Jangan Perlakukan Dana Zakat Layaknya Daun Salam

Jangan hanya mau duitnya zakatnya saja, sementara kepentingan umat Islam dinafikan.

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas Amil Zakat menerima pembayaran zakat fitrah dari warga wajib zakat (muzaki) di depan Masjid Pimpinan Pusat (PP) Persis, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Senin (10/5). Pusat Zakat Umat Lembaga Zakat Persis membuka layanan pembayaran zakat fitrah menggunakan sistem drive thru atau layanan tanpa turun selama pandemi Covid-19 dengan memberlakukan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19. Foto: Republika/Abdan Syakura
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah


Setiap jelang habis Ramadhan, diantara percakapan yang populer selain mudik lebaran adalah zakat.  Hal ini karena memang ada zakat fitrah yang harus dibayarkan oleh seluruh kaum muslimin, baik kaya atau miskin, untuk menyempurnakan puasanya. Disamping juga ada zakat harta (maal) yang biasanya juga dibayarkan pada bulan Ramadhan, untuk kemudahan penghitungan haul dan meraih pahala lebih.

Maka sangat wajar dan beralasan jika pada bulan Ramadhan ajakan berzakat gencar dilakukan oleh Organisasi Pengelola Zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh Pemerintah, maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh swasta (UU Nomor 23/2011). Semuanya berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat) dalam menghimpun dana zakat, infak dan sedekah dari umat Islam, khususnya para wajib zakat (muzaki). 

Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Seiring dengan perkembangan ekonomi nasional, berkembang pula metode penghitungan potensi zakat nasional. Begitu juga kampanye ajakan berzakat dan teknis penghimpunannya tidak hanya menggunakan cara-cara konvensional yang selama telah berjalan. Tetapi, juga menggunakan digital fundraising dengan memanfaatkan teknologi informasi dan smartphone.  Sehingga memberikan kemudahan bagi para wajib zakat untuk menunaikan kewajiban berzakat.

Terdapat beberapa studi yang membahas mengenai perhitungan potensi zakat di Indonesia; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005) memaparkan hasil studi bahwa potensi zakat mencapai 19,3 triliun rupiah.

PIRAC, dengan survei 10 kota besar, menyimpulkan bahwa potensi rata-rata muzaki dalam membayar zakat mencapai Rp. 684.550,00 pada tahun 2007, dan meningkat dari tahun 2004, yaitu Rp. 416.000,00. PEBS FE Universitas Indonesia memproyeksikan rata-rata potensi penghimpunan dana zakat tahun 2009 mampu mencapai Rp12,7 triliun.  

Penelitian Firdaus, et. al. (2012) menyimpulkan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai 217 triliun rupiah. Dalam penelitiannya, Firdaus, et. al. (2012) membaginya dalam tiga kelompok, yaitu potensi rumah tangga, industri menengah, besar dan BUMN, dan zakat tabungan.

Masing-masing potensi zakat yang dimiliki, yakni; rumah tangga mencapai 82,7 triliun rupiah setara dengan 1,3 pesen PDB, potensi zakat industri diproyeksikan 114,89 triliun rupiah dan BUMN 2,4 triliun rupiah, sedangkan potensi zakat tabungan mencapai 17 triliun rupiah.

Rata-rata sekitar 39% dari total penduduk Indonesia, wajib membayar zakat maal. Jika pendapatan perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2015 sejumlah Rp 31,360.300,- maka potensi perolehan zakat seharusnya mencapai Rp 82.609.152.671.724 .

Perolehan zakat pada tahun 2015 perolehan zakat mencapai Rp 74.225.748.204,- atau kurang dari 1 % dari potensi zakat yang ada. (Canggih et al., 2017).

Sedangkan potensi zakat di Indonesia menurut BAZNAS/Kemenag (2019) mencapai Rp200 trilyun. Namun, jumlah yang berhasil dihimpun oleh Organisasi Pengelola Zakat, baik BAZ maupun LAZ hanya baru mencapai Rp 2 trilyun atau 10 persen saja. Tentu ini sangat disayangkan, padahal dari sisi regulasi, sumber daya amil dan teknologi informasi relatif jauh lebih memadai.

 

Berdasarkan data-data tersebut, terjadi ketimpangan yang begitu menganga antara potensi zakat dan realisasi penghimpunannya yang berhasil dihimpun oleh Organisasi Pengelola Zakat. Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan hampir 87.5% penduduk Muslim.

Ketimpangan antara potensi dan realisasi zakat berkisar pada 0.06% pada tahun 2011, 0.068% pada tahun 2012, 0.075% pada tahun 2013, 0.089% pada tahun 2014, dan 0,09% pada tahun 2015 (Setiawan, 2018). 

Karena potensi yang besar itu dan masih adanya ketimpangan dalam jumlah zakat yang terhimpuan, maka Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Cinta Zakat di Istana Negara. Gerakan tersebut dinilai dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan zakat, infak, dan sedekah. Selain itu penyaluran zakat juga dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi kemiskinan.

"Gerakan Cinta Zakat" ini sejalan dengan program pemerintah yang memiliki kerja yang sangat besar untuk mengentaskan kemiskinan, menangani musibah dan bencana, serta menuntaskan program-program SDGs," ujar Jokowi dalam sambutannya, (Kontan, 15/4).

"Saya harapkan dana zakat yang dihimpun oleh BAZNAS ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk membantu saudara-saudara kita yang mengalami kesulitan-kesulitan akibat pandemi Covid-19, dan juga untuk membantu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh di negara kita," ungkapnya.

Harapan Presiden Joko Widodo patut untuk disambut secara positif oleh para stakeholder zakat. Faktanya, wabah pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Bahkan jika tidak hati-hati bukan tidak mungkin akan terjadi tsunami Covid-19 gelombang kedua seperti di India. Naudzubillahi mindzalik, sesuatu yang sangat tidak diharapkan terjadi, dan perlu kedisiplinan kita semua dalam menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan rajin mencuci tangan. 

Begitu banyak masyarakat, khususnya umat Islam, yang terdampak ekonominya akibat wabah pandemi ini. Dana zakat, infak dan sedekah dapat didayagunakan secara optimal untuk menanggulangi dampak pandemi.

Sehingga akan membantu meringankan sesama. Namun tentu saja harus tetap sesuai dengan ketentuan syariat penerima zakat, yakni delapan golongan penerima zakat (mustahik), sebagaimana dijelaskan dalam surat at Taubah ayat 60.

Namun jumlah umat Islam yang besar jangan hanya dimanfaatkan dana umatnya saja. Ibarat daun salam yang digunakan untuk masakan opor ayam untuk dinikmati bersama ketupat lebaran saat perayaan Idul Fitri. Giliran mau menikmati opor ayam ketupat lebaran, daun salam  dibuang duluan, karena dianggap mengganggu kenikmatan. 

Karena itu, potensi dana umat yang besar, baik zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah dan dana sosial lainnya harus diimbangi pula dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, serta keberpihakan yang tinggi terhadap seluruh umat Islam. Sehingga akan melahirkan kepercayaan yang tinggi dari umat Islam. 

Hal ini penting agar tak ada lagi nyinyiran ; “giliran butuh dana umat didekati, tapi setelah dananya dapat dicampakan”. Riset Pew Research Centre pada tahun 2012 menyebutkan, sebanyak 98 persen responden penduduk Muslim Indonesia mengaku menunaikan zakat. Namun, realisasi penghimpunan masih di bawah lima persen, karena mayoritas membayar langsung ke penerima zakat.

Memang tak mudah mewujudkan kepercayaan umat, namun kita harus optimis bahwa seiring dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia, kemajuan teknologi informasi dan kesadaran berderma yang terus meningkat, insha Allah potensi dana umat, khususnya zakat dapat digali secara maksimal. Wallahualam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler