereka adalah motivasi keagamaan sebagaimana hadist yang menyebutkan betapa besarnya pahala bagi orang yang memberikan makanan berbuka bagi mereka yang berpuasa,"ujar dia kepada Republika, Senin (5/4).
Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al Juhanny, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, ''Barangsiapa memberi buka (makan) orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.'' Hadis riwayat Tirmidzi.
Jika mereka memberikan makanan berbuka kepada 50 orang, maka dia akan mendapatkan pahala puasa dari 50 orang yang berbuka tersebut. Sebenarnya dengan menyelenggarakan suprah, bukan untuk menarik mereka, tetapi mencari. Setiap penderma atau orang yang bersedakah dengan makanan berbuka berbondong-bondong mencari orang yang dapat menerima makanan yang telah disajikan.
Selama pandemi ini, bukan berbukanya yang dilarang, tetapi berkerumunnya yang dibatasi. Mereka tetap diperbolehkan berbuka hanya saja dengan protokol kesehatan yang ketat. Apalagi saat ini pemerintah Saudi mengatur khusus menyediakan makanan berbuka dan masih melarang orang atau pribadi menggelar suprah.
Pembimbing jamaah haji dan umrah Ustaz Rafiq Jauhari menjelaskan sufrah adalah plastik tipis berbentuk lembaran yang digunakan untuk alas ketika makan.
Orang Arab terbiasa makan makanan apa saja dengan menggunakan alas sufrah. Baik kurma, nasi, roti atau camilan. Meski dihidangkan dalam piring, namun tetap di alas bawahnya selalu ada sufrah.
Ukuran sufrah beragam, lebarnya mulai dari satu meter hingga 1,5 meter dan panjangnya bisa sampai puluhan meter. Kebiasaan ini masih terus dibawa oleh orang Arab hingga ke luar negeri, di Indonesia restoran Arab pun menyediakan sufrah.
Sufrah di dalam masjid hanya untuk membagikan makanan ringan seperti roti, kurma dan yogurt. Sedangkan sufrah yang dibentangkan di luar masjid kebanyakan untuk sedekah makanan berat seperti nasi Arab dan berbagai jenis makanan lainnya.
Saking kompetitifnya umat Islam di Tanah Suci untuk berebut membagikan sedekah, sulit bagi jamaah lain yang hendak sedekah dan ikut membentangkan sufrah. Jamaah umum hanya dapat memanfaatkan wilayah di sisi luar masjid yang belum ditempati oleh Yayasan Sosial, atau bersedekah di jalanan tanpa membentangkan sufrah.
Fenomena rebutan makanan berbuka sangat terasa terutama saat Ramadhan di Madinah. Setiap jamaah memasuki halaman Masjid Nabawi, para petugas Yayasan Sosial akan berebut menggandeng tangan para jamaah ke barisan sufrah miliknya.
Suatu kebanggaan jika warga Arab mampu mrnjamu banyak tamu, saat mereka mampu menghabiskan semua makanan yang dibawanya. Penggunaan sufrah ini sangat praktis. Walaupun ratusan ribu hingga jutaan orang yang berbuka puasa di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Namun proses pembersihannya sangat cepat.
Bahkan dalam hitungan kurang dari lima menit semua sampah dan sisa makanan dapat dibereskan. Karena sufrah ini sekali pakai. Setelah selesai makan, semua sampah dan sisa makanan dimasukkan. Dalam sufrah, dilipat, digulung, lalu dimasukkan dalam tempat sampah.