Sejarah Kopi Robusta Lampung
Sejarah Kopi Robusta Lampung
Perjalanan sekitar dua jam menaiki feri tidak terasa. Usai menyeberangi Selat Sunda, kami akhirnya melihat Pelabuhan Bakauheni. Angin siang itu cukup kencang namun ombaknya lumayan tenang. Di atas perahu besi, saya melihat barisan kapal merambat di kejauhan. Mereka terlihat mungil. Mungkin karena cekungan sempadan laut yang lebar dan perbukitan di belakangnya lebih menyita porsi pandangan dari jarak lima kilometeran ini.
Pelabuhan Bakauheni adalah salah satu bandar utama di Lampung. Letaknya di ujung selatan provinsi ini. Ia sering disebut sebagai gerbang masuk Pulau Sumatra. Kunjungan kami ke kawasan ini bukan tanpa tujuan. Lampung adalah salah satu penghasil kopi terbesar kedua di Indonesia. Nyaris seluruhnya robusta. Mengusung misi Ekspedisi Republikopi, kami pun mendatangi daerah ini untuk menelusuri perkembangan emas hitam yang menjadi komoditas penting sejak zaman kolonial ini.
Bumi Ruwa Jurai lama harum sebagai penyumbang kopi terbanyak kedua di nusantara. Ia berada di bawah Sumatra Selatan. Pada 2019, sebanyak 110.597 ton kopi disumbang dari sini.
Menurut beberapa sumber, budidaya kopi di Lampung dimulai sejak 1841. Saat itu kawasan ini masih keresidenan. Ia bagian dari provinsi Sumatra Selatan. Pemerintahannya berada di bawah kendali Hindia Belanda.
Penanaman kopi di Lampung disebut berawal dari upaya Belanda meneliti potensi perkebunannya. Sama halnya di Jawa, kopi pertama ditanam di sini awalnya arabika. Waktu itu produksinya belum melimpah. Lada hitam masih paling subur di wilayah ini. Belanda diduga masih fokus pada perkebunan kopinya di Priangan (Jawa Barat) yang sempat menjadi primadona dan mendunia.
Sampai suatu masa, penyakit karat daun mulai mewabah sekitar 1876. Produksi masif kopi Nusantara terseok-seok hingga berujung anjlok. Penguasa Belanda sempat mencoba menggantikannya dengan kopi liberika (Coffea liberica) tetapi gagal akibat penyakit sama.
Bibit Coffea canephora kemudian didatangkan dari Belgian Kongo (sekarang Republik Demokratik Kongo) pada 1901. Ia dipilih karena lebih tahan penyakit. Spesies yang populer dengan nama Robusta ini juga tumbuh lebih cepat, mudah ditanam dan dirawat. Ia dapat hidup 400-900 meter di atas permukaan laut dengan iklim lebih panas. Indonesia sebagai negara tropis dengan banyak dataran rendah, cocok dengan kopi ini. Robusta dalam waktu singkat mekar menyebar di nusantara. Termasuk Lampung dan daerah lain di Sumatra.
Budidaya kopi Lampung mulanya tidak terlalu mulus. Salah satu kendala, lowongnya sumber daya manusia. Belanda kemudian menerapkan kebijakan kolonisasi (perpindahan penduduk) tahap pertama ke kawasan ini pada 1905. Mereka yang didatangkan mayoritas warga Pulau Jawa.
Pengaruh transmigrasi tersebut, juga kemudian tahap berikutnya, cukup besar dalam mendorong pertumbuhan kebuh rakyat di Lampung. Padi, lada, karet, dan kopi menjadi bibit perkebunan pilihan saat itu. Kopi di Lampung memang tumbuhnya perlahan. Namun terus meningkat pesat hingga era Indonesia merdeka. Ia kemudian sukses menjadi salah satu produk ekspor andalan.
Sama halnya dengan komoditas lain, pasang surut terjadi dalam perjalanan industri kopi Lampung. Di antaranya saat harga biji kopi di pasar ekspor anjlok pada 1981. Harga merosot karena adanya kelebihan persediaan kopi dunia. Kondisi itu membuat ratusan ribu stok biji kopi menumpuk di gudang para eksportir. Menghindari kerugian besar, mereka menempuh langkah alternatif. Salah satunya mengolah beras robusta menjadi bubuk dan menjualnya pada konsumen lokal.
Gerakan ini menjadi momentum penting lain bagi kopi Lampung. Yakni, tumbuh maraknya industri kopi bubuk. Terutama sektor usaha skala kecil atau rumahan. Salah satu merek sukses pada masa ini adalah Kopi Sinar Baru Cap Bola Dunia. Awalnya ia bernama Njit Sin Hoo atau Rajawali. Merek ini menjadi salah satu yang cukup identik dengan Lampung. Menandakan pertumbuhan pesat industri kopi bubuk di Lampung pada rentang tahun 1981 hingga 2000-an.
Jenama lain terbit pada era ini di antaranya cap Anak Jempol, Sinar Dunia, JP, JS, JemPol, Siger, JA, Kompas Dunia, Intan Dunia, dan Tiga Dunia. Kopi bubuk kemasan Lampung hingga sekarang masih banyak dijual di dalam, luar provinsi, hingga luar negeri. Ia oleh-oleh khas daerah ini.
Lampung saat ini memiliki perkebunan kopi rakyat dengan luas lahan total 156.862 hektare. Mayoritas robusta. Provinsi ini konsisten menyumbang 14-15 persen dari total produksi kopi Indonesia hingga 2019. Sumbangsihnya untuk ekspor juga besar.
*Diolah dari berbagai sumber