DPR Ingatkan Kebijakan Kemendikbudristek yang Belum Selesai

DPR berharap Kemendikbudristek mengajak pihak lain dalam menyusun kebijakan

Istimewa
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengingatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) agar kebocoran informasi terkait kebijakan yang belum selesai tak lagi terulang. (ilustrasi)
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengingatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) agar kebocoran informasi terkait kebijakan yang belum selesai tak lagi terulang. Pasalnya, hal tersebut justru akan menimbulkan kontroversi di publik.

"Jangan kebijakan yang belum selesai, tapi sudah bisa diakses oleh publik dan lalu melahirkan kontroversi di ruang publik dan ini semakin membuat suasana tidak produktif," ujar Huda dalam sebuah diskusi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/5).

Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di mana dalam PP tersebut, masih ada sejumlah poin yang perlu direvisi. "Kita bisa bayangkan PP 57/2021 mengidap enam masalah krusial, yang hari ini belum kita belum tahu sampai sejauh mana revisinya itu," ujar Huda.

Ia berharap, Nadiem Makarim sebagai orang yang memimpin Kemendikbudristek tak lagi mengulangi kesalahan serupa. Di samping itu, Huda juga berharap Kemendikbudristek juga mengajak pihak lain dalam menyusun program atau kebijakan di sektor pendidikan.

"Kita berharap dalam masa revisi ini enam isu krusial itu bisa dituntaskan. Dalam posisi terakhir, supaya tidak terjadi (lagi), saya kira ini yang kita akan hadapi, jadi tantangan terakhir adanya kegaduhan yang tidak perlu," ujar Huda.

Sebelumnya, Kemendikbudristek menegaskan bahwa Pancasila dan Bahasa Indonesia memang selalu dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum. Hal ini berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP SNP).

Nadiem menyatakan, PP SNP ini disusun dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Substansi kurikulum wajib tertulis persis dengan UU tersebut.

Namun, lanjut Nadiem, pengaturan kurikulum wajib pendidikan tinggi telah diatur kembali dalam UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan mungkin perlu dipertegas. Ia pun mengapresiasi masukan dari masyarakat.

"Kami senang dan mengapresiasi masukan dari masyarakat. Kami kembali menegaskan bahwa Pancasila dan Bahasa Indonesia memang selalu dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum, sehingga untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman lebih jauh, kami akan mengajukan revisi PP SNP terkait substansi kurikulum wajib," kata Nadiem, dalam keterangannya, Jumat (16/4).

Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler