Masjid di Bordeaux Prancis Dicoreti Pesan Islamofobia
Tertulis pesan di pintu masuk masjid berbagai hinaan ofensif.
REPUBLIKA.CO.ID, BORDEAUX – Jamaah Muslim di kota Bordeaux, Prancis menemukan lokasi pembangunan masjid yang dirusak dengan coretan Islamofobia. Muslim Association of Talence mengumumkan serangan itu di akun Facebook resminya dan menyebut pesan-pesan itu rasis, penuh kebencian, dan Islamofobia.
“Melihat tulisan dan gambar di masjid ini sangat sulit untuk diatasi. Apalagi sebagai tempat bersama keluarga dan anak-anak. Itu tidak bisa diterima,” tulis Kepala Masjid, Mohamed Boultam. Menindak kejadian ini, dia akan membuat pengaduan resmi dan telah menghubungi polisi setelah serangan pada Rabu (23/4).
Tertulis pesan di pintu masuk berbagai hinaan ofensif. Boultam berusaha meyakinkan komunitas Muslim setempat dengan mendesak semua orang untuk tetap tenang. Dia menambahkan bahwa serangan itu sebagai tindakan provokasi untuk menyebarkan kekacauan di lingkungan dan kota.
Politikus Lokal, Emmanuel Sallaberry menanggapi serangan tersebut. “Situs Masjid Talence telah ditandai dengan pesan-pesan Islamofobia dan homofobik,” kata Sallaberry dalam unggahan Faceboknya.
“Saya mengutuk keras tindakan ini yang bertentangan dengan kebebasan fundamental dan nilai-nilai Prancis. Saya percaya polisi dan sistem peradilan menemukan dan mengutuk keras para pelakunya,” tambah dia.
Serangan Islamofobia terbaru menyusul awal bulan Ramadhan ini, yaitu dinding Masjid Avicenna dan Pusat Budaya Islam di Rennes, Prancis barat dirusak dengan grafiti xenofobia. Pesan-pesan itu berbunyi “Hidup Prancis” dan “pembunuhan imigrasi.” Menyusul laporan luas serangan itu, Menteri Dalam Negeri Sayap Kanan, Gerald Darmanin mengutuk tindakan tersebut dan mengklaim solidaritas dengan 5,4 juta Muslim di Prancis.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangan dan retorika anti-Muslim telah meningkat di Prancis, terutama disebarkan oleh para politisi. Darmanin dalam wawancara televisi dengan pemimpin ekstrim kanan negara itu, Marine Le Pen menuduhnya tidak cukup tangguh dalam menindak Islam.
Namun, Darmanin juga bertindak terutama atas perintah Presiden Prancis Emmanuel Macron yang semakin diperangi setelah penanganannya yang buruk terhadap pandemi Covid-19 dan pemilu yang akan datang tahun depan. Jumlah jajak pendapat Macron telah lesu selama berbulan-bulan. Lebih dari 60 persen orang Prancis tidak setuju dengan pekerjaan yang dia lakukan di negara itu.
Dilansir TRT World, Jumat (23/4), menyerang Muslim telah menjadi pilar utama dari strategi pemilihan ulang Macron saat ia berusaha untuk meningkatkan identitas sayap kanannya. RUU Separatisme yang saat ini tengah disahkan oleh badan legislatif Prancis akan berusaha membuat kehidupan Muslim jauh lebih sulit dan menambah orang-orang fanatik anti-Muslim.
Bagian dari RUU tersebut adalah Muslimah di bawah usia 18 tahun dilarang mengenakan jilbab. Muslimah yang mengenakan jilbab akan dilarang menghadiri perjalanan sekolah bersama anak-anak mereka dan bendera Aljazair dapat dilarang di gedung-gedung resmi pemerintah.
Baru-baru ini, pemerintah Prancis menyangkal keberadaan Islamofobia sementara meminta kepemimpinan komunitas Muslim untuk menandatangani dokumen kontroversial yang disebut “Piagam Imam.”
Dokumen tersebut, menguraikan serangkaian prinsip yang akan mendefinisikan Islam di Prancis. Mereka yang tidak menandatangani piagam, yang antara lain melarang para imam berbicara tentang rasisme yang dipimpin negara akan dianggap ekstremis.