Wacana PPN Sembako yang tidak Pro Rakyat
Kebijakan PPN sembako dianggap kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Idealisa Masyrafina
Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok dianggap akan menambah kerugian masyarakat. Apalagi, pandemi yang belum berakhir masih menyebabkan daya beli masyarakat lemah.
Kritik terhadap rencana pengenaan PPN ke sejumlah kebutuhan pokok menuai kritik, salah satunya dari Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Ia mengatakan, naiknya harga kebutuhan pokok tidak masalah asal daya beli masyarakat tinggi. Pasalnya, saat ini kondisi akibat Covid-19 membuat pendapatan masyarakat menurun.
"Kalau sembako akan dikenakan PPN, dampaknya tentu saja harga-harga sembako akan naik," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (9/6).
Menurutnya, sebanyak 50 juta orang bisa menjerit akibat ke kebijakan pengenaan PPN. Sebab, mereka tak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
"Lalu ketika pendapatan masyarakat menurun, kemudian sembako oleh pemerintah akan dikenakan PPN, maka yang akan sangat terpukul tentu saja masyarakat lapis bawah, terutama masyarakat miskin yang jumlahnya saat ini selama Covid-19 mungkin sudah mencapai angka sekitar 30 juta orang. Ditambah lagi dengan kelompok lapisan masyarakat yang ada sedikit di atasnya," ungkapnya.
Jika hal itu terjadi, kata dia, tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan menurun. Hal ini berdampak terhadap kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, juga terancam kekurangan gizi dan stunting.
"Maka, hal demikian jelas akan sangat-sangat merugikan bangsa, tidak hanya untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan," kata Anwar Abbas, yang juga ketua PP Muhammadiyah.
Anwar meminta pemerintah agar kembali mempertimbangkan rencana pengenaan PPN pada kebutuhan pokok. Menurutnya, pemerintah seharusnya melindungi dan menyejahterakan rakyat.
"Bahkan, di dalam Pasal 33 UUD 1945 negara dan atau pemerintah diminta dan dituntut bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat. Dan, pengenaan PPN malah bisa membuat yang terjadi adalah sebaliknya dan itu jelas-jelas tidak kita inginkan," ucapnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai, rencana mengenakan PPN ke sembako sebagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Kebijakan ini juga kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi karena kenaikan PPN dibarengi rencana pencabutan subsidi lainnya (subsidi listrik, pengurangan bansos, dan lainnya).
Ia memandang, kebijakan perpajakan pemerintah saat ini tidak pro rakyat. Turunnya rasio pajak menjadi 8,3 persen pada 2020, salah satunya karena pemerintah di satu sisi terlalu banyak memberikan obral insentif pajak bagi korporasi, termasuk kelas menengah ke atas. Saat ini, tarif PPh badan turun, kemudian tax amnesty jilid 2 baru akan diadakan pada 2021-2022.
"Sementara, untuk menaikkan penerimaan pajak, yang akan disasar kelas menengah bawah dengan PPN. Artinya, kebijakan alternatif pajak untuk mengejar kepatuhan wajib pajak kakap itu lemah sekali pasca-tax amnesty 2016. Ini mencederai keadilan pajak," ujar Bhima.
Kebijakan PPN dipandang tidak tepat dikenakan per barang, karena berlaku secara umum. Kebijakan untuk mendapatkan pajak dari barang mewah yang spesifik sudah ada melalui PPNBM (pajak penjualan atas barang mewah). Bahkan, saat ini pemerintah memberikan diskon PPNBM untuk kendaraan bermotor sebesar 0 persen pada saat pandemi.
"Artinya, kebijakan pemerintah mengubah tarif PPN akan berisiko terhadap kenaikan harga pada barang mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat," ujar Bhima.
Pengawasan pada objek PPN yang berbeda-beda tarifnya menjadi sulit dan secara administrasi lebih mahal. Ini juga menimbulkan risiko barang ilegal tanpa tarif PPN yang sesuai.
Kebijakan perpajakan yang dianggapnya tepat adalah yang menargetkan wajib pajak kelas kakap. Pemerintah seharusnya menggunakan basis data yang ada ditambah pertukaran data antarnegara untuk mengejar WP kakap yang masih belum patuh. Pemerintah juga dapat menutup celah transfer pricing, dan penghindaran pajak lintas negara dengan memperkuat kerja sama antarnegara.
Periode 2016-2020 menjadi periode penegakan aturan pajak yang ketat pasca- tax amnesty. Misalnya, pemerintah memiliki akses data ke perbankan untuk melihat nilai transaksi dibandingkan dengan laporan SPT sehingga kalau ada yang tidak sesuai, bisa diselidiki lebih lanjut.
Selain itu, ia juga menyoroti potensi pajak dari perusahaan yang meningkat pesat selama pandemi. "Di negara lain pemerintahnya mengejar potensi pajak perusahaan over the top secara lebih serius. Padahal, selama pandemi, nilai ekonomi digital naik pesat," kata Bhima.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) turut memprotes rencana pemerintah menjadikan kebutuhan pokok sebagai objek pajak. Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri meminta pemerintah membatalkan wacana masuknya sembako ke dalam barang yang dikenakan PPN.
"Kami memprotes keras upaya tersebut sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar Indonesia. Kami akan melakukan upaya protes kepada presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya yang justru menyulitkan pedagang pasar," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (9/6).
Dia berharap pemerintah bisa mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan tersebut. Apalagi, keputusan ini dibuat di tengah pandemi Covid-19.
Ikappi mencatat, saat ini pedagang pasar mengalami penurunan omzet lebih dari 50 persen. Di samping itu, pemerintah juga belum bisa menjaga stabilitas bahan pangan.
"Harga cabai bulan lalu hingga Rp 100 ribu, harga daging sapi belum stabil mau dibebani PPN lagi? Kami kesulitan karena ekonomi menurun dan daya beli rendah. Mau ditambah PPN lagi bagaimana tidak gulung tikar," ungkapnya.
Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok. Jenis kebutuhan pokok yang akan dikenai PPN masuk dalam kategori sangat dibutuhkan masyarakat, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
PPN juga akan dikenakan terhadap barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi. Adapun kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6,” tulis aturan tersebut, seperti dikutip Rabu (9/6).
Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Sebelumnya, kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
Selain memperluas objek PPN, revisi UU KUP tersebut juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN, di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Ada pula jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat, air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Kendati demikian, dalam draf yang diterima belum ada rincian spesifik soal jenis jasa yang termasuk dalam objek barang kena pajak baru tersebut. Dalam ayat (3) Pasal 4A, hanya ada tambahan penjelasan soal jasa kena pajak baru yang tidak dikenakan PPN, yakni jasa keagamaan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa boga atau katering.
"Ketentuan mengenai jenis barang kena pajak tertentu, jasa kena pajak tertentu, barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan tarifnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah," tulis ayat (3) Pasal 7A draf tersebut.
Dalam draf yang sama, pemerintah juga memasukkan jenis pajak baru, yakni pajak karbon. Dalam Pasal 44G, disebutkan subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas menghasilkan karbon.
"Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara," tulis ayat (3) Pasal tersebut.
Nantinya ketentuan mengenai subjek pajak karbon, tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon; dan alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim akan diatur dengan peraturan menteri keuangan.
Sebelumnya, pemerintah telah mempersiapkan pajak karbon (carbon tax) untuk memaksimalkan pendapatan negara seiring pengurangan emisi gas rumah kaca. Adapun informasi tersebut tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.
"Carbon tax di Indonesia sejauh ini diistilahkan dengan pungutan karbon. Hal tersebut dikarenakan carbon tax dapat memiliki bentuk yang beragam, baik perpajakan maupun nonperpajakan," bunyi dokumen tersebut.
Alternatif pungutan pajak karbon pertama menggunakan instrumen perpajakan yang tersedia saat ini. Dimulai dari cukai, PPh, PPN, PPnBM, maupun PNBP di tingkat pusat hingga pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor di level daerah.
Kedua, pemerintah membentuk instrumen baru, yaitu pajak karbon. Namun, instrumen baru ini perlu revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
"Tidak berbeda dengan praktik pada negara lain, objek potensial yang dapat dikenakan carbon tax di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi yang dikeluarkan oleh pabrik maupun kendaraan bermotor," bunyi dokumen tersebut.