Meski Dilarang, Sebanyak 1,5 Juta Orang Telah Mudik ke Jawa
1,5 Juta Orang Telah Tinggalkan Ibu Kota Menuju Kampung Halaman
Anadolu Agency
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Muhammad Subarkah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Meski pemerintah telah mengumumkan larangan mudik, untuk menghalau lonjakan infeksi Covid-19, namun kepolisian Jakarta melaporkan setidaknya 1,5 juta orang telah meninggalkan ibu kota menuju kampung halaman, kebanyakan di wilayah Jawa.
Jumlah ini tentu cukup kontras dengan jumlah pemudik sebelum masa pandemi yang mencapai 8 juta orang. Kementerian perhubungan mengatakan, hampir 138.000 kendaraan telah keluar dari Jakarta setiap hari sejak dimulainya larangan mudik.
Mereka yang tinggal di ibu kota pada Selasa diguncang ketika pemerintah daerah di Jakarta dan kota-kota satelitnya membuat pengumuman menit-menit terakhir bersama yang melarang orang bepergian di dalam daerah perkotaan selama liburan Idul Fitri mulai Rabu.
Selain melarang berpergiaan ke luar kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga memerintahkan pusat perbelanjaan, restoran, tempat umum, tempat hiburan, bahkan kuburan, untuk ditutup hingga Ahad (16/5), untuk mencegah pertemuan publik selama liburan.
Di sisi lain, kepolisian telah mendirikan pos pemeriksaan untuk memantau arus masuk dan keluar dari Jakarta ke daerah pinggiran kota, yang secara administratif berada di bawah provinsi tetangga Jawa Barat dan Banten.
Langkah tersebut membuat warga Jakarta dihadapkan pada kemungkinan tidak dapat merayakan Idul Fitri dengan anggota keluarga yang seringkali hanya berjarak 30 hingga 60 menit berkendara.
"Pemerintah menyadari larangan perjalanan Idul Fitri tidak sempurna dalam pelaksanaannya, tapi kami tetap menjalankan kebijakan sesuai dengan regulasi," kata juru bicara satuan tugas COVID-19 Wiku Adisasmito dalam jumpa pers, yang dikutip di Arab News, Kamis (13/5).
Sementara itu, ada laporan dari beberapa pelancong yang berusaha keras keluar dari ibu kota untuk bertemu kerabat di kampung halaman.
Pada hari pertama pembatasan perjalanan, polisi menemukan sekelompok orang bersembunyi di bawah sayur mayur di dalam truk saat melakukan pemeriksaan di jalan tol Cikampek, akses yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota di seluruh Jawa.
Pemudik lain mengambil rute yang jarang dilalui, yang dikenal sebagai jalan tikus, untuk mencapai tujuan mereka meskipun perjalanan memakan waktu lebih lama.
Aang Surmana, yang bekerja sebagai pemulung sampah di Jakarta Selatan, mengatakan kepada Arab News bahwa ia berhasil mencapai kampung halamannya di Tegal, Jawa Tengah, pada Rabu sore, setelah melakukan perjalanan dengan sepeda motor bersama putranya selama delapan jam, tidak seperti biasanya yang hanya menghabiskan waktu tempuh enam jam.
"Saya menghindari pos pemeriksaan dengan mengambil jalan memutar di jalan desa, dan saya mencoba berbaur seperti penduduk setempat dengan bepergian ringan, hanya dengan tas kecil, jadi kami tidak terlihat seperti melakukan perjalanan jauh dengan tas besar," katanya.
Pada hari ketiga pelarangan, polisi mengatakan setidaknya 70.000 kendaraan telah dikembalikan dari 318 pos pemeriksaan di seluruh pulau Sumatera, Jawa, dan Bali.
Jawa, pulau terpadat di Indonesia di mana sekitar setengah dari 270 juta penduduknya tinggal, telah berkontribusi sekitar 60 hingga 70 persen terhadap beban kasus COVID-19 nasional, dengan pihak berwenang mengatakan orang-orang yang bepergian ke luar pulau ke daerah yang kurang terinfeksi dapat menyebabkan lonjakan infeksi lokal.
Adisasmito berkata, “COVID-19 bukan hanya masalah Jawa. Mungkin ada lonjakan kasus di daerah-daerah di luar Jawa, bahkan di daerah yang tidak terlalu padat dan berpenduduk. Jika tidak kami antisipasi, Anda bisa membawa COVID-19 ke kampung halaman meski sebelumnya tidak ada kasus di sana."
Pada hari Rabu, Indonesia melaporkan 4.608 infeksi baru, mencatat rata-rata 5.000 kasus setiap hari dalam beberapa minggu terakhir. Pada Senin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa tiga varian baru COVID-19 dari Inggris, Afrika Selatan, dan India telah terdeteksi di tanah air.
Nadia Yovani, seorang sosiolog di Universitas Indonesia, mengatakan kepada Arab News bahwa alasan tindakan pencegahan COVID-19 dengan menghindari pertemuan massal bertentangan dengan norma yang dianggap orang Indonesia sebagai perayaan bersama anggota keluarga besar mereka selama liburan Idul Fitri.
“Meski repot dalam perjalanan, namun untuk merayakan Idul Fitri, tetap ada orang yang bepergian, pandemi atau tidak. Itu bagian dari perjuangan mereka memenuhi kebutuhan spiritual mereka untuk menutup Ramadhan dengan merayakannya bersama keluarga,” katanya.
"Di masa pandemi, otoritas dan pemimpin spiritual harus memperkenalkan cara pandang baru tentang bagaimana merayakan Idul Fitri dengan format yang berbeda dari biasanya," tambahnya.
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler