Muslimah Jadi Target Islamofobia di Prancis

Prancis yang pertama melarang cadar.

onislam.net
Muslimah Prancis.
Rep: Rossi Handayani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Melansir laman, Thetacomaledger dari opini penulis, Bengisu Cicek menyatakan kekhawatirannya, perihal Senat Prancis mengeluarkan amandemen yang akan melarang jilbab untuk anak perempuan di bawah 18 tahun.

Baca Juga


"Senat Prancis mengeluarkan amandemen yang akan membuat jilbab ilegal untuk anak perempuan di bawah 18 tahun, apa artinya bagi perempuan muda yang ingin menjalankan iman mereka dan mengekspresikan otonomi mereka?" sebutnya dikutip Thetacomaledger pada Selasa (20/4).

Dia mengatakan, ini bukan pertama kalinya Prancis melakukan hal seperti ini. Cadar hanyalah satu dari banyak hal yang berkaitan dengan Islam yang menjadi kontroversi.

Cicek mengungkapkan, larangan Burkini merupakan contoh lain yang mendapatkan perhatian internasional. Ini memicu perdebatan dan kemarahan. Burkini adalah pakaian renang sederhana untuk wanita, dan beberapa kota di Prancis melarang burkini dan bahkan menahan wanita yang memakainya.

 

 

Prancis menjadi negara pertama yang melarang cadar pada 2011. Pada 2004, Majelis Nasional di Prancis memperdebatkan pelarangan simbol agama di sekolah. Ini adalah pelanggaran kebebasan terhadap orang yang ingin mengamalkan keyakinannya.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan bahwa dia akan menghapus ekstremisme Islam di Prancis. Pencetakan ulang kartun Charlie Hebdo pada 2020 memicu lebih banyak kontroversi karena penggambaran kartun Nabi Muhammad.

"Kartun itu tidak sopan karena dalam Islam kita tidak memiliki gambar nabi atau Allah (Tuhan) kita," kata dia.

"Kurangnya rasa hormat terhadap Islam jelas terlihat karena kecaman terhadap Muslim di seluruh dunia terus tidak ditanggapi dengan serius. Kartun-kartun ini menyakitkan, karena tidak ada gambar yang bisa menggambarkan seperti apa rupa nabi kita. Gambar dan patung diyakini terkait dengan penyembahan berhala, dan kami tidak percaya ini dalam Islam, kami hanya menyembah Allah," lanjutnya.

Dia mengatakan, larangan semacam ini, dan sentimen Islamofobia merupakan pelanggaran ekspresi agama. Larangan kerudung yang diusulkan untuk anak perempuan di bawah usia 18 tahun hanya melanjutkan tren ini.

"RUU ini belum diberlakukan karena Majelis Nasional masih harus memberikan suara, perempuan di seluruh dunia mengutarakan pendapat mereka tentang kerudung dan larangan ini," ucap Cicek.

 

 

Seorang Jurnalis, reporter TV, Tasnim Nazeer menulis sebuah artikel yang berjudul "As a Muslim teen my hijab was an expression of my spirituality, France's ban is Islamophobia in action". Ini mengenai mengapa dia memakai jilbab, dan menguraikan masalah dengan larangan tersebut.

"Wanita Muslim harus bisa membuat pilihan sendiri tentang apakah mereka ingin memakai hijab atau tidak. Saya pribadi memutuskan untuk memakai jilbab ketika saya berusia 19 tahun setelah semakin dekat secara spiritual dengan iman saya. Saya melihatnya sebagai suatu kehormatan dan simbol pengabdian saya kepada Tuhan," kata Nazeer.

Cicek mengungkapkan, rencana undang-undang yang menindas ini merupakan upaya untuk mengontrol perempuan dan anak perempuan. Mereka tidak adil dan harus ditantang. Sebagaimana wanita telah berjuang untuk dapat mengenakan pakaian terbuka, penerimaan yang sama harus diberikan kepada wanita yang ingin berjilbab.

"Kebencian dan intoleransi terhadap Muslim dan wanita berjilbab menjadi lebih jelas, dan ini mengkhawatirkan dan menjengkelkan. Itu benar-benar pilihan saya ketika saya pertama kali memutuskan untuk memakai jilbab ketika saya masih di bawah umur. Cinta dan perasaan ingin menyerahkan diri kepada Allah datang dari dalam diri saya. Perasaan yang indah. Saya merasa sangat aman, bebas dan dicintai oleh kerudung saya," papar Cicek.

 

 

"Saya masih merasa seperti ini dan saya bahkan merasa lebih bebas ketika saya menyembunyikan rambut saya, karena itu mengajarkan saya bahwa penampilan, rambut dan tubuh kita adalah semua aspek dari diri kita yang akan berubah seiring waktu dan akhirnya tidak ada lagi ketika kita lewat. Yang penting adalah karakter, kepribadian, perilaku saya, dan cara saya memperlakukan orang," lanjut dia.

Dia mengungkapkan, kemungkinan anak perempuan di bawah 18 tahun dilarang menutupi rambut, ini mengendalikan dan menindas tidak hanya wanita Muslim, tetapi juga hak-hak wanita secara keseluruhan. Larangan ini adalah upaya terselubung yang buruk untuk mencuri otonomi perempuan.

"Saya berharap suatu hari nanti para gadis dapat dengan bebas mengekspresikan diri dalam agamanya, memilih kapan dan di mana mereka ingin mengenakan cadar, dan hidup di bawah pemerintahan yang mendukung keputusan mereka. Ketika Anda memberi perempuan otonomi dalam pengambilan keputusan, terutama sebagai pemimpin dan pemerintahan, Anda memberikan ruang yang aman bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dan membuat pilihan untuk hidup mereka sendiri, memberi mereka kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan mereka di  dalam negara yang mereka anggap sebagai rumah," kata Cicek.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler