Hati-hati Kebablasan Eksplorasi Digital Cyberloafing Vs Gamifikasi Bagi Bank Syariah

Hati-hati Kebablasan Eksplorasi Digital Cyberloafing Vs Gamifikasi Bagi Bank Syariah

Hati-hati Kebablasan Eksplorasi Digital Cyberloafing Vs Gamifikasi Bagi Bank Syariah
Rep: Arief Dwi Saputra Red: Retizen
Aksi.id" />
Sumber gambar: Aksi.id

Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama lebih dari 1 tahun ini telah menciptakan kebiasaan baru. Istilah-istilah lockdown, work from home, study from home, video conference, PSBB dan webinar menjadi istilah yang familiar di berbagai kalangan. Tak ayal banyak orang yang mengalami gegar teknologi. Dengan sadar ataupun tidak, dipaksa untuk mengunduh dan menggunakan berbagai macam aplikasi. Seperti halnya untuk dapat melakukan rapat secara online, misalnya dengan membiasakan diri dengan aplikasi Zoom, Google Meet, Google Hangouts, Skype atau aplikasi lainnya.


Karenanya, aktivitas dan produktivitas cenderung mengalami penurunan dengan rata- rata 25,83% dan paling besar terjadi di tempat kerja yang mencapai 36,5%. Selain itu, terjadinya penurunan tersebut berkaitan dengan penggunaan internet pada pemuda di masa pandemi di tempat kerja. Hal ini juga harus dicermati secara hati-hati, karena penggunaan internet ini telah mencapai angka 19,3% dengan rata-rata eksplorasi digitalisasi 11,6 jam perharinya.

Tidak dapat dipungkiri, ada fenomena sosial yang kebablasan dari eksplorasi digital yang semakin meningkat pasca pandemi. Hal ini dikarenakan melek digitalisasi terhadap pemuda kurang dimaknai pada pemahaman dan penerapan ke arah yang positif. Bergesernya hubungan dan komunikasi interpersonal, kelompok, organisasi, bahkan publik pun tidak dapat terhindar dari realitas sosial di dunia nyata menjadi di dunia maya.

Budaya yang berhubungan antara manusia, gawai, internet dan kepribadian yang dilakukan di dunia maya mengakibatkan perubahan yang sangat signifikan. Istilah baru muncul dan memaksa untuk masuk ke dalam cyberculture atau budaya siber. Sebutan “manusia siber” menjadi julukan pada dunia yang terbentuk dari eksplorasi digital antara manusia dan internet serta teknologi informasi.

Lebih dari itu, dari cyberculture ini memunculkan perilaku pengguna internet yang digunakan hanya untuk kepentingan personal, yakni cyberloafing. Perilaku cyberloafing sendiri memiliki dampak baik dan dampak buruk, terutama bagi karyawan yang notabenenya adalah pemuda. Beberapa keuntungan dari perilaku cyberloafing seperti menghilangkan kebosanan, stres, atau kelelahan, meningkatnya kepuasan kerja, well-being, kebahagiaan pegawai, serta salah satu cara pegawai berekreasi.

Akan tetapi, perilaku cyberloafing yang candu dan tidak diarahkan dengan baik juga dapat menjadi perusak bila membuat seorang karyawan terhambat pekerjaannya. Mulai dari pekerjaan yang tertunda bahkan tidak selesai dan berkurangnya produktivitas karyawan. Lebih dari itu, bahkan kerugian dapat diperoleh dikarenakan akses internet tetap dipakai namun tidak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan dan dapat mengurangi kemampuan kognitif karyawan yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan tugasnya.

Munculnya Covid-19 dengan membawa budaya cyberloafing ini juga akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan bank, termasuk di dunia perbankan syariah. Budaya cyberloafing akan berpengaruh kepada pegawai bank Syariah sebagai pelaksana yang menjalankan eksplorasi digital dalam penerapan praktik perbankan syariah. Aktivitas tersebut mulai dari QRIS dan layanan islami seperti ZISWAF, haji dan umroh, dan lain sebagainya yang mengharuskan pegawai menggunakan digital. Hal ini lah yang perlu diantisipasi karena kinerja pegawai merupakan salah satu arus utama dalam dunia perbankan syariah.

Ada tiga faktor yang disebutkan oleh Doorn terhadap penelitiannya pada tahun 2011, dalam mempengaruhi cyberloafing yaitu organisasi, pekerjaan, dan kepribadian menjadi alasan terkuat. Hal ini menjelaskan bahwa faktor personal menjadi prediktor yang mampu menentukan munculnya perilaku cyberloafing. Di sisi lain, organisasi juga dapat memberikan andil dalam memunculkan perilaku cyberloafing. Adanya kebijakan yang efektif dan menimbulkan komitmen yang besar pada pekerjaannya akan membuat pegawai lebih enggan untuk melakukan cyberloafing.

Di tambah lagi, cyberloafing dapat membuat kinerja menurun karena waktu untuk bekerja dihabiskan dalam melakukan hal lain yang tidak produktif. Oleh sebab itu, diperlukan strategi yang mampu diterapkan untuk mengarahkan dan memupuk motivasi dalam meningkatkan komitmen. Di samping itu, sistem dan proses manajerial harus segera diperbaharui untuk menjaga kestabilitasan dalam menghadapi era kebiasaan baru.

Pada konteks aktivitas manajerial, relevansi gamifikasi dapat dilihat dari sudut pandang strategi dalam menghadapi cyberloafing. Pemanfaatan gamifikasi telah berhasil digunakan pada perusahaan GOJEK dengan GO-POINTS dan Waze dengan Levelling sebagai strategi untuk meningkatkan user engagement dan daya semangat pegawai bank.

Hal ini menunjukan bahwa cyberloafing dapat diarahkan ke jalur positif dengan strategi gamifikasi. Karena dapat mengimplementasikan digitalisasi untuk melahirkan pemikiran dan karya yang kreatif dan inovatif bagi pengguna dalam berbagai program untuk dieksplorasi. Peningkatan tenaga kerja dan kemampuan sosialisasi sangat dibutuhkan untuk menghadapi cyberloafing pada kecenderungan psikis manusia yang rentan merasa bosan.

Dengan demikian, prinsip desain game “Bermain sambil Bekerja” seperti publikasi yang berjudul “Does Gamification Work?” oleh Hamari et al., pada tahun 2014, mampu mempengaruhi psikologis dan fisik seseorang dalam memandu cyberloafing ke arah yang posistif. Dengan strategi gamifikasi pula mampu mengubah kondisi kebosanan dan stress dari perilaku pegawai terhadap keadaan yang sedang tidak stabil dikarenakan pandemic. Selain itu, dapat menjadi lebih menyenangkan dengan menciptakan aktivitas dan pengalaman yang lebih menarik namun tetap fokus pada tujuan manajerial perbankan.

Perubahan cyberloafing dapat disalurkan melalui skema gamifikasi pada bantuan ekstrinsik dan penghargaan intrinsik. Strategi sederhana dapat dilakukan seperti skema poin dan level yang digunakan untuk peringkat dan umpan balik, tantangan dengan tujuan peningkatan tingkat pelaksana, lencana atau penghargaan yang dibagikan untuk memotivasi dan papan peringkat yang merangsang daya saing dan peningkatan berkelanjutan atau bisa dengan elemen desain game lain, seperti permainan berpikir dan permainan mekanik dalam konteks non-game.

Selanjutnya, gamifikasi dapat mengembangkan cyberloafing yang dipromosikan melalui program sebagai sarana membantu manajer, pegawai dan nasabah bank secara efektif untuk memberikan pemahaman digitalisasi dalam mengembangkan keterampilan seperti kerja tim, prosedural dan praktik terbaik kolaborasi dalam praktik manajerial perbankan khususnya kepada anak muda. Oleh karena itu, budaya cyberloafing pada model gamifikasi tidak hanya menjadi kata kunci sementara, melainkan menjadi tren utama yang dapat dipertimbangkan dalam strategi manajerial masa kini dan nanti untuk menghadapi budaya pasca pandemi.

Sekarang, sistem dan aktivitas yang berubah-ubah terjadi pada tahapan eksplorasi digital dari kecendrungan budaya cyberloafing. Untuk itu, gamifikasi sangat tepat diimplementasikan pada praktik manajerial perbankan karena merupakan sebuah sistem atau metode yang sederhana, menghibur, menyenangkan dan menarik. Tujuan lainnya ialah memotivasi dan mengarahkan pengguna untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam aktivitas manajerial walaupun akan berhadapan dengan perubahan yang signifikan.

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2020a). Analisis Big Data Ditengah Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.

Badan Pusat Statistik. (2020b). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2020.

Berita Resmi Statistik, 40, 20.

Doorn, V. (2011). Cyberloafing a multi-dimensional construct placed in a theoretical framework Cyberloafing : A multi-dimensional construct placed in a theoretical framework by BSc Industrial Engineering and Management Science – TU / e ( 2008 ) In partial fulfilment of the. Eindhoven University of Technology.

Hamari, J., Koivisto, J., & Sarsa, H. (2014). Does gamification work? - A literaturereview of empirical studies on gamification. Proceedings of the Annual Hawaii International Conference on System Sciences, 3025–3034. https://doi.org/10.1109/HICSS.2014.377

sumber : https://retizen.id/posts/11263/hati-hati-kebablasan-eksplorasi-digital-cyberloafing-vs-gamifikasi-bagi-bank-syariah
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler