Siap-siap! Pemerintah Akan Naikkan Tarif PPN Jadi 12 Persen
Saat ini tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan sebesar 10 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Hal ini akan dituangkan melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
"Tarif pajak pertambahan nilai adalah 12 persen," tulis Pasal 7 seperti dikutip Selasa (8/6).
Kendati demikian, ayat (3) Pasal tersebut menjelaskan tarif PPN sebesar 12 persen dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen hingga paling tinggi sebesar 15 persen.
"Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah ...," tulis ayat (4) Pasal 7.
Selanjutnya, pemerintah menambahkan pasal baru yakni Pasal 7A yang menjelaskan PPN dapat dikenakan tarif berbeda-beda tergantung jenis barang/jasa seperti penyerahan barang/jasa kena pajak tertentu, impor barang kena pajak tertentu, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar/dalam daerah pabean.
"Tarif berbeda sebagaimana dimaksud dikenakan paling rendah lima persen dan paling tinggi 25 persen," tulis ayat (2) Pasal 7A.
Sebelumnya Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan rencana kenaikan tarif PPN tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Hal ini karena penarikan pajak secara agresif dinilai kurang tepat dilakukan di tengah proses pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, serta stimulus insentif usaha perpajakan pun masih terus berlanjut.
“Kita membuat payung kebijakan yang penerapannya mungkin bisa satu hingga dua tahun lagi. Tapi, kita siapkan sekarang, mumpung punya kesempatan,” ujarnya saat acara Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan Infobank secara virtual, Kamis (3/6).
Menurutnya rencana tersebut bertujuan untuk memberikan fasilitas yang tepat sasaran. Nantinya PPN barang-barang yang dibutuhkan publik bisa turun menjadi lima atau tujuh persen, yang awalnya dikenakan sebesar 10 persen.
Sebaliknya, barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak, tetapi dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas dan yang sifatnya terbatas, maka dapat dikenakan pajak yang lebih tinggi. “Kita ingin berikan fasilitas yang tepat sasaran, kita justru ingin memberikan dukungan bagi akses publik terhadap barang-barang dibutuhkan,” ucapnya.