Bukti Zionis Israel Lebih Rasis dari Nazi dan Reaksi Erdogan
Zionis Israel memberlakukan kebijakan apartheid dan rasis
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Apa sebutan yang pantas bagi rezim Zionis- Israel yang kembali membuat kebijakan menindas dan diskriminatif melalui Undang-Undang (UU) Negara Bangsa Orang Yahudi?
Banyak yang menyebutnya sebagai neoapartheid. Dan, bagi Recep Tayyip Erdogan, pemberlakuan UU tersebut, kian menegaskan wajah Zionis Israel sebagai rezim paling rasis dan paling fasis di muka bumi.
"Ini menunjukkan dengan jelas, tanpa keraguan, bahwa Israel adalah negara paling zionis, fasis, dan rasis… Tidak ada bedanya antara obsesi Hitler tentang ras Arya dengan pemahaman Israel bahwa tanah kuno ini hanya untuk orang-orang Yahudi. Spirit Hitler yang telah membawa umat manusia ke dalam bencana besar, telah menemukan kebangkitannya di antara sebagian pemim pin Israel," kecam Presiden Erdogan, dalam rapat dengan anggota parlemen Turki, di Ankara, Selasa, 24 Juli 2018 lalu, seperti dikutip Aljazeera.
UU yang disahkan parlemen Israel (Knesset) pada Kamis, 19 Juli lalu, memang kian menegaskan supremasi dan hak-hak eksklusif berdasarkan orang Yahudi. Mulai dari klaim wilayah itu sebagai tanah air historis orang Yahudi, hingga menegaskan penggunaan kalender dan bahasa Ibrani, Sebaliknya, minoritas Arab yang jumlahnya 1,8 juta orang, resmi menjadi warga negara kelas dua, bahkan bahasa Arab yang mereka gunakan pun mulai dilarang.
Erdogan, menyeru dunia Muslim, komunitas Kristen, semua negara di dunia, organisasi-organisasi, LSM-LSM, para jurnalis, dan advokat di seluruh dunia, untuk melakukan langkah melawan Israel. Karena, kata dia, UU Negara Bangsa Orang Yahudi tersebut telah melegitimasi tindakan melanggar hukum dan penindasan terhadap minoritas Arab di Israel. "UU itu akan membawa Timur Tengah dan seluruh dunia ke dalam darah, api, dan rasa sakit," kata Erdogan.
Ini bukanlah kali pertama Erdogan menyebut rezim Israel sebagai titisan Nazi. Pada 2014 lalu, saat Israel membombardir Gaza, Erdogan juga menyampaikan pernyataan yang sama. "Mereka (Israel) mengutuk Hitler siang dan malam, tapi kebiadaban mereka sekarang ini bahkan telah melam paui aksi barbar Hitler…. Genosida yang dilakukan Israel sama saja dengan holocaust yang dilakukan Hitler. Mereka (Israel) sama tidak bermoralnya dengan Hitler."
Kecaman Erdogan, terutama yang mengaitkan kekejaman Israel dengan Hitler, membuat panas kuping Netanyahu, yang segera menelepon Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, John Kerry.
Grup lobi Yahudi di Kongres Amerika Serikat, juga mendesak Erdogan mengembalikan award yang diberikannya kepada Erdogan atas upayanya dalam perdamaian Timur Tengah. Apa kata Erdogan? "Ambil kembali piala itu dan pukulkan saja di kepalamu."
Sasaran diskriminasi
Orang Arab yang kini menjadi penduduk Israel, adalah orang-orang yang memilih tetap tinggal di rumahnya dan tidak mengungsi, saat wilayah itu dicaplok Zionis, berbilang dekade silam. Kebanyakan adalah penganut Islam (70 persen), selebihnya adalah penganut Kristen dari berbagai denominasi, dan Druze.
Sebagian besar orang Arab di wilayah pendudukan Israel tersebut, memiliki hubungan keluarga dengan orang-orang Arab Palestina lainnya di Tepi Barat, Jalur Gaza, maupun di lokasi-lokasi pengungsian di Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Orang Arab di Israel ini, menurut laporan New York Times, lebih memilih mengindentifikasi diri mereka sebagai penduduk Palestina di Israel, ketimbang sebagai orang Arab-Israel seperti yang disematkan pemerintah Israel.
Kendati tinggal di dalam wilayah Israel, dan tidak menjadi target peluru sebagai mana saudara-saudaranya di Jalur Gaza dan Tepi Barat, mereka tetap mengalami banyak diskriminasi. Hasilnya, kota-kota yang di tinggali orang-orang Arab, masuk dalam daftar kota-kota termiskin di Israel.
Dari sepuluh kota termiskin di Israel, delapan di antaranya dihuni mayoritas Arab. Anakanak mereka pun bersekolah di sekolah yang terpisah dari anak-anak Yahudi. Jalan-jalan di Israel pun eksklusif: ada jalan untuk orang Yahudi, ada jalan untuk orang Arab.
Karena jumlah mereka cukup besar, mencapai 20 persen dari total populasi Israel, maka orang-orang Arab tersebut dengan sendirinya memiliki kekuatan politik, dan akhirnya bisa turut duduk di Parlemen Israel (Knesset), melalui partai-partai Arab di Israel.
Tapi, karena sejak lama orang Arab di Israel mendapat perlakuan diskriminatif, partai-partai Arab tersebut tak pernah mau bergabung dalam koalisi peme rin tah an Israel. Mereka selalu menjadi oposisi.
Dan, kini, setelah disahkannya UU Negara Bangsa Orang Yahudi, hak-hak orang Arab yang jumlahnya seperlima dari populasi Israel itu, dengan sendirinya dicerabut. Karena, alih-alih mengakui hak orang Arab yang telah lama tinggal di sana, UU itu menyatakan Israel adalah milik eksklusif Yahudi.
Politik apartheid
Tapi, apakah baru kali ini Zionis Israel menerapkan politik apartheid? Dan, seberapa nyata politik apartheid itu diterapkan? Mari kita dengarkan kesaksian dari pelaku dan korban apartheid Afrika Selatan.
Bahwa Zionis Israel sejatinya adalah sebuah rezim apartheid, justru telah lama disampaikan arsitek apartheid Afrika Selatan, Hendrik Verwoerd. Kala itu, pada 1961, Verwoed yang menjabat perdana menteri Afrika Selatan, mengecam Israel di PBB. Pasalnya, di sidang PBB, Israel memberikan suara menentang politik apartheid.
"Israel tidak konsisten dengan sikap nya… Mereka mengambil Israel (Palestina, Red) dari orang Arab setelah orang Arab hidup di sana ribuan tahun. Dalam soal itu, saya setuju dengan mereka. Israel, seperti halnya Afrika Selatan, adalah sebuah negara apartheid." katanya seperti dikutip artikel bertajuk Israel and the Apartheid Analogy di laman Wikipedia.
Sejak pernyataan Verwoed itulah, banyak sumber yang kemudian menggu nakan analogi partheid dalam penelitian mereka tentang konflik Israel Palestina. Dan, tembok pemisah yang dibangun Israel, dianggap merupakan gambaran paling lengkap dari politik apartheid Israel.
Total panjang tembok pemisah yang dibangun Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah 760 kilometer: 700 kilometer di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan 60 kilometer di Jalur Gaza. Ditambah 10 kilo meter tembok yang dibangun Mesir dan Amerika Serikat di Rafah, untuk memblok Gaza dari Mesir, maka total panjang tembok itu adalah 770 kilometer.
Tembok Berlin yang pernah memisah kan Jerman Barat dan Jerman Timur, sangat jauh dibanding "apartheid wall" yang di bangun Israel. Sebab, total panjang Tembok Berlin hanya 155 kilometer, sedangkan Israel membangun tembok yang panjangnya lima kali lipat.